Penyesalan tentang bagaimana aku mengorbankan pertemanan kita demi hubungan yang kutahu tak akan pernah berhasil terus menghantuiku.
- Florin Saturnus Anggita
*****
SEPANJANG bulan Oktober, memori yang hadir hanyalah tentang menghabiskan waktu bersama Jazel. Di dalam Jazel, aku bisa menjadi diri sendiri, bisa tertawa lepas, bahkan menangis karena menceritakan seluruh kisah tentang keluargaku yang cukup menyayat hati jika diingat, tentang mimpiku, tentang olimpiade debat tingkat universitas yang akhirnya tidak aku ikuti karena berdebat dengan ibu yang tidak senang aku terlalu terlibat dalam mengkritik dan kritis terhadap suatu hal yang dipahaminya sebagai bentuk "protes", dan lainnya yang tidak dapat kusampaikan jika hanya kepada seorang teman.
Sebetulnya aku tidak mau meromatisasi semua momen yang aku lakukan bersama dirinya. Namun, bagaimana hal itu kucegah saat semua momen "pertama kali"ku dilakukan bersama dirinya? Seperti mengelilingi Universitas Indonesia dengan berjalan kaki, mengunjungi fakultas-fakultas yang seperti berada pada dunia lain, berboncengan di sepeda listrik yang hanya muat untuk satu orang sampai rasanya kakiku pegal sekali, rela mengantri berpuluh-puluh menit demi es krim yang ternyata rasanya biasa saja, pergi ke pusat perbelanjaan dekat kampus untuk mencicipi ikan mentah asal Jepang yang enak itu (aku disuapi dirinya karena menolak makan dan lontaran kata "manja" dari mulutnya terasa menghibur sampai sekarang), dan masih banyak hal lain.
Pada bulan Oktober ini juga, banyak sekali gestur-gestur manis yang diberikan Jazel tanpa sadar, saat ini pula, aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, tentang apakah dia memang menyukaiku, hanya ingin berteman, atau memang aku hanya menjadi alat saat dia sedang kesepian?
Wangi tubuhnya seperti buah stroberi yang manis membuatku berpikir, apakah memang laki-laki ini tercium demikiran pada indra setiap orang yang dekat dengannya, ataukah aku yang mulai gila? Tak berhenti aku memutar lagu Strawberries & Cigarettes karya Troye Sivan yang menurutku sangat mendeskripsikan hubungan-atau apapun itu-diantara kami. Dengan gayanya yang selalu terlihat seperti laki-laki garang yang gemar mengobrak-abrik hati perempuan itu memiliki harum seperti stroberi tak henti-hentinya membuatku tersenyum saat mengingatnya. Aku mulai berpikir saat itu, perlukah aku membeli parfum yang sama agar kerinduan yang menjalar bisa tertangani dengan cepat? Tapi itu akan menjadi menyeramkan bukan, jadi tak kulakukan.
Selama bulan Oktober pula rasanya kami semakin dekat, hingga aku berpikir apakah terlalu cepat jika aku mengakui perasaanku sekarang? Perasaanku yang semakin intens itu diperparah saat suatu acara menarik kami menjadi pasangan untuk berdansa bersama. Dalam segala latihan yang kami lakukan bersama dengan pasangan dansa yang lain, aku selalu merasa dunia hanya milik kami berdua. Saat tanganku dan Jazel bersentuhan, ada aliran listrik yang entah mengapa menyetrumku, tapi membawa kebahagiaan yang teramat, membuat diriku yang seringkali lelah mendapatkan energinya kembali.
Namun memang manusia tidak boleh terlalu bahagia, nantinya ia akan jatuh dalam jurang kesedihan yang dalam. Pagi itu ibu membangunkanku, dengan nada marah ia minta untuk melihat isi ponselku, terutama isi percakapanku dengan Jazel. Mungkin ia sadar putri sulung satu-satunya itu sedang jatuh cinta karena sering tidur larut malam dengan senyuman menghiasi wajahnya. Hal yang tak terduga terjadi, ketika ibu menyambungkan panggilan kepada Jazel yang langsung diangkat olehnya.
"Tolong ya jangan ganggu anak saya lagi, dia tuh banyak kerjaan, harus belajar dan ngurus adik-adiknya. Kalo kamu tetep ganggu anak saya, saya bakal pindahin dia ke universitas lain. Semua ibu pasti akan melakukan hal yang sama, kamu bisa tanya ibu kamu."
Jantungku mencelos, seisi dunia rasanya runtuh. Hari ini, kami akan latihan bersama, namun bagaimana sekarang aku harus menemui dirinya? Jujur saja, Jazel tidak pernah menggangguku, malah dia yang membawa kebahagiaan baru yang sempat hilang dalam diriku. Bagaimana ibu bisa begitu tega? Saat itu aku sangat marah pada ibu, aku merasa bahwa dirinya egois, dirinya memang hanya mau yang terbaik untuk anak perempuan satu-satunya, namun mengapa harus menjauhkan sumber kebahagiaanku yang baru? Apakah aku tak berhak untuk bahagia?
