Kasam

55 19 11
                                    

Prompt:
Sosok seorang pria kerempeng yang tinggi selalu terlihat di ekor matamu. Suatu hari, sosok itu memperlihatkan diri melalui cermin ketika kamu siap-siap pergi bekerja.

*****

Dulu sempat dia bercerita, menyulam cinta dengan sesama pencari rupiah tidaklah buruk. Asal mau sama tahu. Lalu, tanpa rasa malu dia melanjutkan, semua bermula pada musim gugur. Kala itu sedang berlibur. Tanpa sengaja mereka beradu pandang. Kemudian berlanjut merajut kasih. Yang satu bilang sudah beristri. Sedang yang lain sudah memiliki suami. Pun masing-masing mempunyai anak. Namun, mereka anggap apa yang terjadi adalah takdir Ilahi. Bahkan sampai nikah siri.

Lucu, ketika sekarang siluetnya tiba-tiba tertangkap ujung mata. Tubuhnya dihujani dedaunan. Tidak hanya membuat detak jantung menggila, hawa di sekitar turut berubah. Dingin lebih menggigit dan tercium manis kantil bercampur anyir. Tengkukku kaku, tetapi aku paksa menoleh. Sosoknya hilang. Namun, begitu mata tertuju lagi pada pohon di depan, dia kembali hadir di  ekor mata. Meremang sekujur badan.

“Mungkin dia rindu kamu.”

Sudah tiga hari sejak dia muncul. Sekarang pun siluetnya masih tertangkap ekor mata, seperti sore lalu. Terpejam pun seperti masih ditatap. Bahkan pernah serasa ditindih; setengah  sadar, tubuhku menjadi kaku dan telinga dijejali ocehan tak jelas. Tidak tahan, aku ceritakan pada seorang teman. Aku katakan, seperti ada sosok yang mengikuti. Selalu berdiri tak jauh di sebelah kanan. Aku tidak bisa melihat jelas. Acap kali menoleh, dia pasti menghilang. Namun, aku merasa sangat mengenalinya. Dia bertubuh kurus dan tinggi. Siti—temanku—menyimpulkan kalau itu Bapak.

“Telepon dia. Pakai ponselku saja.”

Hanya senyum yang bisa aku beri. Sedikit berkedut di kedua ujung bibir. Siti menerima tolakanku dengan tetap menjamin aku bisa meminjam kapan saja.

“Aku tidur dulu, yah. Jangan malam-malam. Besok kita harus kerja lagi.” Siti kemudian masuk dan aku tetap duduk di balkon.

Dia masih berdiri tak jauh. Tubuhnya menghadap ke arahku. Tetap menyebarkan manis kantil bercampur anyir. Jika  memang benar Bapak, mau apa? Mau balas dendam?

Aku terkekeh dan menoleh. Dia menghilang. Bukankah ini adil? Laiknya daun-daun, dulu bisa jadi Bapak cinta mati dengan Ibu. Begitu hijau hingga senang dipandang. Kemudian, perlahan berubah warna, hingga menguning dan gugur tanpa bisa dicegah. Daun-daun akan kembali menghijau sebagaimana alam berkehendak. Hati yang sakit bisa saja terobati dengan lapang mengikhlaskan, tetapi aku tidak bisa. Pohonku sudah mati. Pohonku tidak lagi berdaun.

Semalaman aku biarkan dia terlihat di ujung mata kanan. Satu-satu aku susun kenangan hingga Siti bangun dan aku beranjak ke kamar mandi.  Dari tiap ingatan masa lalu, tidak ada Bapak yang mengayomi. Jadi, keputusan benar aku tidak mengurusnya. Toh Bapak tidak pernah merawatku di masa jayanya.

Bapak pergi saat senang dan kembali kala sudah terkuras. Mengingat bagaimana Ibu yang banting tulang, darahku kembali mendidih. Namun, ketika Bapak menampakkan wujud dalam cermin, hatiku serasa diremas kuat.

Dia tidak pernah terlihat saat aku di kamar mandi. Di luar pun sebatas siluet. Ternyata benar kata Siti, itu Bapak. Bapak terlihat sangat lusuh. Kumis dan janggut putihnya nyaris menutupi sebagian wajah. Rambut putihnya juga sudah memanjang dan lepek. Tubuhnya lebih kurus dari saat terakhir aku lihat. Kulitnya bertambah legam. Dia membalas tatapanku dengan sorot yang sayu. Bukan marah, melainkan tersirat lelah dan minta belas kasih.

Aku terpaku.

Menguap sudah serapah di ujung lidah. Dapat aku hirup lagi manis kantil dan anyir yang menyengat. Tengkuk dililit dingin dan sekujur badan gemetar. Aneh, bukan takut, iba justru yang meremas hatiku.

Tiga bulan lebih aku merasa benar telah menipu orang-orang sekitar. Aku katakan pada mereka, Bapak dititipkan di yayasan. Nanti, ketika aku kembali dari Jepang, Bapak akan aku bawa pulang. Tiga bulan lebih aku tidak merasa bersalah meninggalkan Bapak sendirian di terminal kota lain dan hanya menyelipkan uang seratus ribu di saku kemejanya. Aku ingin dia merasakan susah. Merasakan bagaimana Ibu dan aku berusaha keras untuk sesuap nasi. Tiga bulan lebih aku merasa pantas melakukan itu.

Namun, hari ini, di pertengahan musim gugur, melihat bayang Bapak di cermin, membuat hatiku sakit. Aku merasa buruk.

“Biar bagaimana juga, dia bapakmu.” Suara Ibu terdengar.

Kakiku lemas. Aku menangis.

“Jangan sampai dendam. Kasihan Bapakmu.”

Kasihan Bapak.

Mata Bapak masih menatapku. Terlihat lelah dan meminta belas kasih.

Bagaimana keadaannya?
Apa ada yang memberinya makan?
Ketika aku tinggal, Bapak sudah linglung.

Bapak masih menatapku. Dia mendekat. Tubuhku kian gemetar, cengkeraman di sisi wastafel semakin kuat.

Bibir Bapak bergerak. "Maaf."

Kakiku semakin lemas. Hatiku semakin diremas rasa bersalah. Terdengar Siti yang memanggil diiringi ketukan pintu yang keras dan cepat.

Lalu, Bapak menghilang.

*****

Jumlah kata (tanpa prompt): 696
Horor/Fiksi Umum.

KasamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang