"Ughhh... Huh... Huh... Huh..."
Walaupun sudah melahirkan empat kali dan akan menjadi kelima kalinya, Bambang tetap saja merasa kesakitan ketika kontraksi menghantam perut besarnya. Di dalam hati dia merutuki pak kades yang menyusul sang suami tadi pagi gegara ada kendali di kantor. Padahal Roni sudah menolak secara halus karena tahu jika sang suami telah menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Tapi pada akhirnya, Roni harus meninggalkan Bambang beserta ke enam anaknya di rumah dan pergi ke Kantor desa setelah mengantongi izin dari sang suami.
"Eughhh... Pak, kamu kapan pulang, sih?" Dengan kedua tangan menopang bawah perut besarnya, Bambang terus bergerak ke kanan dan ke kiri untuk mengurangi rasa sakitnya.
Bambang melapisi kasur dan lantai dengan alas seorang diri karena Roni tak kunjung pulang padahal matahari mulai turun ke sebelah barat. "Huhh... Huuhhh... Huuhhh... Engghhhhh!"
"Huhh! Huhh! Huuhh! Jang-jangan ngeden dulu, Bambang!" Bambang memperingati dirinya sendiri ketika merakan kontraksi.
Bambang mencengkram kuat sisi ranjang. "Eughh... Sakkk... It! Nghhh!"
PYAR!
Bambang terkejut saat air ketubannya pecah dan memaksanya untuk segera mengejan kuat meski tidak ada sang suami di sisinya. "Nnghhhh! Hhuh! Huuhhhh! Hnghhhh!"
"M-Mas Re-Reza... Hnghhh! Huhhhh!" Bambang tidak bisa melihat keadaan dijalur lahirnya bagaimana karena perut besarnya sanggat menghalangi.
"MAS REZA! Hhngghhhhhh! Huuhhhh! MAS TOL... NGGHHHHHH! TOLONGIN AYAH NAK! HHUUHHH! HHHNGGHHHHHHHH!"
BRAK!
"ASTAGA AYAH!"
Reza langsung menghampiri sang ayah yang bejongkok di samping ranjang dengan satu buah kaki keluar dari jalur lahirnya. "Ay-Ayah... Ka-kaki!"
Bambang langsung mengerti dan paham apa yang dimaksud kaki oleh Reza yang artinya posisi sang bayi sungsang. “Hhngghhhh! Ga-gapapa hmmhhh! Mas tol… Tolongin Ayah eughhhh…! Ngelahirin adek kamu, ya?”
Reza menganggukan kepala meski ragu dan seakan lupa dengan semua adik-adiknya yang ditinggal di ruang keluarga. “M-Mas harus ngapain, Yah?”
“Huuhh… Huuhhh… Huuhhh…! Ka-kamuh nghhhh! Pake dulu… antiseptik yang ada di atas meja HHHEENNGGHHHHH! EENGGGHHHHHHH…!” Bambang langsung mengejan sangat kuat setelah menahan ejanannya beberapa detik untuk berbicara dan berhasil mengeluarkan si bayi sampai sebatas pinggang.
“Terus aku harus ngapain, Yah?” Reza mempisisikan diri di belakang punggung sang ayah dengan kondisi tubuh gemetaran.
“Huh! Huh! Huh! Saat Ayah ngeden… Tarik keluar kaki adek kamu, ya? Huuhhh! Ngerti kan, Mas?”
“I-iya, Mas ngerti, Yah.”
Reza memegangi kaki si bayi yang berjenis kelamin perempuan itu ketika sang ayah mulai mengambil ancang-ancang untuk mengejan. “HEUNGHHHHH! AWW--HHHNNGGGHHHHHHHHH! SSSAAAKKK… IIITTTHHHHHHHHH! EEUUNGGHHHHHHHHH!”
Di ruang keluarga, Rizky terus menatap khawatir ke arah kamar kedua orang tuanya dimana asal suara teriakan sang ayah terdengar begitu menyakitkan. Dia ingin datang menghampiri akan tetapi pesan Reza untuk tetap tinggal dan menjadi ke empat adiknya terus berputar di kepala. Rizky juga membesarkan volume tv supaya ke empat adiknya tidak menangis karena mendengar suara teriak sang ayah.
“Assalam'mualaikum…”
“BAPAK!” Refleks Rizky berdiri dan berteriak saat mendengar suara Roni.
"Kecilin volum….”
“Hhngghhhhhh! Enggghhhhhh! Hhhuhhhhh! Huhhhh! Hheeuunngghhhhhhhhhhh!”
Roni langsung melempar tas kerja sembarang arah lalu berlari menuju kamarnya sendiri ketika suara ejanan Bambang terdengar samar. Bukannya kesal, Rizky malah menghela nafas lega saat sang ayah berlari ke arah kamar meski Riska dan Bella menangis ingin digendong karenanya.
“ASTAGFIRULLOH BAMBANG!”
Bambang mendongakkan kepala ketika melihat sang suami datang menghampiri dengan wajah semerah apel dan air mata membasahi pipinya. “P-PAK SAK-IT… HHNNGGGGHHHHHHHHH!”
“P-pak… Kepala si adek engga mau keluar hiks…”
“Udah jangan nangis, Mas. Tolong bawain termos, beberapa baskom bersih, sama teko plus gelas buat minum Ayah, ya! Biar Bapak yang urus Ayah kamu.” Roni menghapus air mata sang anak lalu mengusak pelan rambutnya.
“Iya, Pak.” Reza langsung bergegas keluar kamar dengan tangan berlumuran darah untuk mengambil semua barang yang disebutkan bapaknya.
Setelah tangannya steril, Roni mengecek keadaan si bayi yang menggantung diantara kaki sang suami yang terbuka sangat lebar. “Semuanya aman, kamu bisa langsung ngeden sekuat mungkin, Sayang!”
Bambang sedikit tenang karena Roni sudah berada di sisinya. “HHHEENNNNGGHHHHHHHHHHHHH! SAAAAAKKKIIITTTTTTTTTT! EENGGGGHHHHHH!”
“Kepalanya mulai turun, Sayang. Terus ngeden yang kuat!”
“EEEUUUNNGGHHHHHHHH! HHUUHHHHHHHH! HHHHNGGGGHHHHHH! HHHEEUUUNGGHHHHHH! AARRGGHHHHHHH! HUH! HHHEENNGGHHHHHH!”
Oek! Oek! Oek!
“Sayang bayi pertama kita perempuan.” Bambang menerima si bayi ketika Roni menyerahkannya. Roni mencium pipi dan pelipis sang suami seraya melihat si bayi yang mulai menyusu.
•••
Kelanjutannya ada di karyakarsa yaaa!