Rumah ini menjadi asing... orang-orangnya juga. Mama, adik-adik, juga aku –gadis pidato Inggris. Semua tahu bahwa seisi rumah ini tengah bersedih. Namun, 'tak ada satupun yang berani menampakannya. Kami berpura-pura tersenyum, seolah melupakan hal yang lalu. Aku bangun tidur, mandi, makan, sekolah, pulang, mengerjakan tugas, lalu tidur. Ibu bekerja seharian... dan adik-adikku hanya menonton televisi. Rumah ini berisi, tapi kosong... dan kami 'tak pernah menatap satu sama lain.
Kukira, dengan kami begini akan memperbaiki suasana, agar 'tak berlarut-larut dalam kesedihan. Kami mengira, kematian 'tak terlalu mengguncang. Kami mengira, kami baik-baik saja. Namun, pada kenyataannya... manusia 'takkan pernah terbiasa dengan kematian. Seberapa sering pun manusia menjumpainya, kematian tetap terasa menyakitkan. Berjumpa dengan kematian adalah penderitaan bagi orang yang ditinggalkan.
Semakin aku menimbun rasa sedih itu, semakin sering mimpi buruk pun muncul. Hal yang selalu menjadi doaku sebelum tidur adalah ... tolong datangkan ayah di dalam mimpiku malam ini. Namun, justru yang kudapati adalah jebakan gelap panjang membentuk lorong. Aku berlari mengejar bayanganku sendiri yang semakin aku lelah, semakin ia hilang. Mimpi itu menjadi bunga tidur tiap malam yang diakhiri dengan pengap menelanjangi tubuh.
Menghadapi luka kematian di usia ini adalah hal yang 'tak pernah kuduga seumur hidup. Duniaku memang masih ada, tapi harapan untuk hidup hanya sebatas karena masih bernapas. Hobi? 'Tak lagi menarik. Cita-cita? Hanya ingin terlepas dari mimpi buruk. Kala itu, pandanganku terhadap dunia hanya sebatas tempat aku menghabiskan waktu... dan aku bingung bagaimana cara menghabiskannya. Dunia hanya berputar untuk kesibukan tanpa makna. Aku benar-benar terjebak, tapi entah oleh apa.
Hari-hari kulalui begitu-begitu saja. Namun, anehnya aku selalu beruntung dalam akademik. Mungkin, karena ayahku pernah berpesan untuk jangan menyepelekan pendidikan. Namun, juara 1 pun aku bingung harus bahagia dengan siapa. Jika ada ayah, mungkin aku akan berkeliling kota di atas pundaknya. Ayah pasti akan bangga, bukan?
Setiap kali pulang ke rumah, perasaanku hampa. Entah mati rasa atau apa namanya. Katanya, kalau tubuh kita capek, pulang saja, istirahat saja... tidur saja di rumah. Namun, aku selalu 'tak berhasil menemukan titik nyaman di setiap pulangku. Seiring waktu, aku sibuk mencari-cari tempat pulang. Aku sibuk mencari rumah, tapi 'tak tahu rumah mana yang serupa dengan ayah. Rasanya mustahil aku mendapatinya lagi. Sudah bisa tidur saja, itu sudah untung, bukan.
Aku, mama, adik-adikku... kami seatap, tapi 'tak berani saling menatap. Kami sama-sama percaya bahwa diam dan bersikap seolah semua baik adalah yang terbaik. Kami tertawa disaat memang seharusnya tawa itu keluar. Sekadar ha-ha-ha yang seharusnya terasa hangat, justru semakin terasa pedih. Haruskah kami hidup seperti ini? Sekali saja, boleh aku berteriak?
Mama, aku bingung!
KAMU SEDANG MEMBACA
FLORET ROSA OSCURA - Berantakan atau tidak, mari tetap hidup!
Short StoryJournaling my trauma. Tulisan ini adalah aku sendiri. Mari berkenalan!