Bercermin di Persimpangan (1)

6 0 0
                                    

Ana terburu-buru mengenakan toner, serum, krim pagi, dan sunscreen ke wajahnya. Dia menepuk-nepuk pipinya dengan keras entah untuk apa, mungkin untuk membiarkan bahan-bahan yang dia gunakan tadi meresap sepenuhnya ke dalam pori-pori. 

Setelah selesai dengan wajahnya, dia berganti mengenakan celana kain hitam, kaos lengan pendek berwarna putih polos, dan terakhir memakai jas hitam polos kebesaran favoritnya untuk melengkapi penampilannya yang 'terlalu' sederhana untuk seorang perempuan berusia 27 tahun.

Ana pindah mengurus rambutnya yang lurus dan habis dia warnai cokelat, dia menyisirnya dengan perlahan untuk mencegah rambutnya rontok terlalu banyak. 

Rambut yang panjang sebahu itu dia biarkan terurai, namun dia tetap membawa scrunchie hitam kebanggaannya dan dia kenakan sebagai gelang bersama dengan jam tangan hitamnya yang tepinya sudah mulai mengelupas. 

Sudah pukul 06.50, Ana harus sudah berangkat ke kantornya 10 menit lagi untuk menghindari panas matahari yang sangat dia benci.

Dengan masih terburu-buru, Ana mengenakan kaus kaki putih pendek lalu menggunakan sneakersnya yang warnanya sudah tidak jelas itu putih atau krem. Bukan tidak pernah dicucinya, namun karena usia sepatu itu sudah 7 tahun lamanya.

Ana, si 'terlalu' sederhana itu tidak pernah terlalu peduli bagaimana tentang cara berpenampilan yang 'sedikit perempuan.' Hampir lupa, Ana kembali ke depan meja riasnya untuk mengenakan lipstik berwarna merah yang hanya dia kenakan sangat sedikit ke bibirnya. 

Sentuhan terakhir untuk melengkapi penampilannya adalah ID card bertuliskan nama lengkapnya, Khadijah Suci Septiana beserta posisinya di kantor tempatnya bekerja, Designer.  Serta totebag hitam polosnya yang berisi Ipad dan peralatan bekerja lainnya juga turut bertengger di pundaknya yang kecil.

Sudah 5 tahun Ana bekerja sebagai desainer untuk sampul buku-buku terjemahan klasik di sebuah penerbitan buku yang cukup terkenal di Indonesia, Bookindo Media. 

Dia juga bekerja sama dengan beberapa penulis yang menyukai desain khasnya yang bernuansa klasik dengan warna cokelat, putih, dan hitam sebagai ciri khasnya. 

Entahlah, padahal desainnya begitu sederhana, namun seperti memiliki kekuatan magis sehingga banyak dicintai oleh beberapa penulis dan juga pembaca.

***

Jam tujuh lebih 10 menit, Ana mulai menyusuri gang tempat rumah kecilnya berada untuk mencapai ke jalan raya. Dia berjalan kaki menuju kantornya dengan perasaan bahagia dan bersemangat. Ana sangat mencintai pekerjaannya.

Hari ini dia ada janji dengan satu penulis untuk berunding tentang sampul buku ketiganya. Sang penulis itu sudah bekerja sama dengan Ana sejak penerbitan bukunya yang pertama. Hingga kini, kerja sama mereka tetap berjalan dengan baik.

Ana sudah sampai di trotoar seberang kantornya yang memiliki 5 lantai itu. Dia sedang menunggu lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau untuk menyelesaikan perjalanannya pagi ini. Namun, matanya menangkap sesuatu yang unik. Dia melihat laki-laki yang dengan tenang mengumpulkan bunga-bunga yang berserakan di tengah jalan tepat di persimpangan jalan. Ana ingin menolongnya tapi ketika dia melihat itu, si laki-laki sudah memungut bunga terakhir.

Laki-laki itu membungkuk beberapa kali, menunjukkan bahasa tubuh permintaan maaf kepada para pengendara yang sudah terganggu perjalanannya. Laki-laki itu lalu merapikan bunga-bunga di box belakang sepeda motornya, memakai helm hitamnya, dan melanjutkan perjalanan, melaju melewati Ana.

Mata Ana mengikuti ke mana sepeda motor dan pengendaranya itu melaju, Ana sudah melewatkan lampu hijau sebanyak dua kali. Ana terpaku pada laki-laki dengan benda favoritnya itu, bunga. 

Ketika sang laki-laki bunga telah menghilang dari pandangan Ana, dia tersenyum, ada yang membuat hatinya hangat di pagi ini. Ana mengawali hari dengan perasaan yang baik. Semoga harinya juga akan berlalu dengan baik.

(bersambung)

Mawar Putih (kumpulan cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang