Sesekali Mona melihat pantulan tubuhnya sendiri di kolam air. Dia terlihat cantik, setidaknya itulah sepatah kata yang terlintas dalam pikirnya tentang dirinya. Gadis manis penuh bakat yang diberi kelebihan oleh Tuhan, salah satunya adalah kemampuan analisis cepat dalam pelajaran Matematika.
“Haha, ocehan macam apa yang Reina katakan padaku kemarin tentang Hao? Aku tahu dia tidak menyukaiku, tapi jika bersikap tak tentu karena memiliki kepribadian ganda … itu mustahil, kan?” gumam Mona, sambil memandangi seorang lelaki yang tengah melakukan sparing basket di lapangan sekolah untuk menyambut pekan olahraga nasional kurang lebih satu Minggu mendatang.
Sesekali ia tersenyum saat pandangan matanya terus mengekor pada setiap gerakan yang dilakukan. Tubuh atletis sempurna itu adalah tipe ideal Mona. Benar-benar keren, pikirnya.
“Selalu bekerja keras. Mungkin itu alasan kenapa dia sering tertidur di kelas.” Mona tersenyum. “Sudah kuputuskan, setelah latihan ini selesai aku akan mengungkapkan perasaanku padanya dengan memberikan cokelat dan surat ini.”
Day 14
“Mona, lebih baik kau pergi. Dan aku juga akan menganggap bahwa hal ini tidak pernah terjadi.”
Ternyata dugaan dalam lubuk hatinya benar. Hao benar-benar tidak menyukainya. Tapi, mendengar penolakan halus itu bukannya menyerah, Mona justru merasa tertantang untuk berjuang lebih keras lagi.
Lelaki itu mengatakannya kaku, tanpa ekspresi. Jika ada satu toko yang kehilangan kanebo kering, benda itu ada di hadapan Mona sekarang. Berdiri dan menatapnya dengan sorot mata sedingin bongkahan es di Antartika.
Xu Minghao adalah seorang atlet nasional. Tidak perlu disebut kapten basket pun semua orang sudah pasti mengetahuinya. Handband berwarna merah itu, tidak semua pemain di sekolah Mona mengenakannya, kecuali orang terpilih.
Hao sangat keren dan terkenal. Bukan hanya di kalangan guru, tetapi juga para siswa.
Dan, lelaki keren itu sedang melotot ke arahnya dalam diam. Tangannya bergerak ke atas, tepat di depan kedua mata Mona lalu mulai menunjukkan selembar kertas berwarna biru, kemudian merobeknya hingga menjadi bagian terkecil.
Bias sinar mentari senja yang tidak sengaja mengenai salah satu iris matanya tampak berbeda. Begitu menyeramkan dan tajam. Inikah sisi lain galih yang dimaksud oleh Reina? batin Mona.
“Jangan lakukan hal bodoh seperti ini lagi, Mona.”
Hao mengatakan dengan tegas seolah dia tengah membentak salah satu pemainnya seperti yang biasa dia lakukan di tengah lapangan. Memang, semenjak Mona berkata bahwa dia menyukainya, Hao tiba-tiba saja berubah dan tidak pernah lagi menunjukkan senyuman.
“Aku pergi. Cepatlah pulang, ini sudah petang.” Hao pamit dan segera berbalik arah, meninggalkan Mona di lorong kelas sendirian. Tidak pernah hatinya merasa sesakit ini. Paling tidak biasanya Hao akan mengantarnya hingga ke depan gerbang. Mungkin dia marah karena melihat Mona yang semakin hari semakin membosankan.
“Entah kenapa aku seolah melihat sisi Hao yang lain,” gumam Mona, menunduk. “Aku tak menyangka sorot mata itu bisa melumpuhkanku.”
Day 19
“Yak! Tunggu!”
Semua orang yang ada di dalam kelas langsung menoleh tepat setelah Mona menyerukan satu nama yang tentu sudah tak lagi asing di telinga. Napasnya terengah-engah seperti baru saja berlari puluhan kilometer jauhnya, padahal Mona hanya lelah menunggu dan mengumpulkan seluruh keberanian yang dia miliki untuk hari ini. Dan sekarang, adalah saat yang tepat untuk mengatakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Resonansi Rasa || One Shoot
Fanfiction"Dia susah ditebak. Terkadang berbicara sangat manis, tapi terkadang menatap tajam." . . . Tokoh cerita ©Seventeen Gambar ©Canva Plot cerita ©Deandmt_ Let's read! Yuk ramaikan dan jgn lupa tinggalkan jejak 🐾