Senin Pagi

58 8 0
                                    

"Selamat pagi anak-anak gantengnya Buna. Masih pada ngantuk nih kayaknya." Buna menyapa kedelapan anak lelakinya, yang tengah duduk di depan meja makan. Bersiap memulai sarapan di hari Senin yang cerah. Beberapa wajah setengah mengantuk menghiasi pagi di rumah Buna.

"Buna, kenapa Adek harus ikut bangun pagi juga sih? Kan, Adek sekolahnya siang." Si bungsu Alen, melayangkan protes dengan mata setengah terpejam. Masih mengenakan piyama bermotif beruang berwarna biru muda.

Buna tersenyum manis. "Memangnya Adek enggak mau sarapan bareng kakak-kakaknya Adek?"

"Ya mau. Tapi Adek masih ngantuk. Memangnya enggak bisa ya, sarapan sambil tidur saja?"

"Dek, kalau makan sambil tidur, yang ada kamu bukan kenyang karena sarapan nasi uduk, tapi kenyang makan jigong." Abin menarik gemas kedua pipi Alen. Kebetulan, pagi itu Ayen duduk bersebelahan dengan Abin.

"Jigong kan cair, A. Memangnya bisa dimakan? Bukannya kalau cairan itu diminum, ya?" tanya Harsa dengan tatapan polosnya.

"Masih pagi sudah pada aneh saja sih nih bocah-bocah." Ino mengeluh seraya menarik piring nasi uduknya. "Mending mulai sarapannya deh, pada mau telat berangkat sekolah apa?"

"Ayo kita sarapan. Jangan lupa berdoa," ujar Buna seraya memulai memimpin doa.

Suasana hening beberapa saat. Hanya terdengar suara peralatan makan yang beradu.

"Bang, nanti jangan lupa beli ikan cupang pink garis hijau biru, ya. Kan, Abang sudah janji sama Adek." Alen, yang paling cepat menghabiskan sarapannya, memandang ke arah Wahyu, yang masih menikmati nasi uduknya.

Wahyu tersedak. Tangannya refleks meraih gelas dan menenggak habis isinya. Jijie, yang duduk di sebelah Wahyu, menepuk-nepuk punggung kakak tertuanya itu. Wahyu meletakkan kembali gelasnya seraya menatap si bungsu. "Kirain kamu lupa, Dek. Adek enggak mau ganti ikan cupang warna lain saja? Susah loh nyari ikan cupang pink garis hijau biru." Wahyu berusaha membujuk adik bungsunya.

Alen tampak berpikir. Dahinya berkerut seolah tengah berpikir keras. Kedua mata rubahnya menatap Wahyu. "Ganti pakai ikan apa? Kalau ikan hiu pink ada enggak, Bang?"

Semua menahan napas mendengar pertanyaan Alen. Harap-harap cemas. Semua pandangan tertuju pada Alen, yang tengah berpikir seraya menenggak susu. "Adek mikir dulu deh. Abang cari saja dulu ikan cupang pink garis hijau birunya," ujar Alen seraya meletakkan kembali gelasnya. "Buna, Adek mau nonton tv dulu. Mandinya nanti saja, ya." Alen mengalihkan pandangan ke arah Buna, yang mengangguk setuju. Alen bergegas meninggalkan meja makan dan berlari setengah melompat ke ruang tengah.

Wahyu menatap Buna. "Buna, tolong Abang bujuk Adek dong. Nyari ikan yang lain saja deh. Abang nyerah kalau disuruh nyari ikan cupang pink garis hijau biru."

"Kata gue sih ya, Bang. Lo beli saja ikan cupang warna putih, terus lo cat deh jadi pink garis hijau biru kayak ayam warna warni noh." Ino, yang tengah mengumpulan piring bekas mereka sarapan, mengajukan ide, yang menurutnya cemerlang.

"Luntur lah warnanya kalau kena air, Kak. Kadang-kadang bego juga ya, nih manusia sok ganteng satu. Keseringan ngebegoin adik-adiknya ya, gini nih, ketularan bego jadinya. Sukur kena karma." Harsa menatap sinis ke arah kakaknya.

"Heh, gue cuma ngasih saran, ya! Masih mending gue ngasih saran, daripada lo! Diam doang kayak bayi kuda nil sakit gigi. Lo punya ide yang lebih bagus dari ide gue enggak?" Ino menatap Harsa dengan kedua mata lebar.

