Memories Remain, As Time Goes On.

52 14 4
                                    

Prompt:

Kamu berusaha memaafkan orang tuamu yang selama ini menyakitimu, tetapi kamu tidak bisa.

***

Kabut berkeliaran di udara, menghantarkan hawa dingin dan suasana sendu yang menyakitkan. Ketika musim yang muram ini tiba, pagi selalu menjadi tempat paling melelahkan untuk memulai hari.

Tragedi besar telah terjadi di hidupku pada musim gugur puluhan tahun lalu. Ia menjelma menjadi mimpi buruk yang menghancurkan tatanan hidupku,  datang di musim-musim muram lainnya. Tetapi, tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikannya.

Pagi itu aku terbangun bermandikan keringat, dengan napas terputus-putus, seakan seumur hidup, aku sibuk berlomba lari di perlintasan panjang. Mimpi yang selalu sama, detail yang juga selalu sama. Dalam kesadaranku, ia hanya tampak seperti kekosongan yang menyesakkan.

Aku terus berlari, entah menghindari apa, kemudian sesuatu menghantamku hingga aku terlempar ke jalanan lengang. Lalu, kabut berada di sekelilingku, dengan daun-daun kekuningan yang jatuh dari pepohonan di sepanjang bulevar. Perlahan, daun-daun itu tergenang darah, dan tiba-tiba genangan itu menenggelamkanku hingga rasanya aku tidak bisa bernapas. Di detik itulah, aku akan terbangun setiap paginya.

Hari-hariku di musim gugur yang dingin itu selalu berat, secangkir kopi panas dan sepotong roti sisa kemarin tidak akan mampu menghiburku, tetapi aku tetap harus memulai hari. Orang-orang memenuhi jalan, dengan baju-baju tebal dan satu tangan menggenggam tas kerja, sementara tangan lainnya membawa payung dalam keadaan tertutup. Di musim seperti ini, hujan bisa turun kapan saja. Aku satu-satunya orang yang enggan membawa payung di jalanan itu.

Jika hujan turun, aku berharap hujan itu membersihkan ingatanku tentang masa lalu, kuharap hujan itu akan menghapuskan jejak-jejak darah tak tampak yang masih bisa kurasakan di sekujur tubuhku. Usiaku masih empat tahun, tatkala kejadian itu menimpaku. Jadi, yang masih kuingat tentang hari itu hanyalah tubuhku yang bersimbah darah, dan wajah ayahku. Tidak banyak detail yang kuingat, apalagi kupahami, tentang apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, yang kutahu, sejak hari itu, aku berhenti memanggilnya Ayah.

Perjalananku di pagi berkabut itu terhenti di halte bus. Orang-orang berdesakan, berharap ada tempat yang tersisa untuknya di bus, sehingga ia tidak perlu berdiri terlalu lama, membuat  tangan dan kakinya kebas oleh cuaca dingin. Di antara hiruk pikuk itu, ada satu orang yang tidak pernah berubah. Seorang pria tua selalu berada di sana, duduk di halte, mengambil satu slot kosong kursi, menghabiskan waktunya termangu di sana sepanjang musim gugur.

Dia tidak pernah menunggu bus, entah apa yang ditunggunya. Namun, pada suatu hari aku terlambat pulang kerja, aku tiba di halte itu larut malam, menaiki bus terakhir. Pria tua itu masih di sana, duduk dengan tenang dan sabar.  Kuhela napas panjang, memutuskan untuk mengambil tempat tidak jauh dari tempatnya berada.

“Kenapa belum pulang?” Untuk pertama kalinya, sejak terakhir kali, aku mengajaknya berbicara.

“Nak, berapa usiamu?” Alih-alih menjawab, ia mengajukan pertanyaan tak terduga. Aku menoleh ke arahnya, dan mendapati dirinya masih menatap ke arah jalanan, tidak melihatku.

“Akhir tahun nanti, usiaku  32 tahun.”

“Kau seumuran dengan putriku,” balasnya kemudian. 

Keheningan yang panjang menyambut, semakin larut, udara semakin dingin. Baru kusadari mantel pria itu bolong di bagian lengan. Dia sudah benar-benar mirip dengan tunawisma, tetapi aku tahu dia sebenarnya memiliki rumah besar yang nyaman.

Malam itu, adalah malam terakhir aku melihatnya. Esok dan seterusnya, dia tidak lagi datang dan duduk di sana. Tidak ada yang kehilangan, kecuali kursi usang yang ia duduki berhari-hari, angin terus berembus dari barat ke timur, menghantarkan dingin yang bercampur dengan duka-duka panjang tak tertahankan.

Barangkali dia menungguku memaafkannya, barangkali dia menungguku menyapanya. Namun, meski sudah menyapanya malam itu, aku tidak pernah memaafkannya. Hingga daun-daun berguguran habis dari pohonnya, kali itu kulihat ibuku berdiri di sisi halte.

“Maafkanlah Ayah, dia sudah menanggung dosa seumur hidupnya,” ujarnya, nyaris histeris, begitu melihat wajahku yang separuhnya tertutup kerah mantel.

Menanggung dosa? Bahkan Tuhan sedemikian menyayanginya dengan  menganugerahinya demensia, membuatnya lupa akan segala kehancuran yang ditahtakannya kepada seluruh hidupku. Memaafkannya? Meski sumpah mati aku ingin melakukannya, rasanya mustahil.

Memaafkan Ibu juga lebih mustahil. Aku tahu ia pun menderita, tetapi dia tidak pernah menyelamatkanku sekalipun dari tangan ayahku. Aku benci ketidakberdayaannya, aku benci pada kepasrahannya. Tak akan kumaafkan kelemahannya yang telah membunuh seluruh masa mudaku.

“Pulanglah, Nak, sekarang Ibu sendirian.”

Kau tahu, bahkan daun yang meninggalkan pohonnya ketika musim gugur tiba, tidak kembali setelah musim berganti. Ia akan berubah menjadi merah, kemudian mati. Pun aku, meskipun seribu musim gugur kembali, aku tidak akan kembali ke rumah itu lagi.

***

Jumlah kata: 697

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Memories Remain, As Time Goes OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang