satu

1 0 0
                                    

Kupikir mengulang rutinitas yang sama selama seribu empat ratus enam puluh hari dapat membuatku merasa jenuh dan berakhir membenci orang yang membuatku seperti ini. Alih-alih menyumpahi mereka sampai mati, aku malah semakin terbiasa menikmati kebersamaanku dengan hening dan redupnya taman kota yang lampu tamannya mati satu, sembari melahap coffee uno yang setiap hari pula aku beli di toko roti yang tak jauh dari sini.

Menemukan titik damai dalam diriku setelah seharian berkelahi dengan kegiatan manusia dewasa pada umumnya di taman kota ini layaknya sebuah anugerah dari Tuhan yang diturunkan khusus untuk diriku, dan juga dirinya. tempatku untuk pulang, menarik napas sejenak, dan beristirahat.

Tak kusangka juga aku tak kunjung berpindah hati dari pria tak tahu diri yang sangat aku cintai itu, setelah bertahun-tahun lamanya. Kupikir jika kita selesai maka semua akan berjalan sebagaimana sebelumnya, saat aku belum mengenal pria yang terlampau biasa-biasa saja itu. Namun, satu hal yang baru aku sadari belakangan ini adalah sebuah fakta bahwa tak ada satu hal pun yang spesial dari dirinya, sama sekali. Hanya seorang budak korporat dengan jabatan yang biasa-biasa saja, upah perbulan yang biasa-biasa saja, wajah yang biasa-biasa saja, proporsi tubuh yang biasa-biasa saja, dan selera humor yang biasa-biasa saja. Semua yang ada pada fisiknya benar-benar sangat biasa.

Tapi entah bagaimana saat dia duduk di sampingku rasanya aku sudah tak peduli lagi dengan dunia dan seisinya, dengan pencapaian-pencapaianku, dengan susah payahku, dengan luka dan asaku, dan dengan banyaknya suara-suara yang membentuk alunan lagu rock metal di kepalaku. seperti sedang melihat bumi yang sedang dihantam meteor tapi kau tak peduli sama sekali, karena selama ada dirinya, kau yakin kalau kau pasti bisa. Ya, selagi ada dirinya, pikirku selalu begitu dan tak pernah berubah sejak beberapa tahun ke belakang.

Eksistensinya sangat menenangkan dan menghangatkan, bahkan rasa rasanya dulu taman kota ini tak pernah lebih dingin dari musim hujan di Norwegia selagi dirinya masih ada. Namun, sayang sejuta sayang selalu aku lantunkan dari lubuk hatiku yang terdalam, aku harus berpisah dengannya di malam itu, benar-benar malam yang penuh dengan mimpi buruk, seperti yang seringkali diceritakan anak-anak kecil itu saat tiba-tiba saja mereka mengetuk pintu kamar orang tua mereka di tengah malam sembari merengek karena mereka baru saja melihat hantu di kolong tempat tidur mereka.

Keesokan paginya setelah kami berdua putus, aku bangun seperti biasa dan refleks menghubunginya seperti saat kita masih terikat suatu hubungan. Memalukan sekali! benar-benar tak bisa dipercaya bahwa kami baru saja mengakhiri hubungan kami tadi malam. Dia tetap membalas pesanku, dengan beberapa kalimat singkat yang cukup untuk menyadarkanku dari halusinasi di pagi hari itu, menyedihkan sekali. Hari pertama hingga hari ke tujuh rasanya seperti biasa saja, seperti ada sesuatu yang kurang namun masih bisa ditoleransi akal sehatku. Namun, selebihnya aku pikir aku mulai gila.

Aku kehilangan seseorang untuk berbagi cerita, berbagi tawa, berbagi luka dan asa, berbagi kasih dan sayang, berbagi sepotong coffee uno, berbagi sebuah pelukan hangat, dan berbagi ciuman-ciuman kecil yang manis. Aku benar-benar baru menyadarinya setelah satu bulan, dan rasanya benar-benar menyakitkan. Seperti ada yang salah dalam diriku tapi aku sendiri tak bisa memperbaikinya.

