“Pergilah bersamanya!”
Anak berumur 13 tahun itu terdiam, matanya menatap lekat netra obsidian senada yang terlihat khawatir itu, orang yang sama dengan yang baru saja mengajaknya bicara. “Tapi ay-” Perkataannya terpotong ketika seseorang itu memegang tangannya kuat, sebuah belati dan kalung berliontin diselipkan diantara jari jarinya. “Jaga dirimu baik baik, Demian.” Ayahnya tersenyum, seakan memastikan semuanya akan baik baik saja, sesuatu yang tidak akan dipercayai oleh anak itu. Memberikan perintah dengan tatapan mata kepada ajudannya yang berada didalam ruangan itu sejak tadi, tangan anak itu ditarik erat oleh ajudan sang ayah. Ia tak bisa melawan, matanya tetap terkunci pada ayahnya sebelum pintu ruangan itu tertutup.
“Maaf tuan muda, anda harus tetap bertahan hidup.” Seseorang yang menariknya akhirnya buka suara, kecepatan berlari mereka tak juga menurun, membuat dirinya sedikit kewalahan. “Kias, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa aku harus kabur?” Suaranya amat kecil, hampir saja tak terdengar jika saja ajudan sang ayah tak memiliki pendengaran yang tajam. “Akan saya jelaskan jika keadaan sudah aman, tuan.” Dirinya hanya mengangguk, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Beberapa orang yang menggunakan jubah hitam terlihat dari pandangannya, ia mengenali mereka. Kesatria rahasia keluarganya, yang menganggukan kepala setiap mendapati netra obsidian itu mengarah kepada mereka.
Ia sedikit tersentak saat menyadari keberadaan aura gelap di sekitarnya. Refleks ia menggenggam erat tangan Arkias yang berhenti berlari akibat merasakan hal yang sama. “Tuan muda, tetap berlari, saya akan mengikuti dari belakang.” Perintah yang diberikan oleh Arkias hanya dijawab anggukan olehnya. Ia tahu kemungkinan tujuannya, sebuah portal rahasia di dalam hutan yang masih termasuk bagian dari mansion keluarganya. Mulai berhitung dalam hati, larinya dilanjutkan saat hitungan mundur selesai, meninggalkan sang ajudan di belakang.
Sejujurnya ia tak mau meninggalkan sang ajudan begitu saja, ia sudah mengambil kelas berpedangnya sejak umur 9 tahun, dan ia selalu mendapat pujian dari semua gurunya. Bahkan sudah direncanakan menjadi kepala pasukan militer keluarganya saat umurnya menginjak 17 tahun, walau mungkin hanya akan menjadi rencana semata. Tapi kondisinya tidak diuntungkan untuk bertarung. Tangannya gemetar, suara nyaring pedang yang bertabrakan dari segala arah, bahkan hujan yang mulai turun, tidak membuatnya menurunkan kecepatan berlarinya.
***
Ia terkejut, netra obsidiannya baru saja menangkap sesosok bayangan di depannya. Ah, bukan hanya satu, tiga. Tubuhnya menegang, apa yang harus ia lakukan? Refleks, ia berjalan mundur perlahan, sebelum punggungnya menabrak pohon. Ia bisa melihat kilauan cahaya yang berasal dari tangan salah satu bayangan itu, rune sihir. Terjebak dari 4 sisi, ia berpikir cepat, ketika sebuah pertanyaan muncul di pikirannya, ia harus kabur atau bertarung? Serangan sudah dimulai. Tangannya refleks terangkat, seakan diperintah, tetesan demi tetesan air hujan yang sedari tadi membasahinya tertahan di tempat, lalu mulai bergerak berkumpul menjadi sebuah tameng di depan tangannya, melindunginya dari serangan sihir maupun fisik yang dilakukan ketiga bayangan.
Ia tahu, tameng air miliknya tak bisa menjadi solusi akhir dari situasi ini. Mengambil celah saat serangan sihir mereka terjeda, ia mengambil belati yang diberikan ayahnya, ia memilih bertarung. Cepat dan tepat, ia mengayunkan belati miliknya tanpa keraguan, bahkan tak peduli walau luka juga mulai memenuhi tubuhnya. Perhatiannya terpaku pada satu tujuan, menyerang, tanpa bertahan sedikit pun. Memang hal bodoh, tapi ia tak peduli. Target serangannya yang pertama adalah sang pengguna sihir, tak sulit mengalahkan seseorang yang tak siap untuk serangan fisik. Belatinya menusuk pundak sang pengguna sihir, dilanjutkan dengan serangan demi serangan yang berakhir dengan kekalahan lawannya. “Satu selesai. Dan masih tersisa 2 lagi.” Netra Obsidiannya seakan mengabur, digantikan Sapphire yang bersinar terang, diikuti suaranya yang menajam.
SRRATT
BRUGH
Nafasnya semakin memburu, seakan ia sendiri kehilangan kendali atas tubuhnya. Berselang 30 menit, kedua bayangan itu dikalahkan, mengikuti nasib sang pengguna sihir. Ia sendiri terluka cukup banyak, 1 luka tusukan pada perut kanan, 2 luka gores besar pada lengannya, dan luka luka kecil di sekujur lengan dan kakinya. Menghela nafas, netra obsidiannya kembali, seakan mengikuti perasaan sang pemilik. “Selesai.” Tangannya menekan luka tusukan pada perutnya. Tak apa, lukanya bisa menanti, sekarang ia harus fokus pada hal lain. Fokusnya kembali pada pelariannya, dengan kematian ketiga bayangan, ia tahu itu akan menarik perhatian bayangan lain. Ia harus cepat, atau kejadian yang sama mungkin akan terulang.
Kakinya ia paksa terus berlari, menghiraukan rasa sakit, lelah, dan dingin yang dirasakannya di seluruh tubuh. Jujur saja, ia tak pernah pergi ke portal rahasia itu, apalagi mengetahui kemana portal itu membawanya. Tapi, entah ini sihir ilusi atau apapun itu, ia 'tahu' ia mengetahui lokasinya, rasanya seperti mengikuti insting, atau memang insting? Tak tahu lah. "Apa, ini yang dimaksud ayah…?" Pandangannya sudah memburam, helaan nafasnya sudah semakin menjadi. Tapi, matanya takjub saat melihat portal besar terbuka di depan matanya. Portal itu bahkan 3 kali lebih besar dari tubuhnya sendiri. Tangannya menyentuh portal itu. Seketika pandangannya mengabur, ia merasa seperti melayang. Ia telah masuk kedalam portal.
Dalam waktu yang tak sebentar itu, ia telah menjelajahi ruang. Tak ada yang bisa ia lakukan, hanya melayang, dan melayang. Tubuh penuh lukanya yang seperti mendapat istirahat itu membuatnya mengantuk, apalagi dengan rasa lelah yang kembali muncul setelah sempat tertahan, memaksa matanya untuk tertutup. Ia tak bisa menahannya. Dan, dia kehilangan kesadarannya.
Bogor, 9 Januari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Abditory
FantasyPernahkah kalian membayangkan, rasanya kehilangan semua yang kalian miliki hanya karena keserakahan? Rasanya menemukan kembali harapan yang muncul saat kau telah menyerah? Atau rasanya menemukan kembali kehidupan diantara keheningan? Mungkin itulah...