Dua: Manusia

1 0 0
                                    

Kelas telah selesai untuk hari ini, Gema dan Aksara berjalan ke arah asrama. Kelas hari ini tidak banyak berbeda dari kelas di hari-hari sebelumnya. Hanya materi yang diberikan yang berubah. Gema tidak bisa bilang bahwa itu tidak bisa dinikmati, namun kelasnya memang terasa biasa saja. Mungkin bukan kelasnya yang menjemukan, tetapi perasaaan-perasaan tidak nyaman yang ia rasakan belakangan inilah yang membuatnya merasa begitu.

Gema memperhatikan langit yang gelap, mundur beberapa langkah ketika rintik hujan mulai menyapanya. Ia mendekat pada Aksara dan berbisik, "Apa kau tau hujan terjadi karena malaikat di langit menangis?"

Aksara terlihat kebingungan dengan mata bulatnya, "Gema kau tahu benar hujan tidak terjadi karena hal itu." 

Gema terkekeh, "Aku hanya bercanda."

Aksara terlihat masih berusaha memproses perkataan Gema, itu membuat Gema tertawa. Ia sudah terbiasa dengan Aksara yang terlihat seperti kehilangan koneksi ketika mencoba memahami hal-hal simpel seperti candaan ini. Ia sudah mengenal Aksara hampir satu tahun sekarang.

Aksara sejujurnya merasa tidak enak pada Gema, ia tidak bisa menjadi teman yang bisa ikut bersenang-senang dengan Gema karena dirinya masih tidak bisa mengerti emosinya sendiri. Gema memang sudah pernah bilang berulang kali bahwa dia tidak masalah dengan itu, tetapi Aksara masih sering merasa bersalah. Karenanya ia mulai lebih rajin pergi ke terapi, ia ingin memahami teman baiknya itu. Ia ingin menjadi manusia normal dengan emosi-emosi yang mewarnai hidupnya. Seperti Gema yang selalu tertawa dan tersenyum.

"Sepertinya akan hujan deras, tetaplah berada di asramamu." Ucap Aksara.

Gema mengangguk, "Kau juga. sampai jumpa lagi!" Keduanya berpisah, berjalan pada asrama masing-masing.

Gema menyusuri lorong yang sama. Kembali menghampiri pintu dengan nomor yang sama. Dirinya menghela napas ketika melihat beberapa potongan kertas dengan tulisan-tulisan mengejek tertempel di pintu kamarnya. Ini bukan pertama kalinya, namun hal itu tetap menyakitinya. Ia tidak mengerti kenapa orang-orang membencinya hanya karena ia tidak memiliki uang. Aksara mengetahui bahwa ada beberapa murid yang menganggu Gema karena berteman dengannya, tetapi ia tidak mengetahui bahwa mereka sampai berbuat begini. Jika Gema memberitahu Aksara,  mereka pasti akan lebih membencinya. Karena itu, Gema selalu tersenyum di depan Aksara, tanpa memperlihatkan masalah yang dilaluinya.

"Akan sangat merepotkan untuk membersihkan sampah-sampah ini." Gema mencabuti kertas-kertasnya, membuangnya pada kotak sampah yang masih dipenuhi kertas-kertas yang sama dari hari sebelumnya. Ia masuk ke dalam kamarnya setelahnya, dan langsung berlari menuju kasurnya. Membiarkan dirinya untuk merasakan kehangatan pulau kapuk itu. Ia tidak menyadari bahwa dirinya menangis. Semuanya terasa berat.

"Apa yang harus aku lakukan?" Ucapnya dengan lemah. Ia menghapus air matanya, tidak ingin menjadi lemah seperti ini. 

Kebenarannya adalah, ia sedang berada banyak masalah. Orang tua gilanya mengancam dirinya, mereka bilang akan membunuhnya jika ia tidak memberikan uang yang diberikan sekolah sebagai bantuan biaya hidup pada mereka. Mengatakan bahwa dirinya sudah mendapatkan kehidupan mewah di sekolah itu, kendati nyatanya yang ia dapatkan hanya cacian dari murid lain. Semuanya tidak pernah berhenti, bahkan orang yang berkuasa di sana juga tidak melakukan apapun, karena murid-murid yang menganggunya datang dari keluarga yang terpandang. Sungguh kehidupan yang kejam.

"Seorang psikiater? Aksara menjadi lebih baik karena rajin terapi dengan psikiaternya, mungkin itu akan membantuku juga." Ia bergumam. Ia merasa sangat jatuh, ia butuh bantuan untuk membuatnya kembali berdiri.

Itu adalah satu-satunya bantuan yang ia bisa dapatkan saat ini. Jadi ia bangun, dan menyiapkan dirinya untuk mengunjungi salah satu psikiater yang bekerja di sekolahnya. Satu-satunya jasa psikiater yang ia bisa ambil.

Tidak ada siapapun ketika dirinya sampai ke ruangan, "Halo?"

Seseorang tiba-tiba muncul dari pintu tempatnya masuk, sepertinya orang tersebut juga baru kembali dari tempat lain, "Ya? Apa yang kau inginkan?" Ucap orang tersebut.

"Oh, um, aku ingin berbicara dengan seorang psikiater." Gema sedikit terkejut dengan kemunculan pria berjas putih itu.

Pria itu memperhatikan Gema dari atas sampai ke bawah, membuatnya merasa tidak nyaman. Gema menyadari pria itu menghela napas ketika menyadari warna ungu pada kantung seragam yang ia kenakan. 

"Ikuti aku." Ucapnya. Gema mengikutinya, mereka berdua berjalan menuju sebuah ruangan.

Sesampainya mereka di ruangan, dokter tersebut menyuruhnya untuk mulai berbicara. Gema yang tidak mengerti bagaimana psikiater biasanya bekerja, langsung mengikuti perintah dan menceritakan masalahnya. Ia menyadari bahwa sang dokter terlihat tidak terlalu memerhatikannya, tetapi ia berpikir bahwa psikiater sudah pasti profesional dalam bidangnya, jadi mereka bisa mengerti walau tidak memberikan atensi lebih. Setelah beberapa saat, Gema menyelesaikan ceritanya. Pria itu menyuruhnya untuk menunggu sebentar sementara dia mengambilkan obat untuk Gema.

"Ini, bawa ini dan minumlah jika kau merasakan perasaan tidak nyaman itu lagi."

Gema menerima botol obat tersebut. Ia membaca nama obatnya, itu adalah obat tidur. Ia tidak mengerti, "Tapi ini hanya obat tidur?"

Pria itu menghela napas kasar, "Dengar, hanya itu yang bisa kau dapatkan. Jika kau membutuhkan bantuan lebih lanjut, kau harus membayar."

Gema membulatkan kedua matanya, ia tidak percaya akan hal yang baru saja ia dengar. Bukankan jasa ini diberikan sekolah untuk membantu? Mengapa ini menjadi sangat kapitalis? Dimana tujuan utama yang dikatakan akan membantu orang?

Gema menundukkan kepalanya, "Baiklah, terima kasih." Ia menutup rapat mulutnya dan kembali pada asramanya. Dalam hati mengutuk dirinya sendiri yang membiarkan emosi-emosi manusiawi ini menganggunya. Ia merasa sedikit iri pada Aksara yang tidak harus melewati semua ini. 

Tidak ada yang bisa membantunya di dunia ini. 

An Angel CriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang