[1]

310 42 0
                                    

"Kak Alinn~" pemuda itu, Duri namanya. Sedang menghampiri kakak sulungnya yang tengah terduduk di ruang tamu, memainkannya ponselnya.

Atensi sang kakak langsung tertuju pada adik ke-5nya itu. Langkahnya sedikit gontai menuju sang kakak. Bergerak dengan cepat, si sulung lantas meletakkan ponsel dan segera menghampiri Duri.

"Ngapain keluar kamar? Belum juga sembuh," bukannya apa, sang kakak hanya khawatir dengan Duri.

Baru pagi tadi Duri terkena demam tinggi. Semuanya kelimpungan mencari obat penyembuh dan merawat Duri. Namun, begitu jam produktif sudah dimulai mau tak mau mereka semua berangkat ke sekolah.

Lalu bagaimana bisa si sulung masih berada di rumah? Tentu saja ia meminta izin untuk merawat adiknya yang sedang sakit itu. Jika bukan si sulung, lantas siapa lagi yang mau merawat Duri? Mama mereka telah meninggal. Sedangkan ayah mereka berfokus pada kerjanya di luar negri.

Si sulung kerap kali meminta ayahnya untuk pulang. Tapi ayahnya selalu menolak. Jikalau ditanya mengapa ayah meninggalkan mereka sendiri, jawabannya tetap sama. "Agar kalian bisa berdikari seperti ayah dulu,"

Si sulung--Halilintar namanya, kini tengah memapah Duri menuju sofa di ruang tamu. Dapat dirasakannya suhu badan Duri yang masih hangat. Halilintar yakin jika adiknya ini tengah merasakan pusing akibat penyakitnya.

"Hehe~ habisnya Duri bosen di kamar mulu ga ada kerjaan," Duri dengan cengirannya yang diarahkan kepada Halilintar dan hanya dibalas gelengan kepala oleh Halilintar.

Sesampainya di sofa, Halilintar membantu Duri untuk merebahkan tubuhnya. Adiknya ini memang sedikit bandel--tidak sebandel adik satunya. Hiperaktif juga, jadi wajar saja jika dia tidak bisa berdiam diri dalam kurun waktu yang lama.

"Duri kalau mau apa - apa langsung panggil kakak aja, ya? Sekarang jangan banyak gerak dulu, adek masih sakit, istirahat yang cukup. Kakak ambilin selimut dulu,"

"Iya kakak!"

Kepergian Halilintar untuk mencari selimut menjadi kehampaan lagi bagi Duri. Dirinya hanya ingin ditemani oleh seseorang. Duri tidak bisa ditinggal sendiri.

Jika boleh jujur, Duri sebenarnya takut saat ditinggal sendiri. Bisa dibilang dia punya sebuah trauma. Namun, tak ada yang mengetahui hal tersebut. Sebab Duri pandai menyembunyikan sesuatu.

Tak berselang lama, Halilintar pun datang membawa sebuah selimut hangat dari Kamar Duri dan kembarannya. Hati Duri menghangat melihat raut risau dari kakaknya itu. Senyum manis pun terpancar dikala sang kakak memakaikan selimut padanya.

"Hehe~ Makasih, kakakk!!" Duri berseru riang ditengah rasa pening yang masih menggerogoti kepalanya.

"Iya, Duri tidur dulu aja, ya,"

Halilintar kemudian duduk di lantai menghadap ke arah Duri. Secara perlahan tangannya bergerak mengelus surai coklat milik Duri. Ditatapnya netra emerald itu dengan hangat. Menyanyikan sebuah lagu lullaby agar sang adik tertidur.

Masih dengan senyumnya, Duri menatap balas manik ruby yang menghangat. Rasa kantuk pun mulai menyerang. Senyum manisnya perlahan luntur seiring kelopak yang mulai menutupi netra emeraldnya. Iringan lullaby yang keluar dari mulut Halilintar begitu menenangkan.

Siapa sangka Halilintar punya suara yang sangat merdu? Duri merasa beruntung dapat mendengarkan suara merdu Halilintar. Sebab kakaknya ini memang tidak pernah ditemui sedang bernyanyi dengan suara merdunya.

Kemudian, dalam sekejap Duri sudah tertidur dengan pulas. Halilintar yang melihat itu tersenyum tipis. Lalu, kembali pada kegiatan awalnya dimana dia sedang memantau group chat kelas dan google classroom guna memastikan tugas yang akan diberikan oleh guru.

𝕀nteraction。。。|| HalRi ver.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang