orientasi

10 0 0
                                    

Vanilla datang terlalu pagi.

Hari ini adalah hari pertama masa orientasi sekolah, ini jelas bukan hari yang ditunggu tunggu oleh Vanilla hingga menyebabkan dirinya datang terlalu pagi. Pukul 05.45 ayahnya sudah mengantarnya untuk pergi ke sekolah sedangkan jarak dari rumahnya hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit.

Kelas Vanilla berada di paling ujung gedung 1 lantai 2, papan plang kecil bertuliskan X IPA 1 menggantung disisi pintu. Vanilla memilih bangku paling belakang. Calon teman sekelasnya masih belum ada yang datang, hanya dirinya seorang dikelas ini.

Bel sekolah akan berbunyi pada jam 06.30 sekarang masih jam 6 pagi, masih ada setengah jam untuk dirinya menyibukkan diri. Bangku di samping nya sudah terisi oleh tas miliknya, sedangkan dirinya sudah menyembunyikan kepalanya diantara lipatan lenganya di atas meja. Tidur, Vanilla butuh tidur, dirinya masih mengantuk. 

Baru saja merasakan nyenyak, tidurnya terinterupsi oleh suara berisik disekelilingnya. Diangkatlah kepalanya dan memaksakan untuk membuka mata. Bangku didepannya sudah terisi begitu juga bangku disebalah kanan dan kirinya.

Ah.. calon teman sekelas sudah datang, pikirnya begitu. Matanya mengedar mencari letak jam dinding di kelasnya namun tak kunjung ditemukan dan berakhir dirinya membuka ponselnya. Rupanya limabelas menit lagi bel masuk berbunyi. Pantas saja bangku dikelasnya sudah mulai penuh, hanya terisa bangku di sebelahnya yang berisikan tasnya sendiri. Lagi?, pikirnya kembali.

"Hai! Lo Vanilla kan? kita dulu satu SMP loh", rupanya siswi yang duduk di bangku di depannya membalikkan badannya untuk mengajaknya bicara, tak lupa teman sebangkunya ikut membalikkan badannya. Satu SMP ya.., Vanilla memang mengetahui bahwa mereka pernah satu sekolah tapi Vanilla tidak mengenalnya, bahkan pernah mengobrol bersama saja tidak.

"Gue Kinan, terus ini di sebelah gue namanya Cantika."

Jadi siswi yang memiliki pipi yang sangat mengembang dan sedari tadi mengajaknya berbicara ini bernama Kinan. Sedangkan di sebelahnya, wow.., sesuai dengan namanya Cantika. Siswi yang satu ini memang sangat cantik, kulit putihnya tampak sangat halus dan lembut, wajahnya seperti keturunan orang timur tengah. Benar kata orang, nama adalah doa dan nama juga cerminan dari pemilik nama tersebut.

"Hm, Hai juga. Seperti yang Lo kenal, Gue Vanilla"

"Lo emang pendiam gitu ya?" Kinan sedikit ragu untuk namun dirinya sudah kepalang penasaran.

"Emang iya? Jaim aja sih aslinya hehe." Tolong, Vanilla merasa tersanjung dirinya dibilang pendiam. Tangan kanan Vanilla tak tinggal diam bergerak mengelus tengkuk lehernya sambil terkekeh tipis.

"Tapi herannya ya Van, Gue dulu cuma lihat Lo kalau pas lagi ada tanding doang, terus selebihnya Lo kayak hantu gitu ngga kelihatan sama sekali." Lihatlah gadis ini, jiwa penasarannya sangat menggebu-gebu. Menurut Vanilla, Kinan adalah gadis yang tidak bisa membungkam mulutnya untuk tidak bergosip.

"Tapi Gue bukan Hantu kok, mungkin Lo aja yang ngga kelihatan Gue." 

"O-oh, iya kali ya." Wajah Kinan berubah sedikit kaku. Kedua siswi di bangku depan Vanilla itu menghadapkan badannya menghadap ke papan kembali sambil berbisik-bisik.

 Vanilla berasumsi bahwa mereka mulai membicarakan tentangnya. Seperti yang sudah-sudah, orang selalu saja langsung menarik kesimpulan tanpa harus mengenal lebih dalam dan menyebarkannya tak peduli itu baik maupun buruk. Itulah sifat alami yang dimiliki manusia.

Sepasang siswa dan siswi yang memakai jas menutupi seragam putih abu-abunya memasuki kelas Vanilla membuat suasana kelas sunyi, itu anggota Osis.

"Halo, selamat pagi semua!"

"PAGI"

"Kenalin nama kakak N-A-D-I-N-E dibaca Nadin, e paling belakang ngga usah ikut dibaca. Di sebelah kakak ini ada cowok cakep namanya Jehan, orangnya kadang bisu jadi mohon dimaklumin ya, dia masih single. Yang ciwi-ciwi kalau mau minta nomernya nanti ya kakak kasih, yang cowok kalau mau nomernya Reno boleh sih tapi mending minta nomer kakak aja nanti kakak kasih." 

"Nadine" Dari sudut pandang Vanilla, siswa bernama Jehan itu sedikit melirik sinis ke temannya sebagai tanda memperingati agar tidak berlebihan. Yang dibalas gestur tangan oke dari Nadine sambil terkekeh.

"Oke oke, berhubung lima menit lagi bel masuk bakalan bunyi. Kakak mau remender ke kalian untuk check kembali barang bawaan dan atribut seragam kalian terutama topi, dasi, ikat pinggang, sepatu hitam, dan tanda pengenal gugus kalian jangan sampai ketinggalan ya. Nanti begitu bel bunyi, kalian langsung turun ke lapangan ya buat upacara pembukaan masa orientasi. Itu aja dari kakak, ada yang perlu ditanyakan?" 

Belum ada satu menit Nadine menyelesaikan kata katanya, dirinya lansung memotongnya kembali. "Kakak anggap ngga ada pertanyaan ya, kalau gitu kita balik dulu. Dah semua!"

Kepergian kedua anggota osis itu disambut dengan keadaan kelas yang mulai tidak kondusif. Semua murid mulai memakai tanda pengenal nya masing-masing. Vanilla tidak menyukai model tanda pengenal gugus ini. Ini sangat memalukan. 

Tanda pengenal ini berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kertas berwarna hijau dan dilapisi dengan plastik mika agar tidak luntur saat terkena air dan diberi pita panjang agar bisa dipakai. 

Vanilla merapikan seragamnya yang sedikit kusut karena ia buat tidur sejenak, setelah itu mengeluarkan topi dan tanda pengenalnya dari dalam  tas. Lagi-lagi mendengus, seharusnya ditanda pengenal itu diberikan foto diri, namun Vanilla tak melakukannya. Itu sangat kuno. Berdoa saja semoga ia tidak ketahuan dan berujung dihukum.

Bel masuk berbunyi, para murid mulai berhamburan berdiri dan keluar kelas untuk melaksanakan upacara yang mereka tunggu-tunggu. Vanilla mau tak mau tetap ikut melaksanakan. Di lapangan upacara sendiri sudah banyak murid yang mulai merapikan barisan.

"Sekali lagi, baris sesuai kelas masing-masing. Untuk siswa laki-laki di bagian sebelah kanan, dan siswi perempuan di sebelah kiri. Urutan barisan dari depan ke belakang adalah siswa siswi paling tinggi di kelas hingga yang paling pendek." Suara yang sama dari speaker terus muncul berulang.

Vanilla diam membiarkan temannya yang mengurus barisan, dirinya terima beres saja. Inginnya dia mendapatakan barisan paling belakang, namun dia sanksi akan mendapatkannya. Sebab jika dilihat teman perempuan sekelasnya rata rata memiliki tinggi badan dibawah 160 cm sangat berbanding terbalik dengan teman sekelas laki-lakinya yang seperti titan.

Seseorang menepuk pundak Vanilla dari sampingnya, "Oit, tinggi Lo berapa?"

Vanilla tidak mengenal pria ini siapa, apa mungin teman sekelasnya? 

"Siapa?" tanya Vanilla

"Heh! kita temen sekelas, Gue Fadil. Padahal tadi Gue duduk di samping seberang Lo, bisa-bisanya Lo ngga tau." 

"Oh sorry "

"Dah lah, tinggi Lo berapa? kita harus cepet cepet baris ini" 

"162"

"Oke, Lo barisan ke-4 dari depan. Buruan baris jangan diem aja." Setelah mengatakannya Fadil beralih ke siswi lain dan bertanya pertanyaan yang sama. Sedangkan Vanilla berjalan kebarisan depan. Pupus sudah harapannya mendapatkan barisan paling belakang. Berada di barisan depan membuatnya harus terlihat disiplin, membayangkannya saja sudah membuatnya jengah.

Kini Vanilla sudah berdiri di barisan ke-4. Matanya menjelajah sekelilingnya hingga terpaku pada mata coklat pekat milik seseorang di samping kanannya. Indah.., batinnya.

Menyadari ada yang memerhatikan, orang tersebut menoleh kearah Vanilla. Sedikit kaget, tak lama senyuman manis terbit dari bibirnya hingga matanya sedikit menutup. Aneh, jantung Vanilla seperti berdetak sedikit lebih kencang dari biasanya.

"Hai"

Oh Tuhan, jantung Vanilla berdetak satu tingkat lebih kencang lagi setelah mendengar suara halus itu mengalun di telinganya. Salah tingkah, mata Vanilla menjelajah liar tak tentu arah dan kembali berhenti di atas kertas berwarna hijau yang menempel di tubuh orang tersebut. Itu tanda pengenal gugus, foto yang tertempel terlihat sangat manis dan di bawahnya terdapat sebuah nama yang hanya terdiri dari satu suku kata,

"Harsa"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 13 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

VanillateWhere stories live. Discover now