🦋🦋🦋
Gaun merah spesial nan mewah itu melekat pada tubuh wanita dengan tinggi 171 sentimeter. Bak nyonya bangsawan dalam cerita kerajaan, ia berjalan anggun menuju kamar belakang dekat dapur. Tak jarang sembari menyapa tamu dengan senyuman elegan. Begitu pula para pelayan yang berpapasan selalu mengangguk hormat.
Pintu kamar yang polos tanpa ukiran seperti pitnu lain dibuka olehnya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Tampak seorang gadis tengah duduk di meja riasnya yang sederhana. Gadis itu tersenyum santun. Sang wanita kini berdiri di belakang pintu yang sudah tertutup, ikut tersenyum manis hingga matanya juga tertutup.
"Jangan mencolok. Jangan sampai ada yang tau kalau kamu keluarga D'Lion. Kalau bisa jangan keluar," ucapnya lembut penuh penekanan di akhir kalimat.
Gadis itu mengangguk patuh.
"Iya, Mama."
Pintu kembali ditutup oleh wanita itu dengan senyum manisnya yang terus terpatri.
Alara Princess D'Lion menghela napas. Menatap wajahnya di cermin yang hanya dipoles bedak tabur dan liptint, menyemangati diri.
"Gapapa, Lara. Kamu masih boleh keluar."
Wanita tadi adalah Sophia Aurlette D'Lion, Ibu kandung dari Alara yang sangat patriarki dan membelakangi putrinya sendiri. Ya, putri dari keluarga D'Lion ini sebenarnya tidak pernah ada. Ia ada hanya karena ia di rumah ini. Rumah D'Lion.
Alara memandang dirinya di cermin sekali lagi. Gaun polos sederhana tanpa hiasan dengan warna merah itu adalah buatannya sendiri, berbeda dengan milik keluarganya yang mewah dan seragam. Tentu saja Sophia tidak akan repot-repot memberikan bagian untuk Alara.
Begitu keluar, rumah besar ini sangat ramai dengan pria dan wanita. Wangi parfum mahal dari setiap orang tercium semerbak di penjuru ruangan. Termasuk gemerlapnya perhiasan yang mereka kenakan.
Alara tidak peduli. Dia akan menikmati pesta bisnis orang tuanya ini dengan tenang. Tentu saja dengan mencicipi seluruh makanan yang tersedia.
"Mau saya ambilin, Non?"
Gadis yang masih memandangi berbagai makanan itu berjengit kaget, menoleh ke samping, "eh! Ibuuu, bikin aku kaget."
Satu-satunya pelayan yang dipanggil 'Ibu' oleh Alara. Tentu karena Tina adalah pelayan yang paling perhatian di rumah ini. Meski pun mereka harus menjaga jarak bila ada anggota keluarga lain, atau Alara yang akan mendapat hukuman dari anak pertama.
Pelayan itu tertawa ringan, "saya dari tadi disini, Non."
Alara tersenyum sumringah, "kalau gitu, aku mau–"
Ucapannya terhenti kala mata lentiknya tak sengaja bertemu dengan pemuda yang memandangnya di belakang Tina, tak jauh dari mereka. Alara menelan salivanya sulit, takut-takut kembarannya itu mengadu pada anak pertama.
Tina sempat melihat sebelum kembaran sang nona pergi. Menepuk tangan Alara pelan, tersenyum lembut, "gapapa, Non. Tuan Brian tuh pasti diam aja."
Alara meringis lucu. Memang tidak mungkin hal itu terjadi, karena Brian Prince D'Lion termasuk tidak peduli dengan apa pun. Tak terkecuali adik kembarnya sendiri.
"Yaudah, tolong nanti bawain ke kamar aku ya, Bu. Brokolinya banyakin, hehe."
"Siap, Nona tercantik di dunia!"
Alara tertawa ringan. Hanya Tina yang memujinya seperti itu.
"Aku mau jalan-jalan bentar," pamit Alara.
"Hati-hati, Non."
Alara tersenyum simpul, mengagungkan jari jempolnya. Padahal ini di rumahnya sendiri, tapi ia harus berhati-hati hanya untuk melihat-lihat.
🦋
Pesta dalam rangka pembukaan cabang baru perusahaan D'Lion sekaligus menjalin hubungan antar relasi. Alara melihat begitu banyak orang penting disini. Ia bahkan belum menemukan wanita dewasa yang memiliki tubuh pendek sepertinya.
Sekali lagi Alara ragu, apakah ia anak kandung Sophia.
"Masih nggak nyangka aku tuh anak Mama. Padahal Mama sama Papa tinggi, kenapa aku cuma 150cm ya?" gumamnya pada diri sendiri.
Saking asyiknya melihat sekitar, Alara tak sadar menabrak punggung seorang pemuda. Beruntung ia tak terjatuh. Padahal pemuda itu sangat tinggi.
"Awshh! Maaf! Mohon maaf, saya nggak lihat," ucap Alara menunduk.
"Gapapa," balas pemuda itu singkat.
Alara mendongak setelah mendengar suara dingin itu. Dinginnya sama seperti anak pertama tapi tidak menusuk.
Mata sipitnya bertemu dengan mata tajam sang pemuda. Lantas tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit.
"Makasih. Kalo gitu saya perm-"
Baru saja Alara hendak pamit, sebuah suara lembut menginterupsi mereka.
"Ada apa, sayang?"
Pemuda itu berbalik, memberi pandangan pada sang wanita yang tak lain adalah ibunya.
"Gapapa, Mimi. Sekedar sapa," balas Alvito Zenova Danendra halus, tidak ingin memberitahukan insiden kecil itu.
Selain wanita itu melihat Alara, ada sebuah keluarga yang melihatnya juga. Seketika itu juga ia menegang, merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi setelah ini.
"Ohh, siapa dia?" tanya Kiara Zevanya.
Alara menelan saliva sulit, tangannya yang gemetar meremas gaun bagian bawah. Pandangan matanya yang monolid cukup takut-takut terhadap keluarga dengan empat anggota itu.
"Bentar, diliat-liat lagi kayaknya mirip Xavier D'Lion gak sih? Ya kan, Sophia?" lanjutnya pada keluarga itu.
'Degg!'
Jantung Alara benar-benar tidak bisa dikontrol detakannya. Habislah ia.
🦋🦋🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
L A R A
Teen FictionKatanya, rumah adalah tempat ternyaman untuk berpulang di kala lelah. Dimana sebuah keluarga membangun kehidupan penuh kasih sayang dan cinta. Tapi, apakah rumah bagi Alara masih bisa dikatakan sebagai rumah? Mungkin itu hanya bangunan besar tempatn...