Belvan Jung.
Nama itu terus berkeliaran di kepalaku, merebut seluruh atensiku selama beberapa hari terakhir hingga membuatku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Aku bahkan masih ingat dengan jelas betapa nikmatnya sentuhan yang Belvan berikan pada setiap inci tubuhku malam itu.
Ya Tuhan, bagaimana bisa ada pria tua semenggiurkan dia? Aku, dan siapa pun wanita di luar sana, jelas tidak bisa menolak pesona yang dia tawarkan. Peraturan kedua yang selalu aku patuhi, sekarang mulai aku langgar gara-gara Pak Tuaㅡyang sialnya seksiㅡitu.
Aku menginginkannya lagi. Di ranjangku. Sialan.
"Jess!"
Sebuah suara dari kursi seberang berhasil membuyarkan seluruh isi pikiranku tentang Belvan. Dari kursi yang sedang Papa duduki, dia menatapku bingung. Kernyit di dahinya timbul hingga membuatku refleks berdeham untuk menyembunyikan rasa gugup.
"Kamu dengar Papa ngomong apa?" tanya Papa. Aku menggeleng. "Ya Tuhan, Jessica ...."
Papa menggelengkan kepala heran, sementara aku hanya mengedikkan bahu acuh tak acuh. Aku berani taruhan, Papa pasti sedang membicarakan hal yang tak jauh-jauh dari kata "bisnis", sesuatu yang sangat aku hindari dan benci. Aku lebih suka membuang tenaga untuk shopping daripada membuang waktu untuk berbisnis.
"Hari ini kita akan bertemu seseorang yang sangat penting, jadi jaga sikapmu."
Aku memutar bola mata malas. Orang penting yang Papa maksud pasti rekan bisnisnya. Penting bagi Papa, sama sekali tidak penting bagiku.
Tanganku terulur meraih sumpit, berniat ingin melahap masakan Asiaㅡkurasa China karena kami sedang ada di restoran Chinaㅡyang sedang tersaji di hadapanku. Namun, baru saja ujung sumpitku menyentuh makanan tersebut, pintu ruang VIP yang sengaja Papa pesan sudah lebih dulu terbuka, membuat Papa refleks menyuruhku agar cepat-cepat berdiri untuk menyambut tamu pentingnya.
Astaga, aku cuma mau makan. Kenapa Papa harus seheboh ini sih?
"Selamat siang, Tuan Drew."
Aku baru saja bangkit dari kursi saat suara berat itu memenuhi seluruh sudut ruangan. Aku terkesiap, membeku. Suara seseorang yang sedang menyapa Papa itu terdengar sangat familiar di telingaku.
Ralat. Aku bahkan sama sekali tidak bisa melupakannya. Sedikit pun.
Dengan dada bergemuruh kencang, perlahan aku mulai menengadahkan kepala. Satu inci, dua inci, hingga mataku berhasil menggapai mata seseorang juga tengah menatapku lekat dari tempatnya berpijak.
Aku menelan salivaku susah payah. Dia ... kenapa dia ada di sini?
"Kita bertemu lagi, Nona Drew," sapanya santai, membuat jantungku seperti dipompa gila-gilaan.
"Lagi? Kalian pernah bertemu?"
"Ya. Kami bahkanㅡ"
"Iya. Di kapal pesiar. Belvan ... maksudku Tuan Jung mengajakku ngobrol dan makan bersama saat aku ada di lantai dua kapal."
Aku buru-buru menginterupsi jawaban Belvan sebelum dia bicara ngawur. Papa memang tahu aku hobi tidur dengan banyak pria, tapi tentu tidak dengan rekan bisnisnya sendiri. Terlebih, pria yang kutiduri ini usianya tidak jauh berbeda dengan Papa.
Mataku kembali bertemu dengan mata Belvan. Seringai tipis terbit di ujung bibirnya, membuatku lagi-lagi terkesiap karena ulahnya.
"Ya. Kami makan bersama," katanya, sedikit menekan kata "makan bersama" tanpa melepas pandangannya dariku.
God, he's so intimidating.
"Wah, kabar bagus kalau begitu," ujar Papa antusias. Segera dia mempersilakan Belvan untuk duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa. Bentuk meja yang melingkar membuat jarak kursiku dan kursi Belvan terasa begitu dekat.
"Jess, Tuan Jung ini adalah rekan bisnis Papa sekaligus pemilik kapal pesiar yang kita datangi tempo hari."
Aku nyaris tersedak salivaku sendiri begitu mendengar kalimat Papa.
Pemilik kapal pesiar? Belvan pemilik kapal pesiar yang sempat kami pakai untuk bercinta? Maksudku ... dia sekaya itu?
Aku lagi-lagi tak bisa menahan diri untuk tidak menatap Belvan. Pria itu menyesap tehnya santai, seolah tak terkejut dengan reaksi bodohku.
"Dan Papa sengaja undang dia ke sini supaya bisa jadi mentor kamu."
Seolah belum selesai membuatku terkejut, Papa kembali melanjutkan kalimat gilanya yang sukses membuat kedua mataku nyaris melompat dari tempatnya.
"M-mentor?! Maksudnya mentor apa?"
"Ya mentor supaya kamu bisa meneruskan perusahaan Papa. Tuan Jung ini pengusaha sukses, jauh melebihi Papa, jadi pasti banyak hal yang bisa kamu pelajari dari dia."
Isi kepalaku mulai bercabang ke mana-mana. Ini benar-benar di luar nalar. Aku tidak percaya kebetulan, jadi aku yakin kalau pertemuan ini pasti sudah direncanakan dengan baik.
Bolehkah aku berharap kalau Belvan sendiri yang mengatur makan malam ini agar bisa bertemu denganku?
Jika itu benar terjadi, sepertinya aku akan mulai besar kepala. Dan aku akan mulai menaruh keinginan-keinginan lebih yang sedikit tidak tahu diri. Misalnya ... berharap kalau dia menyukaiku?
Aku sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Hanya dengan mengetahui fakta bahwa Belvan ada di sini, ada di meja makan yang sama denganku, pusat tubuhku sudah berkedut gila-gilaan. Dia tahu siapa yang bisa memuaskannya, dan dia menginginkannya lagi detik ini juga.
"Besok, kamu datang ke kantor saya."
Suara berat Belvan sukses membuyarkan lamunanku. Aku menengadah agar bisa menatapnya. Itu jelas bukan ajakan, melainkan sebuah perintah.
"Kenapa aku harus datang ke sana?" tanyaku balik, mencoba bereaksi sedikit keras pada pria tua ini.
"Cause I can give you everything you need and you want."
Sialan. Dia bicara begitu santai, tapi aku sama sekali tidak bisa mengatur reaksiku sendiri.
Everything I need. Everything I want. Everything.
Oh Tuhan, pria tua ini benar-benar berniat menggodaku. Matanya tidak bisa berbohong. Aku yakin seratus persen kalau dia masih mengingat semuanya, termasuk kalimat yang baru saja dia rapalkan.
"Baiklah. Aku akan menuruti perintah Papa."
Jawaban mantapku sukses membuat Papa tersenyum cerah. Sepertinya Papa terlampau senang melihat putrinya akhirnya mau menuruti kata-katanya untuk belajar bisnis.
Padahal, yeah, itu jelas bukan tujuan utamaku.
"Besok, aku akan datang ke ruangamu, Tuan Jung," lanjutku. Belvan menyeringai kecil.
"I'll waiting for you, Mademoiselle."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[FULL BAB DI KARYAKARSA] Sexy Old Man On My Bed
Romance⚠️ ON GOING BAB 4 - AKHIR DI KARYAKARSA Ada satu prinsip yang selalu Jessica pegang saat sedang bercinta dengan partner one night stand-nya; tidak boleh melibatkan perasaan saat tidur bersama. Cinta satu malam yang mereka lakukan tak lebih dari sebu...