Di tepi danau, di bawah pohon pinus, Eanraig memegang setangkai mawar. Ia menatap bulan purnama penuh harap. Jubah yang dikenakannya bergerak-gerak ditiup angin seolah menariknya untuk segera meninggalkan tempat itu.
“Pangeran, pagi hampir tiba. Kita sudah tidak punya waktu lagi. Kita harus kembali sebelum Raja murka.”
Eanraig menarik napas panjang dengan mata terpejam. Ia menjatuhkan mawar di tangannya. Sekali lagi, ia harus bersabar dan menghadapi kenyataan. Orang yang ditungggunya tak datang. Gadis itu tidak muncul meski sudah dua belas tahun berlalu.
Langkah Eanraig penuh dengan kekecewaan. Namun, ia tidak menyalahkan siapa pun. Lagi pula, ia sudah tidak berharap banyak. Ia hanya tidak ingin menjadi orang yang ingkar janji. Karena itu, ia selalu datang ke tempat ini setiap malam ulang tahunnya.
Eanraig naik ke kudanya. Tanpa aba-aba pada dua puluh prajurit yang menjaganya dan seorang pelayan, ia memacu kuda itu kembali ke istana.
Di ufuk timur, matahari mulai memunculkan sinarnya. Ia tersenyum getir. Kemungkinan besar, ini adalah tahun terakhir ia menanti gadis yang telah merebut hatinya dua belas tahun silam. Ia yakin, ayahnya akan memperkenalkannya pada seorang gadis lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.
Eanraig memasuki istana lewat gerbang belakang. Ia melompat turun dari kuda begitu melewati gerbang. Ia kemudian berlari melewati bebatuan kecil yang disusun sepanjang taman. Sebelum ayahnya melihat, ia sudah harus berada di kamar.
Jantung Eanraig seolah akan meledak. Ia berhasil sampai di depan kamarnya setelah melewati lorong panjang dan puluhan anak tangga.
Sebelum membuka pintu, ia menyadari satu hal. Ada yang sedikit aneh. Pengawal di kiri dan kanan pintu kamarnya berbeda dari biasanya.
“Pangeran.” Felman sampai di belakang Eanraig dengan tubuh dibasahi keringat.
Eanraig berbalik. “Kita terlambat.”
Felman mengangguk. Tidak salah lagi. Orang yang mereka hindari sudah ada di dalam kamar.
“Ayo buka pintunya, Pangeran. Kita harus masuk sebelum Raja semakin marah.”
Eanraig menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Ia kemudian melangkah, membuka pintu kamar.
“Ini adalah hari terakhir kau bisa bersikap seperti ini, Eanraig!”
Suara menggelegar dari Raja Galagher membuat Eanraig membeku di ambang pintu. Ia menatap ayahnya yang tampak baru bangun.
“Felman.”
“Iya, Yang Mulia.” Pria berusia empat puluh lima tahun yang merupakan pelayan Eanraig itu melangkah maju.
“Siapkan Eanraig. Jangan sampai dia membuat masalah hari ini.”
“Baik, Yang Mulai.”
Felman mengangguk dalam.
Raja Galagher kemudian meninggalkan kamar putranya itu. Ia tak melirik Eanraig yang masih membeku.
Setelah derap langkah kaki sang raja tak terdengar lagi, Felman menutup pintu. “Ayo, Pangeran. Kita harus bersiap-siap. Hari ini adalah hari penting.”
“Aku tahu, Felman. Aku tahu tanggung jawab apa yang ada di pundakku.” Mata Eanraig memerah. Sebagai seorang pangeran, garis hidupnya seolah sudah dituliskan sejak awal. Ia hanya perlu berjalan mengikuti garis itu. Gadis yang diharapkannya memberikan warna dalam hidupnya pun sekarang entah di mana.
Eanraig tidak ingin merepotkan semua orang. Ia pun bersiap-siap. Ia membersihkan tubuh, lalu berganti pakaian. Mahkota emas dipasang di kepalanya. Jubah panjang berwarna merah dipakai.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN OF TEARS
FantasyRoseanne jatuh cinta pada Pangeran Eanraigh sejak pandangan pertama. Tidak peduli Pangeran Eanraigh mengatakan sudah punya wanita yang dicintai, Roseanne tetap bersedia menemani pria itu. Di sisi lain, Kerajaan menghadapi pemberontak yang sudah mul...