Seorang perempuan bersurai pendek sebahu duduk hanyut dalam kegelapan kamarnya, diiringi embusan angin yang menusuk sampai ke tulang. Langit yang digelayuti awan mendung memancarkan aura kesedihan yang tak terlukiskan. Matanya terpaku pada tetesan-tetesan hujan yang menyelinap di jendela, seolah memperlihatkan betapa sunyi dan pilunya hatinya.
Ekspresi berubah menjadi takut dan cemas ketika pintu kamar terbuka menghadirkan sosok pria tinggi dengan berewok di wajah yang dingin. Kedatangan Darma Aji Lumantara, menghentikan aliran pikiran Selene. Dalam keheningan itu desahan kecewa sang ayah memecah keheningan ruangan. "Hasil kali ini sangat, sangat tidak memuaskan! Apakah kau sudah puas dengan pencapaianmu yang hanya seujung kuku itu!" sentak Darma dengan nada dingin dan tegas, mengisi ruangan dengan ketegangan. Inilah yang terjadi ketika Selena Lumina Darma---gadis berusia 17 tahun itu tidak memenuhi ekspektasinya.
Ketidakpuasan ayahnya terhadap hasil rapor kenaikan kelas 11 menciptakan awan kelabu di dalam hati. Helaan napas berat tak mengenakan dari pria berusia 45 tahun itu terdengar jelas, pria itu melepas ikat pinggang. Siap-siap mencambuk. Tanpa kata-kata, cambukan pertama melintas di udara dan menyayat lengan gadis itu. Kemudian, beralih ke ke kaki. Erangan kesakitan bergema di ruangan, tapi tak satupun suara itu dihiraukan. Serangan terakhir tamparan keras melayang ke pipi tirus gadis itu. Ngeri, sakit, perih, kecewa, sesak semua rasa itu bercampur aduk.
***
Selene turun tangga dengan langkah tertatih, mencari keberadaan ayahnya. Memar tampak jelas di kulitnya yang terbuka oleh gaun tanpa lengan (sleeveless dress) yang ia kenakan. "Aku mengecewakan Papa semester ini. Apakah aku tidak akan mendapatkan hadiah, yaitu bertemu dengan ibu," lirihnya.
Meski telah, dihina dan disiksa, dia tetap patuh pada Darma, karena satu-satunya kesempatan untuk bertemu dengan sang ibu hanya bisa dia peroleh setiap enam bulan sekali dengan syarat selalu patuh dan tidak boleh mengecewakan ayahnya, salah satunya dari segi prestasi akademik.
"Aku tidak peduli dengan pendapat anak itu, aku akan menikahimu! Anak itu hanya perhiasan yang berguna karena prestasinya untuk aku pamer ke teman-temanku."
Tak jauh dari ruang tamu, Selene samar mendengar penuturan yang tak lain keluar dari mulut Darma yang berada di ruang tamu bersama seorang wanita yang mengenakan dress bodycon berwarna merah. Selene pun mendekati sumber suara.
"Mas, aku menjadi istrimu berarti juga menjadi ibu untuk Selene," ucap wanita itu, sambil mengelus pundak Darma.
Selene mengernyit, berlari kecil menghampiri Darma. "Apa? Ibu, Istri?" Sontak saja, pandangan keduanya tertuju pada gadis berkulit kuning langsat itu.
"Kenapa kamu keluar kamar?! Seharusnya kamu merenung atas kegagalan kamu! Berani orang yang gagal ini menampakkan diri dengan sengaja pada saya!" sentak Darma.
Selene terdiam, bibirnya gemetar ketika ia berusaha menemukan kata-kata. "Pa, tolong jawab pertanyaan Selen. Papa mau nikah lagi?"
"Apa urusanmu kalau saya menikah lagi?"
"Pa! Bukannya Papa udah janji bakalan rujuk sama Mama kalau, Selene nurut sama Papa dan bisa lulus universitas ternama?!"Mata keduanya bertemu dalam keheningan yang penuh dengan arti yang tak terucapkan.
"Pa!" sentak Selene, ketika Darma hanya menghela napas terus menerus tanpa menjawab pertanyaan.
"Pa, ini gara-gara Selene ngecewain, Papa, ya. Selene janji bakalan belajar lebih giat lagi." Nada gadis itu semakin meninggi membuat Darma mengepal tangan dan tersulut emosi.
"Kau menyuruhku rujuk dengan arwah ibumu, ha?! Ibumu sudah mat*!"
Selene tertegun tak percaya.
"Papa bohong, kan?!" tanyanya memastikan, buliran yang tertahan sejak tadi mengalir di pipinya.
Gadis itu memegang dan mengguncang tangan sang ayah sambil merengek, "Pa! Papa bohong, kan? Jawab, Pa! Mama gak mungkin meninggal."
Darma menarik napas frustrasi. "Itu benar. Saya sengaja tidak memberitahukanmu agar kemarin kamu fokus ujian. Saya tidak memberitahu saja nilaimu sudah merosot! Ah lagi pun sama saja, kan? kamu juga tidak bisa bertemu dengan ibumu karena nilaimu merosot!" Jawaban dari Darma membuat Selene runtuh, seketika pucat wajah polos gadis itu. Ia langsung terduduk di lantai dengan tatapan kosong. Mat*,omong kosong itulah yang berada di pikirannya.
“Selene, lupakanlah Ibumu yang tak berguna itu, dia hanya berdampak buruk bagimu, hiduplah sebagai piala bagiku! Kau paham?!” tambah pria narasistik itu lagi.
Wanita yang hendak dinikahi ayah Selene hanya terdiam melihat pertikaian itu. Kenapa?
Selene mendongak dengan matanya yang memerah ia menatap tajam mata sang ayah penuh tidak percaya dengan perkataan yang pria itu lontarkan. Mana mungkin ada seorang ayah yang berkata tanpa belas kasihan seperti itu ketika ibu dari anaknya meninggal. Selene berdiri dan langsung berlari tergopoh-gopoh keluar rumah, suara keras pria itu meneriakinya tak ia hiraukan. Tanpa memakai alas kaki, gadis itu menerpa hujan lebat yang tak reda-reda. "Aku harus ke rumah Ibu, memastikan tapi di mana? A--ku tidak tahu rumahnya."
Setiap kali diantar ke rumah sang Ibu, Selene sering tertidur tanpa sadar. Sadar-sadar ia sudah berada di rumah ibunya, begitu juga ketika ia kembali pulang. Penggunaan ponsel pintar sama sekali tak diperkenankan, bahkan ponselnya harus dititipkan pada supir. Ya, Selene selama itu hanya berpikir positif, mungkin ayahnya ingin dia menikmati waktu dengan sang ibu tanpa gangguan. Namun, sekarang Selene tersadar, bahwa ayahnya selama ini menganggap ibunya kuno tidak berpendidikan dan berpengaruh buruk baginya, karena itu Darma membatasi interaksi dia dan sang ibu.
Selene terhenti ke jalan yang sepi, seluruh badannya basah kuyup dan menggigil. Ia meringkuk tertunduk lemas, rambut pendek sebahunya itu menutupi wajah. Kenapa? Kenapa hidupnya seperti ini, ia bahkan kehilangan satu-satunya orang yang tulus sayang padanya. Kenapa Tuhan memberikan hidup yang malang seperti ini. Suara deru hujan, isakkan tangis dan berisiknya isi kepala seakan menulikan telinganya. Ketika Selene mengangkat wajah, kendaraan besar beroda empat melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya, gadis itu terbelalak dan membeku.
Bruk!!
Dalam sekejap dunia berputar cepat bagi gadis itu, ketika tubuhnya merasakan hantaman tak terduga. Tubuh terhempas ke belakang hingga membentur aspal dengan kuat. Pandangan Selene kabur rasa sakit menjalar ke tubuhnya. "Apakah ini akhir dari hidupku yang tak pernah menemukan titik bahagia sampai aku mati?" Monolognya. Tak ada saksi kecelakaan tersebut, selain hujan yang semakin deras seolah menyaksikan tragedi yang tak terhindarkan. Darah bercampur air hujan mengalir membasahi jalanan menciptakan pemandangan yang semakin suram.
***
Mata mendadak terbuka. Mimpi? Hatinya masih berdegup kencang mempertanyakan realitas di sekelilingnya. Selene, terengah-engah, meraba-raba tubuhnya. Tidak ada rasa sakit, luka, dan darah seperti keadaan terakhir di ingatannya."Apa ini rumah sakit?" pikirnya. Namun ketika melihat sekeliling, ini bukan rumah sakit melainkan kamarnya. Selene memejamkan mata dan menggoyangkan kepalanya. "Mungkin aku berhalusinasi, ya kali ini di kamar," katanya sambil membuka mata. Tapi, masih saja dengan pemandangan yang sama. Bahkan ia mengenakan piyama.
Selen menyela rambut, tetapi lagi-lagi ia terkejut. “Hah? Rambut aku kenapa panjang lagi. Seingatku, aku memotong rambut sebulan sebelum ujian.”"Apa aku koma, ya? Tapi masa rambutnya udah sampe ngelewatin dada gini. Emang selama apa koma."
Selene mengambil ponsel di nakas yang tampak di samping kasurnya. Netra dengan pupil berwarna coklat itu membesar. Ketika tanggal di HP tersebut menunjukkan tanggal 25, bulan Juni, tahun 2022 berarti setahun sebelum kecelakaan terjadi yaitu tanggal 25 Juni 2023. “Ini aku salah setting atau gimana, sih?”Belum sempat berpikir lebih jauh lagi, Selene merasakan sesak, membuatnya terengah-engah pandangan berkunang-kunang, "Tanggal 25 ini berarti besok ...," lirihnya hingga jatuh tak sadarkan diri.
Dabo Singkep, 3 Januari 2024