Doyoung menutup laptopnya dengan kasar. Seharian berkutat dengan naskah, membuatnya sangat mual. Laki-laki itu kemudian beranjak dari meja kerjanya dan menuju ke dapur untuk membuat secangkir cokelat hangat.
Mungkin mengistirahatkan pikirannya sejenak akan membuatnya memiliki mood yang lebih baik. Lalu ia bisa kembali melanjutkan editing naskah yang deadline-nya hanya tinggal mengitung hari.
Doyoung duduk di pantry dengan tatapan kosong, ia menikmati minuman hangat itu dengan penuh ketenangan. Rasa penat yang ia rasakan pun berangsur berkurang. Kemudian, matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukan pukul 11 malam, keningnya mengernyit.
Lagi? Ke mana Junghwan? Kenapa belum sampai rumah?
Doyoung mengembuskan napasnya pelan, selalu seperti itu. Junghwan selalu pulang telat dengan alasan lembur. Bahkan, ia pernah melihat Junghwan pulang pukul 02.00 pagi.
Apa yang dilakukan oleh suaminya di luar sana?
Doyoung menggeleng pelan, menepis pikiran buruknya tentang Junghwan. Ia tidak boleh curiga dengan suaminya sendiri.
Ingat, Doyoung. Junghwan kerja nyari duit, kalau dia nggak kerja emangnya gaji editor bisa nutupin kehidupan kalian berdua?
Setelah menghabiskan minumannya, Doyoung langsung mencuci cangkirnya. Laki-laki itu kembali ke kamar untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat ia tinggal tadi. Namun, selama berjalan ke arah ruang kerjanya ada perasaan yang entah kenapa terasa berbeda.
Doyoung tidak tahu dengan perasaan ini, tapi yang pasti ia belum pernah merasakan ini sama sekali sebelumnya.
***
Junghwan membawa jas hitam dilengannya, laki-laki itu tersenyum mendapati suaminya yang sedang berkutat dengan olahan bahan masakan. Doyoung tampak rapi dengan setelan celana jeans dan juga kemeja kotak-kotak yang melapisi kaos putihnya.
Tipikal style industri kreatif. Pikir Junghwan.
"Pagi, Sayang." Junghwan memeluk Doyoung seraya mengecup pipinya singkat. Ia terkekeh ketika mendengar rengekkan kecil dari suaminya.
"Kebiasaan! Aku lagi masak. Kalo jariku kepotong kamu mau aku nggak bisa ngetik lagi?!"
Omelan dari sang suami hanya Junghwan jawab dengan tawa kecil. Setelah menaruh jasnya di kursi, ia mendekati Doyoung dan membantunya untuk menyiapkan sarapan. Sudah biasa dengan rutinitas pagi ini, saling membantu.
"Kamu pulang jam berapa semalam?" tanya Doyoung sembari memotong sosis untuk campuran nasi goreng.
Pasalnya, kemarin ia menyelesaikan pekerjaannya sampai pukul 01.00 malam karena tidak lagi kuat dengan naskah yang berantakan itu.
"Jam dua," jawab Junghwan singkat.
"Lembur lagi?"
Junghwan mengangguk. Ia membawa piring, sendok, dan gelas ke meja makan. "Aku nggak bisa bawa kerjaan ke rumah, beda sama kamu yang harus bawa kerjaan ke rumah."
Doyoung mendengkus. "Kamu, kan, kerjaannya cuma bikin laporan aja, beda sama aku yang harus mikir ide dan lainnya," ucapnya sedikit kesal.
Pasalnya ia sangat tidak suka kalau suaminya selalu menyindir perihal pekerjaan yang dibawa ke rumah. Sebagai editor ia tahu, mustahil pekerjaannya bisa selesai di kantor. Sebab, pekerjaannya itu all-rounder alias banyak kerjaan yang dikerjakan, meskipun itu bukan jobdesk-nya.
Junghwan tertawa pelan. Mengusap rambut Doyoung dengan lembut. "Iya, paham. Aku cuma khawatir aja sama kamu yang kerjaannya banyak kayak gitu. Kalau kamu di rumah aja, aku nggak sekhawatir itu."
Doyoung menghela napasnya. "Jangan suruh aku resign sampai aku mau keluar sendiri," ucap Doyoung pelan.
Sebelah alis Junghwan terangkat. "Aku nggak nyuruh kamu?"
Laki-laki itu langsung mematikan kompor setelah masakannya matang. Ia menatap Junghwan dalam. "Dari setiap ucapan kamu itu, aku ngerasa kamu pengin aku keluar dari kerjaan ini. Kamu lupa? Aku editor, kepekaan aku terasah karena belajar buat memahami semua yang ada di sekitarku. Aku belajar buat merasakan hal yang ada di sekitarku."
"Dan aku selalu ngerasain itu dari setiap ucapan kamu. Kamu sendiri awalnya keberatan aku kerja, kan?"
Junghwan yang ingin membalas langsung terhenti ketika Doyoung menggelengkan kepalanya, lalu berkata, "Udah, mending kita langsung sarapan. Aku nggak mau obrolan kita makin panjang dan ngebuat mood kita berantakan."
Selama sarapan itu, Junghwan dan Doyoung hanya diam sembari menikmati makanannya. Tidak ada obrolan pagi yang mengisi meja makan itu dan juga tawa dari mereka. Keduanya saling menyelami pikirannya masing-masing dengan perasaan yang berbeda.
Doyoung dengan perasaan anehnya, dan Junghwan dengan perasaan bersalahnya. Junghwan sekilas menatap raut datar Doyoung, bukan bermaksud tidak ingin merubah suasana tegang ini. Namun, ia tahu, kalau dirinya kembali berbicara akan membuat perasaan Doyoung semakin memburuk.
***
20 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Still You [Hwanbby]
FanfictionJunghwan merasakan perubahan sikap Doyoung akhir-akhir ini. Sampai akhirnya ia sadar, perubahan itu membawa pada hubungannya yang terancam hancur. Lantas, apakah Junghwan mampu mempertahankan hubungannya? ••• Story BXB! Junghwan x Doyoung