Latihan siang itu, aku benar-benar membatasi interaksiku dengan Jazel. Bukan aku mengikuti kata-kata ibuku, tapi aku tidak punya muka lagi untuk berhadapan dengan Jazel. Selain karena tidak enak pagi-pagi dia harus dikejutkan dengan nada marah ibuku, tapi aku juga malu karena berpikir bagaimana jika apa yang ibu proteskan kepadanya sebenarnya bukan hal besar yang menganggu dirinya, karena dia hanya menganggapku sebatas teman?
Namun akhirnya aku memberanikan diri untuk menghampiri dirinya dan meminta maaf, dia melihatku dengan mata indah itu, jiwaku serasa tertusuk, tak bisa kuungkapkan bagaimana sakitnya hatiku waktu itu. "Entar aja." perkataannya begitu tenang membuat jiwaku yang bergejolak juga bisa reda dan bersikap "normal" pada dirinya di siang itu. Selesai berlatih, seperti biasa dia akan mengantarku pulang ke stasiun Universitas Indonesia dengan berjalan kaki. Terbiasa ditemani dirinya, aku merasa bahwa aku takkan bisa lagi pulang tanpa Jazel di sisiku. Akhirnya kami bicara selama perjalanan, dia juga tak terlalu memusingkan apa yang dikatakan ibuku. Namun, dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku tahu hubungan pertemanan kami akan merenggang setelah ini dan aku sangat tidak ingin hal itu terjadi. Aku dan Jazel menjadi asing adalah hal terakhir yang kuinginkan dalam dunia yang fana ini.
Dia memang membuktikan ucapannya, bahwa dia akan tetap menjadi temanku, kami tetap menyelesaikan latihan dansa dengan baik, dan pada hari pentas pun kami menjadi pasangan dansa terbaik. Selama berdansa, aku tak mendengar lantunan lagu, karena mataku dan Jazel saling mengunci. Tatapannya yang dalam mau tak mau membuatku tersenyum lebar. Sekali lagi, rasanya aku tidak ingin momen ini berakhir, aku tidak mau melepaskannya. Namun sekali lagi aku berpikir, sebenarnya saat kita sedekat ini, apakah dia merasakan hal yang sama denganku? Apakah jantungnya juga meledak-ledak saat bertatapan denganku? Apakah dia juga ingin menghentikan waktu? Tapi sebenarnya, hubungan kita itu bisa disebut apa? Tidak ada pertemanan sedekat ini, tapi tidak ada juga hubungan romantis dibatasi dinding setinggi ini.
Seperti biasa sentuhannya selalu tepat, saat dia merasa aku terlalu jauh, dia meraih pinggangku untuk berada lebih dekat dengannya membuatku benar-benar salah tingkah, di dalam perutku terasa seperti ada jutaan kupu-kupu yang ikut berdansa bersama kami, rasanya menggelitik, namun nyaman.
Acara itupun selesai, setelahnya, hal yang paling kukhawatirkan benar terjadi. Hubungan kami yang tadinya sedekat nadi menjadi sejauh matahari. Dalam minggu pertama kami merenggang, semua orang yang bertemu denganku pasti akan menanyakan keberadaan Jazel. Bahkan temannya yang tidak dapat menghubungi Jazel, akan menghubungiku. Aku benar-benar benci perasaan itu, perasaan rindu yang rasanya membunuhku perlahan. Yang paling kubenci dari sebuah kerenggangan adalah, suara yang tadinya kau ingat akan perlahan terlupakan, wanginya akan memudar (hal ini benar terjadi, namun entah bagaimana, jika ada wangi tubuh yang mirip melintas di dekatku dapat membuatku menoleh tiga ratus enam puluh derajat untuk memastikan apa benar itu dia). Dalam minggu pertama kami jauh pun, aku menjadi sadar, mungkin sebenarnya dia hanya menjaga profesionalitas supaya kami bisa mementaskan dansa dengan baik, selebihnya dia akan menjauhiku, seperti yang dipinta ibu.
Aku lagi-lagi menyalahkan ibuku, bukan hanya karena aku kehilangan orang yang kusukai, namun aku akhirnya kehilangan teman. Betapa bencinya aku karena harus mengorbankan pertemanan kami, demi perasaan bodohku yang tak bisa kutahan, demi hubungan romansa yang tidak akan pernah terjadi.
Aku merasa sangat bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Chances We Didn't Take
Teen FictionHanya sepenggal kata-kata yang harus dituangkan dalam kanvas putih agar hati tidak menerus gelisah.