PROLOG: Angket Tanpa Jawaban

7 1 1
                                    

Dua November, Duaribuduapuluhdua.

Satu hari setelah malam sakral pesta suci orang kudus, dengungan Doa Syukur Agung masih menggema dalam amidalanya. Merenyam kesepian tanpa hadirnya Tuhan di sisinya. Ia harusnya murtad lalu mati pada malam itu, jika ia mengakui dirinya sebagai seorang pengecut dan berani menendang kursi dengan kaki-kaki tinggi penopangnya jatuh kasar menyentuh lantai. Dan membiarkan seluruh raganya menjuntai bebas di udara. Toh, kebebasan seperti itu bukan yang ia nantikan sejak lama?

Bebas dari kilatan cahaya yang sibuk menyoroti dirinya bak butiran-butiran putih jatuh tersebar menenggelamkan kota kesayangannya, Brooklyn. Ataupun di sisi lain, kefanatikan atas kesendiriannya yang ia peluk sejak lama. Seperti gelapnya nirmana langit malam dicekik badai salju. Atau pula, di sama sisi, kefiktifan bawah sadarnya yang ia proyeksikan agar kekal dipeluk hangat almarhumah ibundanya. Sebagaimana remang lampu gedung-gedung pencakar langit yang menjadi sumber kehangatan di tengah riuhnya kota. Segregasi jelas ada di luar kamarnya maupun di dalam akalnya. Kesamaan pada keduanya adalah: dingin.

Dingin yang menusuk, menjilat, dan tentunya, menghancurkan. Dan rasa dingin itu kini menjalar melewati saraf-saraf kedua kakinya. Gemetar sekaligus kebas, apa lagi yang sebenarnya ia pikirkan? Hanya tinggal layangkan kursi itu ke angkasa lalu seluruh urusan hidupnya selesai dalam sedetik. Paling tidak, ia akan menyumbangkan satu tubuh baru ke kamar pendingin jenazah di ruang autopsi nantinya atau jika dipikir lebih jauh lagi, ia turut andil membuktikan teori Newton 1 dan 2, hanya saja untuk yang 3 gagal ia buktikan karena tidak efektif untuk manusia. Intinya, tidak ada feedback.

Kehendak demikian, ia terus berpikir. Ia harusnya menjadi putri penyelamat kerajaannya bukan seorang pengecut seperti ini. Sorot kedua mata kosongnya lantas menangkap secercah cahaya dari sela-sela pintu mahogani kamarnya yang tidak terkunci. Lampu kuning yang seperti emas dari tangan Midas, semakin membuat kamarnya menjadi ruang peratapan Medusa. Namun ia sungguh rela menyambut kebahagiaan satu-satunya di rumah kuil peribadatan Zeus miliknya ini. Yang tak lain dari sang kembar legenda, Apollo dan Athena.

Bayangan dari kaki-kaki muda yang cepat dan tangkas berpindah kesana-kemari karena lari riang mereka, ia dengarkan dengan seksama sembari menunggu waktunya tepat. Tawa yang mengalun bersama aroma hidangan makan malam menyisakan dahaganya seperti tong kosong. Ia tak kuat, ia lapar, walaupun sebenarnya tali-tali kuat itu sudah siap sedari lama.

Adik-adik kesayangannya.

Terlukis dalam siluet berbayang, masuk ke dalam kamarnya. Duabelas tahun umur mereka, naif tanpa noda, tentu berbanding jauh dengannya. Ceria dan amat menyenangkan jika ia berada di dekat mereka, dapat melupakan dan melelapkan segala hal yang membuatnya kacau balau tanpa kendali. Garis bibirnya seketika menyulam sabit kecil. Ia sudah sepenuhnya lupa bagaimana cara untuk sebahagia ini. Ia bukannya tidak mudah merasakan serotonin, hanya saja dosis kesialan hidupnya tergolong tidak wajar. Oleh karena itu ketika adik-adiknya tersenyum lepas, ia tidak buru-buru ikut tersenyum. Sebab sesuatu yang jauh lebih dahsyat akan datang bersamanya.

Gilanya lagi, belasan tahun lewat sudah, rambut pirangnya semakin pucat, dan ia tetap tidak punya jawaban atas itu semua. Mau sekeras dan seberat apapun dirinya mengikis atau mengukir alinea baru di dalam hidupnya, ia hanyalah satu dari segelintir orang yang mengharapkan belas kasih dari Tuhan. Terlebihnya, ampunan dari-Nya. Karena ia sudah sungguh amat berdosa, melakukan percobaan yang sama sepuluh kali, harap-harap cemas agar bisa tidur dengan tenang.

Kali ini, percobaan ke sebelasnya, ia tidak boleh gagal. Ia harus memastikan semua seperangkat media massa, daring maupun luring, berhenti menyorotinya dari berbagai perspektif. Ia tidak peduli jika beberapa dari mereka kehilangan gaji atau bahkan pekerjaannya dikarenakan sudah tidak ada lagi yang diliput. Semuanya kembali lagi dalam akal pikirannya, suka tidak suka, mau tidak mau, ia harus mengakhiri semuanya. Harapan terakhirnya...

-

Dan, selesai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PANACEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang