Sepulang kerja aku selalu melewati sebuah telaga rawa dg sebuah bukit kecil diatasnya, ku amati setiap hari diatas bukit itu selalu ramai kala senja ditongkrongi sekelompok anak muda putih abu-abu. Kalau sudah sampai ditempat ini itu pertanda bahwa aku sudah setengah perjalanan.
Suatu hari aku coba mampir dan mendaki bukit itu dengan sepeda motorku, ternyata jalanan menuju kesana cukup jauh namun setelah sampai disana semua lelah dan penatku hilang, aku disuguhi pemandangan hamparan sawah gersang dg banyak anak sekolah lalu lalang disertai sandikala yg mulai melukis diri di kaki langit, ku lihat ke segala arah, hanya ada padang gersang karna memang belom waktunya musim padi. Namun mataku tertuju pd suatu titik tepatnya diarah tenggara bukit kecil itu ada sebuah kedai dipinggir telaga dg 2 tenda dihiasi lampu warna-warni.
Aku heran kok bisa-bisanya kedai itu tak terjamah mata dr pinggir jalan? Bukannya sebuah warung harusnya berada di pinggir jalan agar banyak yg datang? Namun opini ku kalah telak dg kenyataan bahwa sangat banyaknya pelanggan di kedai tersebut, sampai tidak terlihat adanya bangku kosong disana.
"Dek, mau pesan apa?" Tiba² ada seorang ibu² menepuk pundakku. Aku menjawab terbata-bata sembari bertanya "ah, maaf bu, saya baru pertama kali kesini jd tidak tau, saya kira ini hanya tempat nongkrong biasa anak² muda, emng klo boleh tau disini jualan apa ya?". "Ya disini memang benar tempat nongkrong tp sebenarnya dsini tempat antrean teruntuk yg mw makan di kedai di kaki bukit dekat telaga itu" tunjuk ibu itu kearah kedai. "Oh iya bu, nanti saya pengen makan juga kalo sudah mulai sepi" aku menimpali. "Yasudah, klo bgitu, adek makan saja dlu camilan ini sembari menunggu antrean" ibu itu menyuguhi setoples jajanan wajik kletik yg isi toples tinggal separuhnya.
Langit jingga mulai memenuhi cakrawala, ibu td menghampiriku lagi berkata "dek, ayok klo mau makan. Kedai ny sudah agak sepi, ibu jg sebentar lagi mau pulang", aku terhenyak. "iya bu, mari. Ibu duluan nanti saya mengikuti dr belakang" aku berjalan kaki menuruni bukit kecil menuju kedai, krna memang lokasi ny tidak dapat dijangkau dg sepeda motor.
Sesampainya di kedai, aku mengamati sekitar, cuman ada 2 plong telaga berderet dan kedai ini posisi ny tepat dibawah jalan, seperti dibawah jembatan tol namun bedany ini hanya rawa mati dg dua telaga jd tak terlihat dr atas. Kulihat masih banyak pembeli yg mengambil makanan dg sigap karna antrean yg berjubel. Kedai ini seperti warteg biasa namun pembeli bisa mengambil sendiri sayur dan lauk, apa yg ingin mreka makan. Aku mengalah saja karna tidak mau berdesak²an dg mereka "bu, saya mau ini,... mmm ini terus ini... dan ini" aku menunjuk makanan dr balik kaca. "ini dek", ibu itu menyuguhkan pesanan ku sembari mempersilahkan.
Sudah menjadi kebiasaanku, aku membaca doa sebelum makan, kulantunkan doa makan dan ayat kurs dgi lirih, krna memang aku merasakan sesuatu yg sedikit janggal dg letak warung yg diluar nalar. Saat aku akan menyantap sesap nasi dihadapanku aku melihat ibu tadi dan tentu saja suaminya menatapku dg sinis, "kenapa?" batinku. Aku tidak jd makan. Dari ekor mata ku terlihat sesuatu yg aneh pd meja es campur "itu bukan selasih, tp kecebong kecil-kecil, knp anak² dsini tidak ada yg sadar?" benakku. Ingin kuutarakan maksudku ke penjual, tp pemilik sudah menatapku sinis sedari tadi. Kutengok disebelahku jg ada seorang gadis yg hanya diam memejamkan mata tanpa menyentuh makanannya, ku perhatikan wajahnya yg sayu berkeringat. Aku tau benar bahwa dia sedang melakukan perang batin (semacam telepati dg seseorang", kutepuk pundaknya dan menegurnya. Dia kaget dan membentakku "JANGAN DIMAKAN!" seketika pengunjung berhenti makan dan kami berdua menjadi pusat perhatian karena memang hanya kami yg duduk tepat di depan meja saji. "ah, maaf, saya terlelap saat sedang makan" gadis itu berdalih membela diri. Karena gadis itu sudah tersadar, aku melanjutkan makananku yg belum sempat masuk ke kerongkongan. "Sudah kubilang jgn dimakan!" dia berbisik dan memukul tengkuk leher ku, sontak aku memuntahkan apa yg ada dimulutku ke piring terbatuk-batuk. "ini minum" ia menuguhkan segelas air dr botol air mineralnya. "Makasih sudah membangunkanku, maaf kalo sekiranya aku ganggu waktu makanmu, tp kita harus cepat pergi dr sini sebelum maghrib, nanti biar aku yg bayar". Benar saja, sang jingga nampak mulai pekat kulihat arloji ku sudah menunjukkan pukul 05:45. Sambil berjalan meninggalkan kedai bersama gadis itu aku bertanya-tanya siapa dia berani-beraninya mengganggu makan malamku, namun pikiran itu buyaarr saat kutersadar dia menggenggam tanganku, menarikku untuk bergegas pergi meninggalkan kedai. "Aku lemah terhadap sentuhan wanita, aku gk bisa marah" batinku.