Kami bertengkar karena tujuan kami berbeda, kami memiliki alasan yang tak sinkron dengan satu sama lain —dan sejenisnya, yang membuat kami kehilangan alasan untuk tetap bersama. Mungkin terkesan remeh dan sederhana untuk sebagian orang, tapi bagi orang dewasa seperti kami masalah ini bisa jadi begitu rumit. Aku pernah berpikir bagaimana jika kita menjalani tujuan dan keinginan masing-masing saja selagi tetap saling mencintai, apakah tidak bisa dipaksakan saja? Ternyata jawabannya adalah tidak.

Tapi aku yakin sekali bahwa jauh di lubuk hatinya, ia pasti masih sulit melupakan hubungan manis kami saat itu, karena akupun begitu. Karena saat kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, kami sempat berpelukan hangat dan erat, dan pelukan yang berlangsung beberapa detik lamanya itu cukup membuatku sadar bahwa kami masih mencintai satu sama lain, tapi ada satu dan lain hal yang kami sendiri pun tak tahu bagaimana cara mengendalikannya. Sulit sekali menceritakan latar belakang perpisahan kami, tapi aku bersumpah itu benar-benar kompleks.

Kini hampir setiap malam aku membawa mataku menatap pada kekosongan langit yang tak dihiasi apapun, terhalang cabang-cabang pepohonan, dan ditemani lampu taman yang redup. Membawa diriku berlayar melalui samudra-samudra kasih dan sayang kami beberapa tahun lalu. Pertanyaan serupa 'bagaimana jika kita bertahan hingga saat ini' dan 'betapa menyenangkannya malamku jika saja dirinya masih ada di sini' selalu hadir di kepalaku tanpa terkecuali setiap malamnya.

Empat tahun sudah berlalu namun diriku tak kunjung menjumpai penggantinya, entah mungkin bagian dari diriku yang lain yang tak ingin menggantikannya, atau tak siap untuk menghapus memoriku bersama dirinya sepenuhnya. Bohong jika aku tak pernah mencoba membuka hatiku kembali untuk manusia-manusia baru di luar sana, Tapi rasanya sulit dan tak pernah ada yang bisa menerima bagian terbodoh dari diriku. Sadar tak sadar aku mulai terbiasa menjadikan dirinya sebagai tolak ukur sosok seorang kekasih bagi diriku sendiri, dan sejak itu juga aku tahu bahwa dirinya memang biasa saja tapi hal biasa itulah yang memberiku rasa nyaman sepenuhnya. Berbelit belit dan sangat sulit dipahami memang, karena diriku sendiri juga tak habis pikir. Maksudnya, bagaimana bisa?

Selama bertahun-tahun pula aku merindukan rasa kasih sayang dan cinta sepenuhnya dari seseorang. Membuat diriku hilang semakin jauh entah kemana, setiap malam rasanya hampa dan rasa itu tak pernah berubah. sekalipun aku lupa membeli coffee uno dan memakan sisa bekal nasi gorengku, atau saat aku membawa dua cup kopi dan meminumnya sekaligus, atau hal hal yang tak biasa aku lakukan selagi berada di taman selain memakan satu bungkus coffee uno dan meminum sisa air mineral di botolku.

Bermalam di tempat ini sudah menjadi bagian dari diriku yang aku harap seseorang bisa menarikku dan membawaku pergi dari sini secepatnya, karena bagaimana jika aku melakukan hal ini untuk selama-lamanya? Namun, demi Tuhan aku bersumpah aku ingin merasakan jatuh cinta lagi, entah dengan siapapun orangnya. Walau sedikit banyak dariku masih berharap orang itu adalah dirinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Ingin Mencintai LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang