Tentang Shani

2.4K 25 20
                                    

Shani Indira sebenarnya adalah seorang gadis desa yang cantik. Usianya baru menginjak 18 tahun kala itu. Lebih tua 6 tahun dariku. Jujur, kurasa hanya akulah yang masih mengingat kecantikannya hingga sekarang. Bahkan, setelah 20 tahun lebih kematiannya. Setiap malam aku selalu membakar wajah cantik Shani dalam ingatan. Bukan bermaksud mesum, tapi harus dilakukan.

Shani abadi dalam ingatan orang-orang lain—yang juga mengenalnya—sedikit berbeda dariku. Dan sesungguhnya, apa yang mereka ingat juga tidak salah. Bagaimana bisa? Ini semua berawal dari sebuah kejadian pada suatu malam yang panjang dengan deru angin menggigilkan.

Mari kita kembali pada malam itu. Malam saat aku masih berusia 12 tahun. Ketika aku hanya hidup berdua dengan ibu di desa. Seperti malam-malam sebelumnya, ibu tengah bekerja di warung kopi miliknya, dan aku sendirian di rumah. Aku terbangun lewat tengah malam karena suara aneh dari luar jendela. Suara lolongan rendah. Entah apa yang kupikirkan hingga memutuskan untuk membuka tirai jendela. Mengintip apa yang ada di luar. Dan di sana ada Shani, tetanggaku.

Bagian belakang rumah Shani tepat menghadap ke jendela kamarku. Aku dapat melihat ke dalam rumahnya melalui pintu belakangnya yang terbuka lebar. Di sana Shani bersama mbak Feni, si Mbok, dan juga 4 pria asing sedang melakukan hal yang tidak pernah kubayangkan akan saksikan. Sebuah praktik rukiah. Shani yang dipegangi oleh kakak dan ibunya tengah meronta-ronta hebat sementara seorang pria—kemungkinan adalah ustaz—sedang membaca doa-doa untuknya. Tiga pria lain yang lebih muda berdiri di belakang sang ustaz. Melantunkan ayat Kursi.

Wujud Shani pada saat itu sangat berbeda dengan ingatanku. Tubuhnya menyusut bagaikan ditarik ke dalam dirinya. Punggungnya bengkok. Bahunya naik ke atas. Tangannya kurus mirip cakar burung dengan buku jari berbonggol-bonggol. Dan wajahnya merosot menyerupai topeng. Shani kala itu serupa makhluk mengerikan, penuh kebencian, dan tengah menjerit-jerit kesetanan.

Dingin menjalari punggungku. Ketakutan memaku kakiku. Aku membeku di tempat. Pada saat itu, mata kami bertemu.

Shani membelalak menatapku. Matanya hitam pekat, tapi kau bisa melihat sebuah senyum terukir di sana. Mulutnya yang berliur komat kamit mengucap sesuatu. Lalu mendadak Shani diam.

Hening mencekik. Badai telah datang. Pada sebuah momen yang singkat. Shani mengentakkan tubuhnya dengan kekuatan di luar nalar. Mementalkan semua orang yang ada di dekatnya. Bagaikan seekor binatang buas. Ia merangkak di tanah dengan cepat. Menerjang ke arah jendela. Shani menekankan tubuhnya ke kaca. Terdengar bunyi gemeretak. Dia membuka mulutnya memperlihatkan barisan gigi hitam. Sebuah jejak uap terbentuk di kaca. Shani menjulurkan lidah kuningnya dan mulai menjilat jendela. Waktu serasa membeku. Semua terjadi begitu cepat.

"Aku melihatmu!" geramnya dengan nada rendah.

Aku menjerit dan jatuh terduduk ke lantai. Shani terkekeh. Dan secara perlahan kedua tangannya naik ke leher. Mencekik dirinya sendiri tanpa sebab. Orang-orang yang tadi terjatuh kemudian bangkit dan mencoba menghentikannya. Namun, Shani terlalu kuat. Dalam detik-detik terakhir hidupnya, Shani meneriakkan sesuatu yang tidak seorang pun tahu apa yang diucapnya. Dia kemudian terpekik singkat dan jatuh ke tanah. Kisah Shani ditutup dengan raungan si Mbok dan mbak Feni yang membangunkan warga sekitar.

Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi dengan Shani. Sebagian warga beranggapan bahwa Shani terkena ilmu hitam. Sementara sebagian lainnya berpikir bahwa Shani hanya terkena penyakit meningitis atau sejenisnya. Baik si Mbok, mbak Feni, dan juga para praktisi rukiah menutup mulut mereka rapat-rapat.

Aku sendiri tidak ingat bagaimana melewati malam setelah itu. Entah aku tidur pulas atau terjaga semalaman. Aku tidak tahu. Pada akhirnya aku memilih tinggal di rumah nenek. Tidak pernah lagi kembali ke rumahku sendiri. Tiga minggu kemudian aku dan ibu memutuskan untuk pindah.

Dua tahun berselang, mbak Feni datang menemuiku. Dengan senyum yang dipaksakan, mbak Feni mulai bercerita.

"Tentang Shani ...."

Aku mendengarkannya dengan seksama. Aku tidak bisa menceritakan kenapa Shani menjadi seperti itu, tapi akan kuceritakan yang terjadi setelahnya. Empat bulan sesudah kepergian Shani, si Mbok ikut menyusulnya. Mbak Feni kemudian memilih menikah dan ikut suaminya pergi ke luar provinsi. Baru-baru ini mbak Feni secara kebetulan bertemu dengan ibu. Dia bertanya tentang keadaanku. Mbak Feni merasa bersalah atas apa yang kualami. Oleh karena itu, setelah berkonsultasi dengan ustaz, mbak Feni memberikanku sepucuk foto. Foto Shani. Saat dia masihlah Shani yang cantik, dan bukan apapun yang ada pada malam itu.

"Ingat Shani yang ini, ya ...," pinta mbak Feni.

Sejak saat itu aku selalu memandangi foto Shani setiap malam. Dan terkadang aku menangis.

Begitulah caraku mengingat Shani, sekaligus melupakannya.

Cast:
Aku (Sisca)
Shani
Feni

Genre:
Horror

-ˋˏ✄----------------—Tamat—--------------------

wkwkwk.... Gaje banget ceritanya. Sedikit Backstory, mungkin. Cerita ini merupakan cerita yang saya tulis kurang lebih 3 tahun lalu. Saat saya mengikuti lomba cerpen horror—tentu saja saia tidak menang :v—yang diadakan oleh salah satu penerbit minor. Uniknya lomba cerpen ini memiliki aturan yaitu: cerita yang ditulis harus dibawah 5000 karakter. Bukan kata, tapi Karakter. Jujur saia kebingungan ketika menulisnya, dan ketika selesai, saia dibuat lebih bingung lagi dengan karya amburadul ini.

Awalnya cerpen ini tidak ada sangkut pautnya dengan JeKeTi. Saia hanya merubah nama karakternya ke nama member saja (karena ini lapak JeKeTi). Tanpa revisi. Wkwkwkwk, saia sedang malas dan tidak ada inspirasi sama sekali untuk mengembangkan ceritanya. Jadi yah, upload apa adanya.

Ah, sedikit TMI: cerita ini terinspirasi dari kisah nyata yang saia alami sendiri. Tapi nggak seheboh kayak yang di cerita sih, hehehehe....

Sekian, sampai bertemu tahun depan.

Just a Oneshot (JKT48) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang