Hari-hari pun berlalu, tiada hari tanpa perdebatan antara Cinta dan Aksa. Meski itu sering terjadi, namun keduanya selalu berusaha saling menutupi ketika ada Aris dan Mayang. Hanya Bik Sumi lah yang tahu betapa hebohnya jika kedua anak majikannya itu sedang bertengkar. Terkadang hanya masalah yang menurutnya sepele, namun membuat Cinta marah tak karuan. Biasanya gadis manis itu tak pernah demikian.
"Sabar Mbak, sabar. Tarik nafas." Kalimat itu yang selalu Bik Sumi ingatkan. Bik Sumi paham, mungkin Cinta merasa cemburu karena istri baru sang ayah. Apalagi Aris juga tampak dekat dengan Aksa.
Seperti sore ini, Cinta yang kini sudah berada di dapur sedang mengambil nasi. Mayang tiba-tiba berdiri di belakang Cinta tanpa suara, membuat gadis itu sangat terkejut.
"Astaga, emak sama anak sama aja! Sama-sama suka ngagetin." kesal Cinta dalam hati sambil memegang dada.
"Kalau kamu udah lapar, makan aja duluan. Yang lain mau sholat maghrib dulu, itu udah adzan," ucap Mayang dengan lembut seperti biasa.
Hampir saja Cinta menjawabnya dengan sewot jika saja tak melihat kedatangan sang Ayah. Ekspresi kesal Cinta pun memudar.
"Iya, Buk. Maaf, Cinta udah nggak kuat," jawabnya dengan keramahan.
"Kamu ini, salah sendiri tadi siang nggak makan. Udah Ayah bilang, jangan sok sokan diet," ledeknya sambil mengacak puncak kepala Cinta.
Cinta hanya meringis menanggapi ledekan ayahnya. Aris dan Mayang pun pergi. Perhatian Cinta kembali ke dapur, melihat ke dua wajan di atas kompor. Ada mi goreng dan capcay yang masih panas. Kedua mata Cinta berbinar, ia langsung mengambil dua makanan itu dan segera memenuhi piring. Melihat kepulan asap dan aroma yang menggiurkan membuatnya tak sabar ingin segera melahap habis.
Cinta duduk, ia berdoa dengan cepat, lalu menyendok capcay. Ketika capcay itu hampir masuk ke mulut, tiba-tiba saja Bik Sumi datang. Bik Sumi melangkah dengan tergesa sambil membawa kantung kresek putih. Cinta meletakkan kembali sendoknya, memperhatikan Bik Sumi yang sedang membuka plastik di meja dapur.
"Wah, warung tenda perempatan udah jualan lagi, Bik?" tanya Cinta yang melihat ayam goreng dari warung tenda kesukaan ayahnya.
"Iya, makanya Bapak langsung minta dibeliin," jawab Bik Sumi.
Iqomah maghrib berkumandang, Bik Sumi mengambil piring, lalu menata ayam gorengnya piring dengan tergesa.
"Udah, Bik. Sana gih ke mushola. Biar Cinta yang siapin makan malamnya."
"Beneran, Mbak?" tanya Bik Sumi sumringah.
Cinta mengangguk sambil tersenyum.
Setelah Bik Sumi pergi, Cinta kembali ke makan malamnya yang sempat tertunda. Capcay kuah itu masuk ke dalam mulut Cinta, kemudian kedua mata Cinta berbinar. Setelah itu Cinta mencoba mi gorengnya, kedua matanya kembali berbinar. Cinta makan dengan lahap, bahkan sampai menambah nasi dan kedua masakan lezat tadi.
"Eh, ayam goreng. Maaf ya, sampai lupa kalau kamu di situ. Hihihi," monolognya sebelum mengambil satu paha ayam.
Setelah menghabiskan satu paha ayam dengan sambal dan lalapan, Cinta bersendawa.
"Ups," Cinta menutup mulut dengan telapak tangan.
Cinta berjalan ke pintu samping, melihat ke arah mushola di luar rumah, tampaknya semua sudah selesai. Tampak Aksa keluar lebih dulu, masih dengan sarung serta peci yang membuat Cinta tertegun sesaat. Jelas Aksa berbeda dengan yang dulu ia kenal, karena kini tampak lebih bersinar dan menawan.
"Ish-ish…." Cinta menggeleng, lalu berlari kecil ke dapur.
Pertama-tama Cinta menyiapkan piring dan sendok di meja. Setelah itu menyiapkan lauknya di piring saji. Tepat ketika Cinta menaruh piring saji ke meja makan, Bik Sumi datang.
"Eh, Mbak Cinta. Kok malah nyiapin semua?"
"Nggak papa, Bik. Bibik tolong siapin nasinya, ya?"
"Iya, Mbak," jawab Bik Sumi yang kemudian membuka rice cooker.
Setelah Bik Sumi menyiapkan nasi, Cinta melihat ke meja makan. Gadis itu melihat satu per satu, memastikan tak ada yang kurang hingga ia sadar satu benda.
"Gelas?" tanyanya pada diri sendiri, lalu melihat gelas yang masih basah di dekat wastafel.
"Ah, ambil yang di lemari aja deh," ucapnya dalam hati.
Cinta membuka lemari penyimpanan. Ia membuka satu per satu dan belum menemukan juga. Hingga pintu lemari terakhir yang berada di pojok kiri, tangan Cinta meraba ke dalam hingga kedua kaki berjinjit setinggi-tingginya.
"Kok, cangkir?" gumamnya ketika meraba cangkir.
Cinta menurunkan tangan dan hendak memposisikan kaki seperti semula, entah kenapa tubuhnya tiba-tiba tak bisa menjaga keseimbangan. Hampir saja Cinta jatuh terjungkal jika saja Aksa tak sigap menangkapnya.
"Eh!" Cinta sangat terkejut.
Cinta dan Aksa saling menatap beberapa saat. Begitu sadar, Cinta segera melepaskan diri dari kakak tirinya itu. Kini keduanya menjadi salah tingkah.
"Ngapain pegang-pegang?!" Cinta sangat emosi.
Aksa memandang sang adik tiri dengan heran sambil menggeleng, "Lain kali lebih hati-hati, bisa?"
"Lain kali jangan cari kesempatan dalam kesempitan, bisa?" balas Cinta.
"Apa kamu bilang?!" Kini Aksa terbawa emosi.
"Eh, Mbak Cinta, Mas Aksa, jangan berantem terus." Bik Sumi menengahi.
"Dia ni yang ngajak ribut," tunjuk Cinta tepat di depan wajah Aksa.
"Heh, kok aku sih?" protes Aksa.
"Aduh, sudah Mbak, Mas. Jadi kakak adik itu harus akur," nasehat Bik Sumi sambil memegang lengan Cinta agar gadis itu sedikit mundur.
Cinta masih menatap Aksa dengan tatapan tajam dan nafas memburu.
"Sabar Mbak, sabar. Tarik nafas…." Bik Sumi mencoba menenangkan seperti biasa.
"Ngomong sama dia ni, jangan bikin kesel mulu!"
"Astaga…" Aksa menghela nafas.
"Mbok ya kaya masakan Mas Aksa ini lho sama lidah Mbak Cinta. Akur banget sampe bikin ketagihan." Bik Sumi menatap mi goreng di piring saji sambil senyum-senyum.
Perkataan Bik Sumi langsung membuat Cinta menatap mi goreng itu, mi goreng yang begitu enak hingga membuatnya ingin makan lagi dan lagi. Padahal biasanya gadis itu anti mi goreng yang katanya berminyak dan bikin gendut. Perlahan pandangan Cinta beralih ke Aksa. Wajah tampan dengan senyum mengejek itu kini benar-benar membuatnya sangat malu sekaligus kesal.
Cinta tak bisa berkata-kata. Gadis itu salah tingkah, kemudian pergi begitu saja. Ia berjalan cepat dan tak menghiraukan ayah dan sang ibu tiri yang berpapasan dengannya. Cinta sedikit berlari menaiki anak tangga, ingin segera masuk ke tempat persembunyian.
"Bisa-bisanya aku kalap makan makanan itu. Ih, sebel!" gerutunya sambil membuka pintu kamar.
Cinta mengingat-ingat lagi ketika dulu Mayang sering membawa makanan ke rumah. Jadi sebagian besar itu adalah masakan Aksa? Jika dipikir-pikir, Mayang tak pernah mengatakan bahwa itu masakannya ataupun masakan putranya. Cinta lagi-lagi menggerutu, memukul-mukul pekan kepalanya sendiri.
"Ah, dasar. Cin…, Cin," gumamnya sembari masuk ke kamar mandi untuk berwudhu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSA dan CINTA
RomanceCinta begitu membenci Aksa karena sebuah kebohongan, namun di saat bersamaan ia juga mencintainya. Sekalipun Cinta melancarkan segala rencana buruk terhadap Aksa, nyatanya rasa itu tak mudah padam. Sama halnya dengan Cinta, Aksa malah semakin mencin...