29.029 kaki

478 15 4
                                    

10 MEI

“29.029 kaki ... Kau tahu? Itulah ketinggian dari gunung ini. Jika kita konversikan menjadi satuan meter, maka akan didapatkan 8.848 meter sebagai angka ketinggiannya. Itulah yang membuat gunung ini menjadi gunung tertinggi di dunia. Bukankah itu luar biasa? Dan lebih lagi ... kita sudah menaklukkannya.”

Aku menarik napas dalam dan mengencangkan selimut yang melingkari tubuhku. Udara dingin naik merayap dan secara perlahan mulai mencabik-cabik kulitku. Badai tengah mengamuk di luar. Petir dan salju sahut-menyahut menampilkan duet maut berjudul alam. Arlojiku menunjukkan pukul 04.45 PM. Namun, di sini gelap sekali. Hanya sedikit cahaya yang masuk melalui bibir gua.

Mataku menerawang liar ke seluruh penjuru. Terlihat banyak stalaktit dan stalagmit yang menjadi ornamen penghias gua kecil ini. Ada juga sebuah ukiran kasar di dinding gua yang dibuat menggunakan patahan stalagmit. Sebuah tenda oranye yang berdiri secara serampangan di tengah-tengah gua, menarik perhatianku sekarang.

Tenda tersebut baru saja dibangun beberapa saat yang lalu dari jas hujan ponco milikku. Di dalamnya terbaring seseorang yang terbalut selimut tebal, tengah menghadapkan punggungnya padaku. Orang itu adalah Gito Andarian, sahabatku.

Sudah lebih dari tiga puluh menit Gito diam mengabaikanku. Mungkin ia masih marah tentang apa yang terjadi sekarang. Ini juga sudah lebih dari lima menit aku menatap padanya, dan Gito sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan bergerak satu inchi pun dari sana.

Aku membuka mulut dan segera menutupnya kembali. Nampaknya aku sedikit trauma setelah mendapat aksi mengabaikan dari dirinya. Bahkan setelah aku menjelaskan ketinggian gunung sialan ini. Pada akhirnya aku mengalihkan pandangan kembali ke bibir gua. Melihat badai mengerikan yang sedang terjadi di luar.

“Kau benar, Teman. Harusnya kita tidak mendaki lebih jauh. Terlebih setelah kita melihat pria bersepatu hijau itu,” kataku sambil meyeruput kopi yang dingin di tangan.

10 MEI (PUKUL 03.01 PM)

Badai semakin mengganas begitu kami berhasil menuruni Hillary Step. Jarak pandang yang terbatas dan terpaan angin kuat adalah mimpi buruk bagi semua pendaki. Aku berharap masih memiliki Muthia Mendez dan Dheon Moscov di sampingku. Namun, apa boleh buat. Keduanya sudah tidak ada di sini—atau lebih tepatnya di dunia ini.

Muthia Mendez telah terkubur dalam longsoran salju yang menjadi makam untuknya. Sedangkan Dheon Moscov bunuh diri dengan cara terbatuk di ketinggian 8.000 meter. Yang tersisa hanyalah aku dan Gito yang saat ini mengumpat di punggungku.

Seharusnya saat ini kami sudah mencapai Puncak Selatan, atau bahkan Base 4. Sayangnya dengan badai yang mengamuk seperti sekarang, membuat hal tersebut terkesan mustahil untuk terjadi. Kami tersesat—Itu alasan sederhananya. Angin kencang tidak menunjukkan rasa persahabatan sama sekali, begitu pula dengan salju yang terus menghisap kakiku, juga Gito yang sedang mengutuk di punggungku.

Aku melirik pada jejak-jejak yang kutinggalkan. Namun kenyataannya, jejak-jejak tersebutlah yang sebenarnya meninggalkanku. Badai benar-benar menyapu bersih semua yang ada. Termasuk harapan kami berdua untuk hidup. Suara Gito masih nyaring terdengar. Dia terus meneriakkan serangkaian umpatan dan kata jorok yang bahkan aku tidak pernah duga dia mengetahuinya. Siapa sangka Gito memiliki kosa kata yang amat berwarna.

Badai terus menggila di setiap langkah yang kuambil untuk berjalan. Ketika aku menutup mata sebelah kanan, dapat kulihat bintik hitam yang amat besar menghiasi hidungku. Nekrosis, sial! Seolah tidak memiliki rasa simpati sama sekali, Gito masih dengan semangat mengeluarkan umpatannya padaku.

“Benar, teman. Teruslah mengumpat. Aku butuh sedikit dorongan!” kataku sembari melanjutkan langkah.

Just a Oneshot (JKT48) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang