2

6.1K 187 30
                                    

Ternyata membolos itu menyenangkan, Haechan asik sekali menikmati makanannya sambil mata tidak pernah lepas dari panorama yang tersaji dan membentang di depan mata. Ia bisa menikmati semua ini karena uang gajinya dari sang ibu kemarin.

Pagi ini seperti biasa ia keluar rumah dan jalan bersama Ryujin menuju jalanan utama. Tidak ada obrolan berarti di antara mereka sebelum akhirnya mereka saling melambai santai ketika harus berpisah di persimpangan.

Semua berjalan seperti biasa hanya sampai di sana saja karena berikutnya bukan sekolahlah yang menjadi tujuan kakinya melangkah. Melainkan ke mana pun, ke mana saja asal tidak ke sekolah. Haechan membolos, bersama dengan uang saku tambahan yang ia dapatkan dari ibunya karena kemarin sudah membantunya bekerja.

Dan berbicara soal kemarin...

Tidak usah dijelaskan soal alasan membolosnya. Semua sudah jelas. Karena dia ingin menghindari Mark. Haechan bersyukur sekali kemarin dia berhasil mencari jalan keluar dari rumah Mark kemudian kabur bersama dengan sepeda butut milik ibunya. Ia mengayuh sepedanya mati-matian sampai Mark tidak berhasil meraihnya.

Satu malam yang mencekam, sulit untuk melewatinaya, Haechan tidak bisa tidur sama sekali sibuk memikirkan bagaimana mengerikannya senin yang akan ia jemput esok hari. Entah itu pukulan dari Mark sendiri atau pun dari semua anggota geng lainnya, Haechan tak bisa membayangkan akan sebonyok apa mukanya setelah itu.

Karena terlalu takut, akhirnya Haechan putuskan untuk membolos saja.

"Tapi, ini juga tidak berguna. Satu hari berhasil melepaskan diri, dan tidak mungkin aku akan terus mengulanginya. Besok..." Haechan bersedih, bibirnya manyun dan kepalanya ia letakkan sedih di atas permukaan meja.

Haechan memutuskan untuk pergi piknik ke tempat wisata yang ada di sekitar danau. Menyeduh ramen dan membeli beberapa makanan lain untuk ia nikmati di meja yang berjejer di tepi danau.

"Tidak bisakah hidup terus seperti ini? Hanya ada tidur, jalan-jalan, lihat panorama yang indah, makan ramen, lalu tidur, lalu terus diulangi lagi semuanya." Haechan memandang ke depan, tidak terasa dia sudah hampir sepuluh jam berada di kawasan danau. Dari matahari yang masih bersinar tipis dari timur sampai akhirnya perlahan naik membawa cahaya benderang yang terang, dan kembali redup ketika telah memasuki sore.

Senja bersama dengan langit yang mendung. Semoga saja hujan. Haechan berpikir akan menyenangkan jika ia bisa hujan-hujanan, dan membiarkan seluruh keresahan yang membebani hatinya dapat luruh bersama guyuran air tersebut.

Tapi ternyata tidak hujan. Tidak sesuai dengan yang Haechan inginkan. Ia keluar dari area wisata dengan hati yang semakin berat. Kenapa alam pun sedikit saja tidak mau tergerak untuk membuatnya senang, walau cuma sedikit.

Namun ketidakberuntungan itu sama sekali tidak mengusiknya untuk tetap memertahankan senyum. Haechan sedang senang tersenyum. Karena wajahnya tidak menyimpan memar yang membuatnya selalu merasakan sakit jika ia menggerakkan bibir atau bahkan sekadar untuk menarik napas. Rasanya, sudah lama sekali sejak terakhir kali mukanya telah sembuh dari memar dan tidak mendapatkan memar yang baru.

"Harusnya Ibu menurutiku soal tidak usah sekolah. Dengan begitu dia jadi tidak usah bekerja sampai sekeras ini dan aku pun tidak-"

"Tidak, apa?" Kemunculan Mark yang tiba-tiba terasa bagai sebuah petir yang mendadak muncul dan mengeluarkan bunyi menggelegar di siang bolong -ketika langit dalam keadaan cerah.

Haechan langsung berhenti sambil membolakan kedua matanya. Ia mendongak, melihat Mark -manusia yang seharian ini berusaha ia hindari telah berdiri di depan mata.

"Kaget?" Mark menaikkan satu alis.

Haechan tidak menjawab, ia menelan ludahnya getir sebelum menatap Mark dengan mata yang bergetar takut seakan-akan sedang memandang setan dengan wujud paling mengerikan.

PANORAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang