Detak jam dinding memecah keheningan malam. Bersama bisik angin yang menerpa gorden kamar yang entah sengaja dibuka atau tidak.
Masih dalam balutan selimut, kupandangi sosok yang berjalan memungut kaos di lantai. Sambil memperbaiki kembali sabuk pinggang yang beberapa jam lalu sempat teronggok beku di lantai yang subuh ini terasa dingin.
Seperti biasa, aku lebih suka duduk diam menatap punggungnya yang mulai menjauh menuju pintu kamar. Kemudian mengubah posisi, tidur terlentang dalam balutan selimut. Sambil menerawang ke langit-langit, kuukir senyum getir, lalu mulai memejamkan mata.
Rasanya capek dan aku butuh tenaga lagi.
***
"Zareen, tolong vas ini pindahin ke pojok sana aja, ya. Biar lebih en ak diliatnya."
Aku hanya tersenyum seraya mengangguk pelan mendengar instruksi Ibu majikan. Gegas mengerjakan perintah wanita berambut sebahu dengan pakaian modis ala-ala ibu sosialita itu.
Entah ada angin apa Ibu Mareta datang bertamu ke rumah Pak Zaid—majikanku. Menyebutnya majikan membuat seulas senyum getir tersungging rapuh.
Sekuat tenaga aku mengangkat vas ... yang mungkin lebih tepat kalau disebut guci. Besarnya saja nyaris menyamai besar tubuhku. Atau mungkin memang aku yang terlalu ceking.
Napas berat aku embuskan karena wadah berbentuk menyerupai gerabah yang berisi tanah dan bunga itu hanya bergeser sedikit. Kuusap dahi yang mulai berkeringat sebelum kembali mengangkat benda berbahan keramik itu.
Kenapa orang kaya suka sekali mengoleksi barang merepotkan seperti ini? Bukankah pot berbahan plastik yang dijual di pasaran lebih mudah dan praktis? Harganya juga jelas lebih hemat di kantong.
Eh, tapi apa mereka mau sibuk cuman untuk menghitung berapa harga sebuah pot?
"Kalau enggak kuat itu, jangan sok!"
"Eh!"
"Makanya, punya badan itu jangan cun gkring-cun gkring banget, Mbak."
Astaga anak ini! Aku hanya bisa menghela napas sambil geleng-geleng.
Seolah bukan apa-apa, dia dengan mudah memindahkan vas berukuran cukup besar itu ke pojok teras dekat jendela. Lalu berbalik berjalan mendekat sambil menepuk-nepuk kedua tangannya.
"Makasih ya, Zein."
"Zein yang tampan dan baik hati. Harusnya ditambahin itu, Mbak," sambungnya tengil. Mana mengerling lagi.
Kalau tidak ingat ada kedua orang tuanya di sini, sudah aku pukul pakai kemoceng kepalanya.
"Terserah kamulah, Zein. Sebahagianya Zein aja."
Aku berbalik masuk ke rumah. Pekerjaan di dapur belum selesai. Namun, masih pagi, Ibu Tuan rumah sudah menyuruh menata kembali teras belakang. Bukan cuman itu, taman belakang juga diminta dirapikan. Daun-daun yang kering harus digunting habis, pun bunga.
Pagi-pagi aku sudah merangkap jadi tukang kebun. Sangat kusayangkan cuti mendadak Pak Anton kemarin karena istrinya mau melahirkan. Jadinya aku yang tadinya hanya ART, mengurus bagian dalam rumah jadi harus merangkak menjamah pekerjaan lelaki nyaris setengah baya itu.
Usai mencuci tangan hingga siku dengan sabun, gegas aku melanjutkan memotong sayur yang sempat tertunda. Rencananya mau buat sup ayam. Mumpung hari ini Pak Zaid tidak berangkat ke kantor.
"Zareen!"
"Astagfirullah–awwss!" Aku terlonjak berakhir meringis. Jari telunjuk perih saat darah merambah ke bawang yang sedang kupotong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Status Pembantu
Random“Bapak, mau menikah lagi?" Dia diam. Sudah dapat ditebak. Cukup sadar diri saja, aku ini siapa? Hanya pembantu rumah tangga. "Iya." Terima kasih sudah mau jujur. Setidaknya, aku tidak perlu memupuk harapan hanya untuk memanen sakitnya. "Saya—" "Sa...