Canopus

323 37 7
                                    

Derap langkah menggema di sepanjang selasar. Taesan berjalan tergesa, menjadi setengah berlari ketika sadar bahwa dirinya tidak akan sempat. Leehan mungkin telah menunggunya selama satu jam mengingat pemuda itu selalu datang lebih awal setiap mereka mengatur jadwal untuk saling bertemu.

Latihan berpedang kali ini selesai setengah jam lebih lambat karena sepupunya, Jaehyun, menjadi bodoh dengan melakukan kesalahan dalam teknik yang sudah dipelajari dua minggu lalu. Taesan ingin marah, tetapi ia tahu ia tidak pernah bisa marah dengan Jaehyun. Mereka dibesarkan oleh asi yang sama—secara harfiah—karena orang tua Jaehyun menjadi bagian dari korban perang, meninggalkan Jaehyun yang tumbuh dalam kasih sayang ibunya.

Taesan mulai merasa bersalah ketika langkahnya telah sampai di hadapan kolam ikan koi, tetapi tidak menemukan keberadaan Leehan. Pemuda itu pasti telah menunggu terlalu lama, atau mungkin kembali disibukkan dengan pekerjaan rumah lainnya. Taesan mengembuskan napas, seharusnya ia tahu Leehan selalu lebih sibuk.

Ia berjalan meninggalkan kolam dengan lesu, berjanji dalam hati akan menebus waktu berharga Leehan yang terbuang sia-sia. Pandangannya lurus ke depan saat kepalanya mulai memikirkan kapan ia bisa kembali mengobrol dengan Leehan. Sosok yang sudah ia anggap seperti adik itu selalu menjadi pemandangan terbaik setiap ia lelah mempelajari segala jenis buku. Terkadang, ia benci saat-saat ketika menjadi anak kepala klan membuatnya kewalahan.

Taesan nyaris tidak peduli dengan apa pun di sekitar ketika telinganya merekam sesuatu yang membuat darahnya naik. Tangannya perlahan mengepal, menahan emosi yang hanya bisa tersalurkan dengan meninju siapa pun pemilik suara yang saat ini sedang berbicara.

"Kamu lihat wajah ketakutannya? Itu lucu!"

"Sungguh! Dia bilang Taesan akan menemuinya di dekat kolam. Padahal, jelas tidak ada yang datang. Bagaimana seorang budak bisa mempunyai kepercayaan diri sebesar itu?"

"Yah, sekarang kita lihat berapa lama dia bisa bertahan di dalam sana."

Kali ini, kemarahannya jelas memuncak. Tidak ada alasan untuk diam ketika ia melihat tiga sosok yang berbicara, langsung menerjang salah satu di antaranya secara acak. "Apa yang kalian lakukan pada Leehan?! Di mana dia?!" Ia berseru, penuh dengan emosi yang lebih dulu mengambil alih sebelum ia bisa mengendalikannya. Tubuhnya menerjang yang lain tanpa peduli apa yang akan dihadapinya setelah ini. Ayahnya pasti marah dan ia tidak mungkin melewatkan hukuman.

Suara logam mengalihkan perhatiannya. Sebuah kunci jatuh ke lantai dan di detik itu matanya memerah karena menyadari bahwa kunci itu tidak mungkin milik ruangan mana pun kecuali gudang tempat penyimpanan persenjataan. Dengan cepat Taesan menyambar beda tersebut dari lantai, meninju wajah terakhir yang dilihatnya, sebelum berlari dengan membabi buta seraya berdoa agar kondisi Leehan tidak lebih buruk dari perkiraannya. Ia bahkan tidak berpikir untuk bertanya lebih jauh mengenai posisi Leehan kepada tiga sosok yang merangkak ketakutan di belakangnya.

Taesan mengabaikan puluhan pasang mata yang bergantian memandangnya saat ia berlari melintasi lorong. Dadanya kini sesak, hampir menangis, merasa jauh lebih bersalah karena membiarkan Leehan menanggung apa yang terjadi.

Gemetar di tangannya tidak bisa dikendalikan ketika ia memutar kunci pintu gudang, langsung menerjang masuk, tidak peduli pada debu dan bau karat yang menusuk. Matanya menjelajah seisi ruangan, menyerukan nama sosok yang lebih muda, mengharapkan adanya jawaban seraya menghampiri seluruh sudut yang ada. Ia terus mencari sampai akhirnya melihat sebuah lemari usang yang diingatnya sebagai tempat bekas menyimpan koleksi senjata.

Taesan sama sekali tidak berharap menemukan Leehan di dalam sana. Namun, apa yang ia lihat saat membobol pintu lemari mengkhianatinya. Leehan meringkuk di dalam, terpejam dengan bibir pucat dan wajah kelelahan. Napasnya terdengar sangat menyakitkan, cukup untuk membuat Taesan menangis saat tangannya menarik keluar tubuh itu, mengguncangnya pelan seraya memanggil kesadaran Leehan dengan panik.

CanopusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang