AZAM

0 2 0
                                    

Di ruangan yang cukup besar, di mana aku duduk tidak beralas- kan karpet merah juga tidak di hadapan penghulu. Azam mengajakku menemaninya ke kantor urusan administrasi jadi tidak benar-benar ke KUA. Tempat ini ada di kampus kami, Azam harus mengurus sesuatu yang berhubungan tentang kelengkapan surat-menyurat syarat pendaftaran kemarin.

Aku menunggu sambil memain- kan sedotan jus jeruk, di sini jika ada yang perlu di urusi maka kita akan dijamu seperti tamu. Sekilas ruangan ini sama saja dengan ruangan tunggu kantor lain, perbedaannya terletak pada arsitekstur dari berbagai perpaduan budaya Indonesia, ada arsitektur dari masa kerajaan Majapahit, ada motif batik Jawa, lukisan songket Minangkabau, hingga lukisan arsitektur bangunan timur tengah dan byzantium. “Udah nih, ayo!” aku mengikuti langkah Azam meninggalkan ruangan banyak masa ini. Langkah Azam membawa kami ke parkiran, aku dengan ragu terus berjalan di belakangnya. 

“Zam, kamu pulang?”

“Iyalah neng, mau ke mana lagi.”

“Ya sudah aku pulang juga,” pamitku. Azam menarik tas ku memaksa aku kembali memutar tubuh menghadapnya, “Pulang bareng gue.”

“Tapi aku.. aku tuh ke..,”

“Ada yang marah lo pulang bareng gue?”tanya Azam menatapku serius.

Aku menggeleng sempurna, “ Ya udah ayo naik!”

Melihat Azam mendadak serius aku sedikit bergeming, jantungku seperti di pukul dengan penabuh gendang. Alhasil, kami hanya diam saja sepanjang perjalanan, lampu merah kembali berganti hijau kendaraan melaju hingga seratus meter berikutnya Azam membelokkan motornya ke kanan menapaki jalanan gang yang diapit rumah di kiri dan kanannya.

“Kita ke kosan gue dulu,” ucapnya singkat, aku mengangguk saja tanpa mengeluh.

Dua belokan berikutnya Azam memberhentikan motornya di depan rumah petak lima. Dia melangkah masuk tak berbicara sedikit pun, aku duduk bersan- dar di motor Azam.  Dua menit kemudian saat aku masih memperhatikan rumah-rumah sekitar, Azam sudah muncul lagi di hadapanku. “Ayo,” titahnya.

“Zam,” aku memanggilnya dengan suara pelan. Azam memjawab dengan deheman, “Kamu mau mengajak aku ke mana?”

Aku mengikuti langkah Azam yang tidak tahu membawaku ke mana, kami memasuki sebuah kantor di gedung tinggi. Azam tanpa peduli terus berjalan dua meter di depanku, wajahku memerah menahan kesal. Aku menyeret kakiku menaiki tangga, orang-orang yang berlalu lalang di sana menatapku dengan tatapan aneh. Aku melihat Azam berjalan menuju resepsionis, entah apa yang akan Azam lakukan. Aku berdiri di sisi pagar kaca melihat lantai pertama yang cukup ramai, Azam menarikku.

“Yuuk ke museum, gue udah beli tiketnya nih.”

“Tiket? Museum?” Azam menarik  tas ku lebih tepat menyeret ku memasuki sebuah ruangan.

“Ngak perlu diseret, emang gua tambang!” protesku dengan wajah kesal. Untuk kedua kalinya aku menggunakan bahasa kota yang kasar.

“Sorry, ayo ke museumnya keburu tutup."

Azam memperlihatkan tiket pada penjaga museum, saat kami masuk aku melihat banyak sekali pajangan replika karang. Di tengah-tengah museum ada bangunan kaca besar yang di dalamnya berisi miniatur organisme laut, pasir putih di bawahnya mengingatku pada kampung halamanku.

Sewaktu kecil aku sering berlari di pantai dan membangun rumah-rumahan dengan pasir laut. Di ruangan ini ada replika paus orca, hewan-hewan laut yang besar hingga ke mikroba kecil. Aku memakai mikroskop untuk melihat makhluk kecil ini hidup dan berkembang, Azam berdiri di sampingku.  Aku terpana melihat isi museum, dua bulan lebih di kota aku tidak tahu jika ada museum kelautan yang lengkap. 

Tidak terasa kami sudah menghabiskan waktu dua jam mengelilingi setiap sudut museum. Aku sungkan memaksa Azam untuk terus berjalan cemas jika dia sudah lelah.

“Zam, pulang yuk.”

“Sudah liat-liatnya,” aku mengangguk. Azam berjalan di depan menuntunku keluar dari tempat tersebut. Di luaran sana langit sudah mulai gelap, sekilas aku menatap layar handphone tertera pukul delapan belas lewat lima belas menit.

“Zam, aku shalat dulu yaa.” Pamitku pada Azam lalu melangkah ke sisi kiri museum, ada mushala kecil untuk pengunjung. Usai shalat aku keluar dan melihat Azam duduk di bangku seberang.

“Aku kira kamu sudah pergi meninggalkanku,” sapaku ketika duduk di sebelah Azam.

“Mau gue tinggal?” aku membalasnya dengan tatapan sinis.

Aku merapikan ujung jilbabku, “Udah cantik, ngak usah dandan.”

Aku menoleh, “Siapa yang dandan, aku hanya merapikan jilbabku.”

Azam menatap ke arah kubah mushala yang bertuliskan nama Pencipta di sana. “Ibuku profesor di  jurusan ilmu kelautan, ia mengajar di universitas ternama  eropa.” Aku menunggu kelanjutan cerita Azam, “Dia pintar dan bersemangat, kemudian dia berhenti mengajar dan memilih menjadi ilmuwan di lembaga penelitian kelautan.”

“Lalu?”

“Oleh kakekku, ayah dari ibuku mengenalkan ibu pada ayahku. Ayahku seorang perwira di angkatan laut, ia laki-laki yang bertanggung jawab dan cerdas. Mereka menikah dan di tahun berikutnya lahirlah aku, kata kakek ayah sangat bahagia dan berharap kelak aku akan menerusi darah perwira di keluargaku. Waktu kecil, ibu selalu bercerita tentang bintang laut, tentang kerang dan mutiara. Ayahku bercerita tentang kisah heroik pahlawan, kapal laut dan semua pantai yang pernah ia kunjungi.

Ketika usiaku tujuh tahun, aku melihat ayah pergi bertugas di malam hari membawa ransel di pundaknya. Aku tahu ia sering bertugas jauh dan lama, ibu tidak mengantar ayah hingga ke teras. Aku berlari mengejar ayah menuruni tangga, aku memeluk kakinya agar tidak pergi. Ayah membujukku, ia berjanji kembali dengan hadiah senjata mainan baru. Aku melepas ayah pergi, aku tahu ayah akan menepati janjinya.

Seminggu kemudian, ibu juga pergi untuk mengurusi pekerjaannya di luar negeri. Aku tinggal bersama Bi Siti pembantu di rumahku. Aku sudah terbiasa belajar sendiri, meskipun aku sering jauh dari ayah dan ibu mereka selalu berusaha meluangkan waktu untukku. Suatu sore, Bi Siti tak kunjung menjemputku di sekolah. Aku mencoba pulang sendiri namun aku bertemu preman yang yang ingin menculikku, aku berlari tanpa  tahu arah.

Penjahat itu terus mengejarku, aku kalah cepat dengan mereka. Aku berusaha menghindar ketika mereka hampir menangkapku, tapi aku salah arah dan kaki ku menginjak udara kosong aku terjatuh. Tubuhku menghantam pusaran air di bawah sana, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.

Setelah aku sadar, aku menunggu Bi Siti di rumah sakit tapi dia tidak datang. Dokter yang iba  mengangkat ku menjadi anaknya, aku disekolah- kan di tempat yang bagus dan terbaik. Aku ingin pulang namun aku tidak bisa mengingat alamat rumah ku pun tidak bisa menghubungi ayah atau ibu. 

Berbulan lamanya aku terus menjalani perawatan karna sakit di kepalaku yang tidak kunjung hilang sampai akhirnya aku sembuh. Tapi naas bagiku, dokter yang mengangkat aku sebagai anaknya beragama non muslim. Aku diajarkan mengikuti keyakinannya, aku tahu dulu ayah dan ibu ku juga kakek ku orang Islam tidak mengerjakan yang seperti dokter itu lakukan. Namun, di usiaku kala itu aku belum memahami ajaran agama yang dianut orangtuaku. Dokter itu aku memanggilnya panda, ia terus membujuk ku agar ikut ketika dia hendak pergi beribadat. Aku tidak mau dan menolak keras, awalnya ia tidak marah tapi lama-lama ia hilang kesabaran lalu memarahiku. Aku tetap menolak, di sekolah saat ada pelajaran agama seperti yang dilakukan panda aku selalu bolos. Panda marah besar, saat di rumah ia menanyaiku aku berkata jujur padanya. Semenjak itu, panda tidak mau banyak berbicara denganku. Panda tetap menganggapku seperti anaknya, mengantarku setiap pagi ke sekolah memasukkan ke tempat kursus.

“Jadi kamu non muslim?” tanyaku ragu-ragu.

Azam mengangguk, “Teman-temanku tahu aku bukan muslim karna panda bukan orang Islam, aku tidak pernah beribadah selama tinggal dengan panda.”

“Apakah kamu belum bisa mengingat keluargamu?” aku bertanya dengan hati-hati.

“Aku hanya mengingatnya sekilas tapi tidak terlalu jelas,” pungkasnya.

“Mmm… apakah kamu merasa terpanggil?” Azam menoleh mencoba memahami pertanyaan ku.  

✍️

OMBAK MELODITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang