Satu: Teman

2 0 0
                                    

"Aku masih tidak bisa mengerti bagaimana kita bisa menjadi teman." Perempuan itu bergumam seraya mengaduk makan siangnya asal. Suaranya masih bisa terdengar oleh teman makannya.

Laki-laki itu menatapnya sesaat, kemudian melihat sekeliling seperti mencari sesuatu dan kembali menatap temannya, "Apakah ada yang menganggumu lagi?"

Sang perempuan beralih untuk menatap lawan bicarnaya, sedikit terkejut atas balasannya, kemudian ia menggeleng, "Tidak, tidak ada yang menggangguku." Ia kembali pada makanannya, "Aku hanya berpikir, bagaimana jika kita lebih baik tidak pernah mengenal satu sama lain?"

Keduanya diam setelah itu. Tidak ada percakapan lagi diantara mereka. Mereka menyelesaikan makan siang mereka dan kembali berjalan ke kelas mereka. Siswa-siswi yang berpapasan dengan mereka selalu menatap mereka dengan pandangan sinis. Lambang sekolah yang menempel pada kantung seragam mereka memiliki warna yang berbeda, itu adalah hal yang menarik perhatian orang-orang kapanpun mereka berjalan bersama. Simbol yang sama dengan warna yang berbeda bisa menjelaskan perbedaan yang signifikan di antara mereka berdua. Warna ungu menandakan sang empunya memasuki sekolah ternama itu dengan bantuan uang, seperti beasiswa. Sementara warna biru menandakan pemiliknya masuk sekolah tersebut dengan ekspektasi tersirat dari sekolahnya, uang dan posisi sosial.

"Itu karena kau adalah satu-satunya orang yang tidak menganggapku berbeda dari manusia normal."

Sang perempuan menghentikan langkahnya ketik mendengar ucapan tiba-tiba itu. Ia menatap sang pemilik suara, "Apa maksudmu?"

"Untuk menjawab pertanyaanmu tadi, kita berteman karena kau memperlakukanku seperti manusia normal, Gema." Ia menjawab dengan nada datar.

"Aksara, kau memang manusia normal."

Sang pemilik nama diam.

"Hanya karena kau tidak bisa merasakan emosi, bukan berarti kau bukan manusia yang cukup. Kau bahkan seperti malaikat. Kau adalah manusia paling baik yang pernah aku temui." Gema mengepalkan kedua tangannya, ia kesal. Temannya itu masih saja berpikir seperti itu soal dirinya sendiri.

Aksara terlahir dengan sendok emas di tangannya, keluarganya memiliki segala sesuatu yang diimpikan orang-orang. Setiap langkahnya sejak kecil selalu dibanggakan oleh banyak orang, dia adalah kebanggaan keluarganya. Sampai suatu hari ketika dia menginjak usia delapan tahun, alasan mengapa dia selalu bersikap seperti pendiam terungkap. Hal itu bukan karena Aksara merupakan pemalu, melainkan karena dia memiliki Alexithymia, sebuah gangguan emosi, kondisi yang membuat seseorang kesulitan untuk merasakan dan mengekspresikan emosi. Sejak saat itu, orang-orang yang baru mengenalnya selalu menilainya sebagai monster, menjahilinya hanya untuk melihatnya menangis, dan sebagainya. Tidak ada yang mau berteman dengannya.

Sampai akhirnya Aksara bertemu Gema. Seorang siswi yang tanpa enggan menjabat tangannya dengan senyum ceria saat masa pengenalan sekolah. Gema memiliki kepintaran di atas rata-rata yang membuatnya bisa menembus dinding sekolah yang seharusnya susah digapai bagi seseorang seperti dirinya. Dia sangat senang ketika diterima di sekolah ternama ini, namun setelah menjalani kehidupan beresekolah, ia mulai merasa sekolah ini menerimanya hanya untuk menjaga nama baik dengan memberikan beasiswa pada yang membutuhkan. Tidak ada yang menerimanya, ia selalu direndahkan karena ia miskin. Aksara adalah satu-satunya orang yang menerimanya dengan baik di sana. 

Kedua tangan yang tersesat itu menemukan satu sama lain.

"Lagipula, kau sudah bertambah baik belakangan ini! Kau bahkan tersenyum saat melihat kupu-kupu kemarin!"

Aksara terlihat berpikir untuk beberapa saat, "Itu karena aku sudah menjalani terapi dengan lebih rajin." 

Gema tersenyum pada jawaban yang jujur itu. Aksara benar-benar seperti malaikat. 

"Itu bagus! Aku akan membantumu jika kau kebingungan lagi. Sekarang, ayo kita pergi ke kelas."

Aksara mengangguk sebagai jawaban. Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke kelas.

An Angel CriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang