Tanpa keributan suatu pemukiman, seolah-olah suara teredam di antara dua rumah yang menghimpit, tepat di kolom tangga yang menghubungkan tempat yang lebih tinggi, dan terdapat kaki melantunkan irama langkah acak yang lemah. Antara sunyi di tengah malam dengan udara yang dingin, perlahan keramaian itu lenyap tertelan masa, saat sehelai daun mapple melayang di udara, menyentuh tanah yang tergenang air hujan, becek di antara pijakan.
Hentakan kaki orang-orang yang melewati dan tidak memerdulikannya, atau tidak menyadari kehadirannya, tak sebanyak ketika malam masih belia.
Tempat gelap dan sempit, tepat di sebelah tong kayu, tubuh yang rapuh, bersandar dan kedinginan.
Tatapannya redup, pada gelapnya petang. Biru indahnya retina hanya menampakkan kekosongan tanpa cahaya. Gelapnya malam hari yang menua, membuat rambut kuning keemasan cerah bagai penerang di malam hari, cerah dan terang, indah layaknya bangsawan.
Derap langkah harusnya ada di setiap jarak yang sama, tidak mendekati kolom jembatan yang tiada tampak dari luar, karena terhimpit antara bangunan rumput juga tangga, beserta tong di sebelahnya. Tubuh kecil dan kurus, layaknya seorang balita, mata birunya berpedar ketika mengikuti sumber suara, tidak menggerakkan apa-apa selain retina.
Berdiri tegak, ditemukanlah gadis mungil itu. Rambut cerahnya terpantul cahaya redup lentera, seolah ialah bagian dari mentari senja. Disoroti jelas cahaya, rambut bergelombang sepanjang pinggang, tubuhnya kurus kering, terdapat lebam pada pipi, sedang tubuhnya begitu mungil dan lemah.
Hanya bersandar pada sandaran, tanpa menggerakkan apa pun selain mata berpedar, menyesuaikan pandangan akan cahaya yang terang. Seseorang perlahan mendekatinya dengan hentakan kaki yang bergema di telinga. Benar-benar mendekatinya, bukan melewati tangga, melangkahi gadis yang berteduh dan menghangatkan diri di tempat pengap, seraya menunggu kematian menjemputnya-bersama kelaparan yang melanda.
Gelapnya petang, disinari lentera redup, pada kolom tangga yang membuatnya disinari di setiap sudut, akan sempitnya tempat itu. Tiadalah yang menegur, sedang lebih memilih melewati sang penyelamat yang menyadari kehadiran balita yang sekarat.
Mata sebiru lautan, redup penuh sendu dan kelelahan, tubuh hasil aniaya yang tidak diketahui. Penglihatan yang ditusuk cahaya lentera, ia melihat seorang lelaki tua dengan perwujudan rambut hitam dan juga janggut yang putih, tampak melalui cahaya jingga lentera yang menyala. Gelombang kekosongan, bukanlah rasa apa pun kala dia tidak membayangkan apa pun di kepala-sebelum mata redup itu terbelalak ketika tepat saat itu, jantungnya berdetak kencang, diselimuti gelombang ketakutan, ketika lelaki itu mengulurkan tangan, untuk memegang tangannya.Wajah lelaki itu tidak tampak jelas karena cahaya ada di depannya, dia hanya mendapati warna dari kulit secara samar, beserta surai putih yang mencolok, beserta bulu pada rahang, janggut. Gerakan yang harusnya sudah tiada tenaga, tersentak kuat akan keterkejutannya, mundur bergegas seraya membekap mulut, menahan jeritan yang melengking-tetapi hanya sesaat saja tatkala dia akhirnya melindungi diri dengan lengan, bergetar ketakutan.
"Aku tidak bermaksud menyakitimu."
Lelaki tua itu meraup lengan sang bocah, sehingga menimbulkan ketegangan yang menghadirkan getaran menggigil pada bibir, anak itu ketakutan. Tetapi bukanlah empati yang membuat ia melepaskan, pria itu paham benar setelah mendapati kondisi balita yang mengenaskan-bekas aniaya pada tubuh lalu kurus seolah tidak diberi makan. kini, bukanlah lokasi baik kala bocah itu ditemui orang yang salah, bisa saja tiada dalam kondisi paling mengenaskan yang pernah ada; dijual kepada pria berhidung belang, yang memilik kelainan terhadap gadis-gadis kecil.
Lalu, lelaki itu, datang dengan niat menyelamatkan yang tulus adanya."Kau di tempat berbahaya, di sini." Dia tidak berbohong sama sekali, meski berujar pada anak yang tidak paham norma apa pun. "Di mana orang tuamu?"
Dia tahu jawaban yang akan diberikan.
Kekosongan.
Nadanya penuh simpatik, atau harusnya begitu. Hembusan angin menerbangkan sedikit arang dari obor, yang terdapat pada ujung tangga bagian atas, membuat cahaya kecil di udara bagai kunang-kunang berwarna jingga. Di mana kehangatan dari api lentera membuat gadis kecil berpakaian kumuh itu lengah, dia melihat lelaki tersebut pada akhirnya. Tubuh kecil dan kurus, pucat seolah tidak makan lebih sepekan, begitu pula memar dan luka di tubuhnya yang mengenaskan. Simpati, lelaki itu tidak mendapatkan jawaban sedikit pun, di mana secara reflek dia memegang lengan anak itu setelah berjongkok sejajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
GRDH
FantasySemua akan kembali ke keabadian. Tapi prosesnya tidak akan memiliki kembaran, sekalipun secuil sel persis dengan jaringan penghubung. Pilar Kedua; Keserakahan. Side Story Part 1 dari Cerita Utama Mrtyu