Hari pun berlalu, sudah sekitaran seminggu Arsa tidak masuk sekolah. Mega pun hanya melirik meja Arsa, biasanya ia sering menatap Arsa yang tengah fokus belajar. Mega sudah beberapa kali menghubungi Arsa, tetapi nihil. Arsa tidak mengangkat ponselnya dan tidak pernah membalas pesan-pesan dari Mega. Beberapa kali Mega menghela nafasnya, kelasnya benar-benar terasa sepi tanpa Arsa.
Tak lama, disaat Mega melamun memikirkan Arsa, Arsa pun datang. Wajahnya lebih pucat daripada biasanya, tubuhnya bahkan terlihat sangat kurus. Mega tersenyum. Ia menghampiri Arsa, Mega sangat senang karena Arsa masuk sekolah hari ini. Setidaknya ia tahu Arsa baik-baik saja.
"Lu kemana aja? Kelas sepi tanpa lu." Ujar Mega, Arsa hanya melirik Mega, ia tidak tersenyum seperti biasanya. Wajahnya cukup datar, jika seperti ini Arsa benar-benar terlihat seperti Arka.
"Cuma lu mungkin yang merasa sepi. Nggak akan ada yang merasa kesepian tanpa adanya gue."
Mega terdiam sesaat mendengar ucapan Arsa, apa dihadapannya ini benar-benar Arsa? Mega menatap plester dipunggung tangan Arsa. Apa yang terjadi dengan Arsa?
"Lu habis di infus?" Tanya Mega, Arsa tak menjawab, ia mengeluarkan beberapa buku dari tasnya. Mega melihat mata Arsa sembab, apa pemuda ini menangis semalaman?
"Apa yang terjadi Sa? Lu nggak masuk sekolah seminggu ini, dan saat lu masuk, lu jadi aneh gini. Apa gue ada salah sama lu sampai lu nggak mau ngomong sama gue?" Tanya Mega, Arsa hanya menghela nafasnya.
"Mega, biarin gue sendiri. Gue mohon." Ucapan Arsa tidak dapat Mega bantah. Sepertinya ada hal yang terjadi, tetapi Mega akan membiarkan Arsa untuk sendiri saat ini. Mega kembali pada bangkunya, sementara pandangannya masih setia menatap Arsa.
Suara bel pun terdengar menandakan jam sekolah dimulai. Seluruh siswa sudah memasuki kelas dan duduk pada bangku mereka, selang beberapa saat guru pun datang. Aktivitas belajar dimulai, sesekali Mega menatap Arsa, ia berharap Arsa kembali seperti biasanya.
Dilain tempat, Nathan pun menuruti untuk bertemu dengan Taruna dan Raya tanpa sepengetahuan Rea. Taruna mengatakan bahwa mereka bertemu untuk membahas Arsa. Awalnya Nathan menolak, tetapi Taruna terus memaksanya.
"Ada apa? Katakan apa perlu uang untuk Arsa? Gue akan memberikannya." Ujar Nathan.
"Than, gue tau lu bisa kasih berapapun uang yang kita pinta, tapi saat ini gue cuma dateng untuk membahas Arsa." Jawab Taruna, Nathan hanya menghela nafasnya.
"Mau bahas apa? Gue nggak banyak waktu."
"Lu ya! Arsa juga anak lu, sama kayak Arka, seharusnya lu sayangin dia sama kayak lu sayang sama Arka."
"Gue sayang dia. Gue juga yakin lu berdua bisa jaga anak gue. Tapi gue nggak mau Rea tahu tentang Arsa, gue nggak mau mental Rea kembali terguncang."
"Lu begitu sayang Rea, tapi lu pernah nggak mikir nasib anak lu! Arsa tahu lu itu Ayah kandungnya!" Ujar Taruna, ia bahkan cukup kesal dengan cara sahabatnya terhadap Arsa yang jelas-jelas anak kandungnya sendiri.
"Beberapa waktu lalu dia datang, tapi gue minta dia pergi karena gue nggak mau Arka bertemu dengannya."
"Than, gue nggak minta sepeser uang dari lu, tapi gue cuma minta bantuan lu, Rea, atau Arka. Terserah untuk lu mau terima Arsa atau enggak, tapi gue minta tolong. Tolongin anak gue Than." Air mata Taruna lolos begitu saja membuat Nathan terheran.
"Ada apa?"
"Seminggu lalu, Arsa masuk Rumah Sakit. Lu tahu kan penyakit dia dan itu juga jadi alasan lu nggak bawa Arsa?" Tanya Taruna, Nathan mengangguk. Jelas saja Nathan tahu itu.
"Seminggu lalu, Arsa mengalami mimisan. Darahnya nggak berhenti-henti. Awalnya gue berpikir kalau itu bawaan dari penyakitnya, karena sejak kecil memang Arsa sering kali mimisan, tapi..." Taruna menarik nafas dalamnya sebelum ia melanjutkan ceritanya, Nathan menahan nafas, ia tak tahu apa yang akan Taruna sampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKASA
Teen FictionArkana Zynn Narendra, atau pemuda yang kerap kali disapa Arka ini begitu membenci saudaranya. Ia selalu merasa bahwa kedua Orangtua-Nya menjual dirinya kepada keluarga Nathan hanya untuk membiayai pengobatan Arsakha Zynn Narendra. Dunia terasa tidak...