"Waktu takkan terulang, dan itulah yang membuatnya indah"
_____________
Ibu sangat pendiam akhir-akhir ini. Ia tak lagi memasak, menyapu atau memarahi aku. Dia hanya diam menatapi televisi, menonton DVD berisi video-video lama.
Keadaan rumah menjadi sangat kotor, debu dan sampah makanan instan bertebar dimana-mana. Ibu menjadi sangat berubah.
Sudah lama sejak terakhir kali ibu mengelus kepalaku, atau hanya sekedar menyuruhku berhenti bermain. Semuanya berubah setelah ulang tahunku yang ke-lima. Ibu selalu dingin, seolah aku tak pernah ada.
Hanya ayah yang selalu menemaniku, bermain denganku, dan kami bersama-sama menonton acara kesukaan ibu. Namun, ibu selalu diam.
Ayah tak pernah memprotes, dia selalu tersenyum hangat. Dan mengatakan padaku bahwa suatu hari nanti aku akan mengerti.
Sesekali seseorang yang berpakaian seperti dokter akan mengunjungi ibu, dan mengatakan sesuatu yang aku tak mengerti. Lalu seorang wanita berpakaian merah muda akan datang dan membersihkan sampah serta merapikan rumah.
Terkadang, kami menemukan ibu meminum sesuatu yang menbuatnya linglung, ia akan tertawa atau menangis, meraung dan meratap. Ibu berubah, aku tak lagi mengenalnya.
"Ayah? Apakah ibu bisa kembali seperti dulu?" Aku bertanya padanya
"Tentu saja. Beri ibumu sedikit waktu," kata ayah tersenyum hangat sambil membelai kepalaku
Sudah hampir satu minggu, rutinitas ibu tak ada yang berubah. Dokter datang, ibu meminum minuman aneh, dan masih selalu diam. Satu-satunya suara yang ia keluarkan adalah saat dia mabuk.
Ayah selalu memegangiku, menghalangiku untuk mendekati ibu, atau bahkan sekedar menyentuhnya. Kata ayah, ibu sedang tidak ingin disentuh.
Terdengar ketukan dari pintu, sepertinya dokter akan datang. Ibu tak pernah membukakan pintu, ia hanya akan diam dan duduk di sofa dengan tatapan kosong. Membiarkan dokter menghampiri dan memeriksanya.
Kali ini seorang wanita masuk, ternyata bukan dokter seperti biasanya. Wanita itu menghampiri ibu yang terdiam di sofa. Memberikan lembaran kertas dan beberapa foto. Kemudian ibu menangis, terisak dan merangkul foto-foto itu sambil terus meneteskan air mata.
Wanita berkemeja itu menatapku dan tersenyum aneh, dia tersenyum namun terlihat sedih. Aku tak mengerti.
"Ayah, ibu menangis," aku berkata pada ayah sambil menggenggam erat tangannya.
Ayah tak mengucapkan apapun, hanya mengelus kepalaku seperti biasanya.
Malam tiba, seperti biasa kami berkumpul di ruang keluarga, menonton TV acara kesukaan ibu. Di layar TV, terdapat seorang anak yang merayakan ulang tahunnya. Anak itu Manis sekali, dia menggunakan baju merah muda yang selalu ku inginkan.
"Ayah? Kenapa ibu selalu menonton ini berulang kali?" Tanyaku pada ayah
"Suatu saat kau akan tahu," katanya sambil mengelus kepalaku.
Ibu lagi-lagi menangis, aneh sekali. Ia menonton video yang tampak menyenangkan, namun ia menangis.
"Fitra..." akhirnya ibu memanggil ku walau dengan suara lemah dan serak. Mata sembabnya masih mengalirkan air mata. Aku takut suatu saat mata ibu akan meledak karena bengkak.
Aku mengelap darah yang mengucur dari perutku, memasukkan kembali organ dalamku yang merangsek keluar. Membuat baju merah muda ku yang compang-camping semakin penuh darah dan nanah.
"Ayah, kenapa ibu selalu memanggil kita? Padahal kita selalu bersamanya." Tanyaku pada ayah,
"Suatu saat engkau akan tahu," jawabnya dengan senyum hangat. Senyuman yang selalu ada di wajahnya.
Senyuman yang menjadi satu-satunya bagian yang tersisa dari kepalanya.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabtu Kelabu
Short Storykumpulan kisah yang mengungkapkan dari berbagai sudut pandang. [Update every saturday]