Winny tidak pernah tahu cahaya kecil itu berada di depan rumahnya sendiri selama bertahun tahun.
sementara satang, burung tanpa sayap itu akhirnya menikmati bagaimana angin membawanya terbang ke angkasa lepas.
Tapi siapa yang mampu selamanya bertaha...
Dua ledakan terdengar memekakkan telinga, kumpalan besi panas itu melesat menghancurkan sebuah kepala seperti meledakan semangka, darahnya muncrat membasahi bajunya.
Tatapannya dingin, Winny masih mengenggam kuat revolver miliknya yang bergetar halus mengepulkan asap tipis dengan aroma khas.
"Our mission complete."
Setelah mendengar kalimat itu, dengan segenap kesadaran Winny bergerak dari posisinya, melompat dari jendela, mendaratkan kakinya di sisi lain ruangan gelap itu.
"Anak pelacur ini cukup berguna juga, "
Winny mendengus saat kaka perempuannya Emily, mengusak rambutnya dengan senyum menyebalkan di wajah jeleknya.
Ia sibuk mengelap tubuhnya dengan handuk, baru saja menyelesaikan ritual mandinya, tapi ia merasa bau darah sialan itu masih melekat di tubuhnya.
"Dad pasti memujimu kali ini, "
Mustahil, Winny mendengus lagi, ia berani taruhan untuk itu.
"Cukup untuk membeli satu kebun bunga, untuk ibu gila mu itu, "
Satu buah amplop tebal di lemparkan ke atas meja, pria matang yang berdiri di hadapannya dengan sepatu mengkilat itu kaka pertamanya, Off.
"Lebih tepatnya, ibu mu bajingan, " Winny mengambil miliknya, segera memasukannya kedalam saku celana pendeknya, buru buru mengenakan kaus milik entah siapa yang ia temukan di lemari.
Off tersenyum mengejek, "yah, ambil saja untukmu. Wanita itu terlalu naif, "
Mereka selalu berdebat tentang itu, Winny sudah terlalu muak, jika ada kata lebih dari muak, maka kata itu akan ia lemparkan tepat pada wajah sialan kakanya.
Winny meninggalkan rumah, dalam artian tidak sebenarnya. Itu adalah Mansion keluarga mereka, yang hubungannya kini sudah tidak lebih dari rekan bisnis.
Demi pantat monyet, ia tidak akan menginjak lantai rumah ini jika tidak atas perintah ayahnya.
Cuih!
Winny benar benar meludahi terasnya sebelum keluar dari sana.
"Kau sudah membawanya? "
Winny meletakan map merah atas meja, senyum dari wajah tua itu justru membuat Winny merasa ingin segera pergi. Manusia sialan ini tidak seharusnya bisa tersenyum seumur hidupnya.
"Kau memang paling pintar, Gemini. "
"Aku winny, "
Pria tua yang tidak lain adalah ayahnya itu tertawa terbahak bahak, seolah ribuan jari menggelitik kakinya. Sialan.
"Aku tau kau anak jalang, semua ini tidak akan berhasil jika bukan karena putra bungsu ku, Gemini. "
Anak lelaki di kursi lain hanya menundukan kepalanya, tidak ada senyum tersanjung di wajahnya. Kita semua tau bahwa kita adalah boneka, lalu apa gunanya berbangga diri.
"Ya terserah dad, aku akan pergi, "
"Pintunya disana, sialan." Dengan baik hati lelaki tua itu menunjukkan pintu keluar sementara tangannya sibuk menuangkan anggur puluhan tahun untuk si bungsu yang bahkan belum berusia 20 tahun. Yah, semoga mereka mati cepat.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.