Jijie, Lixie, dan Tara memandang Harsa dan Ino bergantian. Keduanya masih saling mendebat. Abin berdecak kesal saat mendapati wajah bengong ketiga adiknya, yang masih tersisa di meja makan. "Adik-adik Aa Abin, yang manis kayak gulali genjot, kita siap-siap sekolah saja yuk. Jangan nonton sepasang orang bloon lagi debat." Abin menuntun ketiga adiknya, sebelum perang saudara dimulai. Menyelamatkan masa depan pendengaran ketiga adiknya adalah hal terpenting bagi Abin.

Buna menghela napas. "Kalian berdua kalau debat, bisa tidak kata-katanya difilter lagi? Ada adik-adik kecil kalian loh tadi." Buna menatap tajam kedua anak bujangnya.

Ino dan Harsa diam seketika dan menundukkan kepala. "Maaf, Buna ...."

Buna tersenyum. "Ya sudah. Kalian siap-siap sana. Ini semua biar Buna yang bereskan. Cek lagi barang-barang kalian, jangan sampai ketinggalan, ya."

"Iya, Buna ...." Ketiga remaja puber itu beranjak dari meja makan. Meninggalkan Buna, yang segera membereskan meja makan.

...

"Abang, kalau ikan cupangnya enggak ada, Adek dibeliin ikan lain juga enggak apa-apa. Pokoknya harus beda sama ikannya Udin. Enggak mau yang sama kayak Asep juga. Nanti mati lagi."

Wahyu, yang tengah mengenakan sepatu, menoleh dan tersenyum lebar. Diacungkannya jempol. "Oke, Adek gantengnya Abang. Nanti Abang carikan ikan yang paling bagus, biar nanti ikan Adek enggak sama kayak ikannya Udin."

"Selamat lo, Bang. Untung Adek lagi baik hati." Abin menatap kakak sulungnya seraya tersenyum.

"Adek enggak sekolah?" tanya Ino seraya mengusap pipi kanan Alen. "Loh, Adek demam? Kok panas pipinya?" Ino mengarahkan tangannya ke dahi dan leher Alen. Masih terasa panas.

"Tadi waktu mau mandi, kata Buna, Adek demam jadi enggak usah sekolah dulu, Kak. Kepala Adek juga sakit. Hidung Adek mampet."

"Apa??? Adeknya Mas Harsa sakit??? Ya ampun ... kok bisa sakit, Dek? Kemarin main hujanan, ya?" Harsa menerobos di antara Ino dan Alen. Memeluk Alen dan menciumi kepala Alen.

"Ih, Mas, lepas. Adek enggak mau dipeluk. Jangan cium Adek ih. Mas Harsa bau jigong." Alen berusaha melepaskan diri dari pelukan Harsa. Alen berusaha menghindar dari ciuman kakaknya. "Hueeeee .... Buna .... Tolong Adek, Buna ...." Alen mulai menangis kesal dalam pelukan Harsa.

Wahyu, Abin dan Ino hanya tergelak melihat usaha Alen melepaskan diri. Wajah kesal Alen terlihat menggemaskan bagi ketiganya.

"Buna .... Tolong Adek .... Mas Harsa nakal Buna ...."

Buna, yang baru memasuki ruang tamu, hanya menggelengkan kepala.

"Ih, Mas Harsa, Adek diapain? Kok nangis sih?" Lixie berlari mendekati Alen, berusaha menolong adik bungsunya. Namun langkahnya tertahan oleh Ino, yang menangkapnya dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Harsa pada Alen. "Buna ... tolong ... Lixie diserang monster."

Wahyu dan Abin saling pandang lalu menoleh ke arah Jijie dan Tara. Keduanya terkekeh dan bangkit dari duduk masing-masing. Mendekat ke arah kedua anak kecil, yang segera bersembunyi di balik tubuh Buna.

"Hua ... Buna ... Ada zombie mendekat!!!" teriak Jijie dan Tara panik.

"Zombie jangan mendekat!!! Jijie anak baik!!! Sana pergi!!!" Jijie berusaha menghindar dari sergapan Wahyu, yang justru terkekeh geli dan kian mendekat.

"Tara belum mandi!!! Alien jangan culik Tara!!! Tolong!!! Alien jelek!!! Jangan deketin Tara!!!" Tara berlari menjauh dari Abin, yang nyaris menangkapnya.

Buna menghela napas. Sungguh pagi yang damai bagi Buna. "Kalian enggak mau berangkat sekolah apa enggak?"

...

Buna's Bokem (Daily Life Seorang Buna & 8 Anak Lelakinya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang