"Sudah siap sayang?" Mark mencium pipi Rose membuyarkan lamunan Rose yang tersenyum mengangguk pelan.
"Mom, Da In cantik engga? Daddy yang pilihin baju." Rose tersenyum melihat putri semata wayangnya berputar memperlihatkan dress yang ayahnya pilihkan.
"Cantik sayang. Mommy kalah cantik kalau gini." Rose mencubit pelan pipi putrinya.
"Mommy tetap yang paling cantik, ya kan Dad?" Mark mengangguk bangga melihat istri dan putrinya.
"Kalian sama cantiknya, daddy beruntung punya kalian. Udah siap? Kita berangkat sekarang?" Rose mengangguk, menggandeng putrinya keluar dari kamar.
Rose memperhatikan lampu-lampu kota yang mulai menerangi, tidak terasa dia sudah tinggal selama 15 tahun di kota ini. Pernikahannya dengan Mark membawanya datang ke kota yang sekarang menjadi tempat tinggalnya. Rose menunduk memperhatikan cincin di jarinya, helaan nafas pendek keluar dari mulut Rose. Mark menoleh ke arah istrinya yang sudah kembali membuang pandangannya keluar. Mark melirik kearah tangan Rose yang memainkan cincin pernikahan mereka.
Apakah dia bahagia hidup denganku? Apakah dia menyesal menerima pernyataan cinta dariku? Apa dia menyesal menikah denganku?
Pertanyaan itu sering datang pada Mark saat dia melihat Rose yang terkadang terlihat sangat diam seperti sedang memikirkan sesuatu. Selama ini dia berusaha untuk tidak bertanya langsung pada istrinya, dia takut kalau yang dia lakukan justru membuat istrinya terluka. Dia akan menunggu sampai Rose sendiri yang akan datang padanya dan bercerita padanya, walau itu harus selama hidupnya.
"Kita sudah sampai, Da In kalau sudah capek bilang daddy atau mommy ya." Pesan Mark pada putrinya yang mengangguk patuh.
Rose berjalan dengan tangannya melingkar di lengan suaminya. Sementara Da in, menggandeng tangan Mark yang lain. Rose tersenyum menyapa beberapa teman kerja Mark dan juga beberapa klien Mark. Sementara Mark sendiri juga sudah mulai sibuk berbincang dengan atasannya yang memperkenalkannya pada rekan bisnis mereka yang baru.
Da In yang mulai merasa bosan karena seperti sebelumnya dia tidak begitu banyak mengenal anak-anak dari teman kerja ayahnya. Sifatnya yang tidak terlalu suka dengan dunia luar selalu membuatnya sulit mendapatkan teman baru seusianya. Da In meraih gelas jus dan beberapa snack di piringnya, berjalan menjauh dari kerumunan orang memilih duduk di sebuah beranda kecil yang menghadap ke arah taman.
"Udara diluar lebih segar." Da In sedikit tersentak saat sebuah suara tiba-tiba saja terdengar dari sampingnya. Tidak jauh berbeda dengan Da in, seorang wanita terkejut melihat Da in berada di sana.
"Maaf anak kecil, aku tidak tahu kalau ada orang disini." Jisoo tersenyum menyapa Da In.
"Siapa anak kecil? Aku sudah besar." Gerutu Da In tidak terima.
"Baiklah, aku Kim Jisoo. Siapa namamu cantik?" Jisoo mengulurkan tangannya tapi Da In hanya menatap tangannya dengan cemberut tanpa ada niat akan membalas jabatan tangannya.
"Wah jual mahal, untung cantik." Seloroh Jisoo sambil melirik Da In yang memajukan bibirnya.
"Tante ngapain sih disini, kan Da In duluan yang disini." Omel Da In.
"Oh jadi namanya Da In. Tapi kenapa manggilnya tante? Emang udah kelihatan tua ya?" Jisoo menunjuk wajahnya, apa ada kerutan di wajahnya? Padahal tadi dia sudah menyempatkan diri pergi ke salon sebelum datang ke pesta ini.
"Kan emang tante udah tua. Terus kalau bukan tante, aku harus panggil apa? Kakak? Atau adik? Kemudaan." Jisoo tertawa mendengar ucapan Da In.
"Boleh sih jujur tapi ini sangat menyakitkan." Jisoo memegang dadanya berpura-pura merasakan sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Time With Me : Short Story
FanfictionHanya kumpulan cerita pendek. Update kalau ada ide ✌, hehehe. Homophobic silahkan skip jauh². #GxG #gxg