Saat sudah sampai diatas bukit, aku meluapkan apa yg ada dlm benakku "maaf, aku sudah membangunkan tidurmu, tp apakah kamu balas dendam dg membuatkan tidak jadi makan?". "Tidak! Justru aku yg harus berterima kasih karena telah menyelamatkanku dan maaf karena mengganggu saat kau makan karena memang kau tidak boleh memakan apa yg seharusnya tidak kau makan" pungkasnya. "Aku tidak mengerti maksudmu, tp aku tau benar bahwa disana kau tadi disana sedang perang spiritual kan?" Aku keceplosan sontak menepuk² mulutku. Matanya terbelalak "kok?.. tau? Apa jangan² kau juga?". Aku bingung menyikapinya, "maksudnya gmna?" telingaku merah, karena aku sungguh sangat malu karena bisa²nya bertemu sosok seperti dia yg sok akrab denganku. "ahh.." dia tertunduk lesu terlihat kecewa karna tak paham apa yg dia maksud. "Ehm.. bisa lupakan saja yg tadi?, Namaku Elmadi, jgn tertawa! Namaku emng terdengar sprti laki² tp aku perempuan tulen". Sungutnya. "pfftt..iya..iya, namaku Duwun" timpalku. "Hah? Km orang koreyah? Do Woon?" Ejeknya. "hadeh.. sllu bgini, namaku D-U-W-U-N, itu nama pemberian mendiang ayahku".
"Maaf, aku gak bermaksud" sambungnya. "iya gpp santai aja" imbuh ku. "Rumahmu dimana, kamu kerja dimna? Kok bisa²nya kamu singgah di kedai itu" Elma bertanya penasaran. "Rumahku di desa Tyrtha, Aku kerja sbg buruh pabrik di desa Agni" ujarku. "Lah? Kita berlawanan arah aku malah sebaliknya, aku kerja di pabrik garmen desa Agni, Rumahku di desa Tyrtha tp kok gk pernah liat kamu ya?" goda Elma. "Yagatau, mungkin pandanganmu hanya tertuju pada pacarmu, jd km gak terlalu memperhatikan pria lain" ledekku. "Sialan, ngeledek apa gimna, aku gapunya pacar!" jawabnya menggebu². "Kok ngumpat sih, brati kita jodoh" lanjutku meledek. "Enak aja! Baru juga ketemu sekali" jawabnya ketus. "Terus ngapain kmu dsini, mana motormu? Kok gak pulang? Mau aku anter?" tanyaku. "Gak usah. Aku nunggu jemputan, Aku pulang bareng temenku td. tp rumahnya di desa Lindu, nanti pamanku jemput disini tp gatau nih gabiasa²ny jemput telat sampe mau maghrib" jawabnya. "ada No.WA? siapa tau kita bisa berteman baik" ide ku. "Boleh, ehh itu pamanku, WA ku 0895808410016" tambahnya. Aku memicingkan mata, "wahh kayaknya kita beneran jodoh deh, WA ku cm beda 1 digit belakang, 6 ny diganti 9, coba deh test call" ledekku berlanjut. "Apa an sih, cuma kebetulan aja kali, aku test call ya" wajah elma terlihat memerah meski ia tak mengakuinya. "Lingsirr wengi.. sliramu.." hp ku berdering. "anj! bikin bulu kudu berdiri ih, ngeri tau" elma menepuk bokongku. "Aduhh.. pelecehan seksual ini mah pegang² bokongku. Dirumah, kakekku sering durmo kalo malem, jam² 11-an, jd terngiang² di kepala ku, aku jadiin ringtone deh" jawabku. "Gilaakk sih, udah ah, aku mw pulang, bye!" Elma pergi dibonceng pamannya serambi menutupi mukanya yg sudah seperti udang rebus."ALLAHUAKBAR..ALLAH..HU AKBARR.." adzan maghrib berkumandang, aku jg segera mengakali sepeda motorku dan segera menuju surau terdekat. Dlm perjalanan pulang aku masih kepikiran soal warung tadi. "Hmm.. besok balik sana lgi deh"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita (vision in a dream)
Teen FictionCerita fiksi yang kurajut dlm mimpi yg entah bagaimana bisa bermimpi tentang mereka. Tentang kisah Duwun & Elma, aku pribadi tdk kenal mereka, dan tdk tau siapa mereka. Aku hanya mencurahkan mimpi-mimpi ku dlm hitam di atas putih. Penulis bahagia ap...