The Flags

58 5 0
                                    

Chuuya melangkah begitu pelan, seolah tidak memiliki kepercayaan diri seperti yang seharusnya dia miliki. Tangannya tidak lagi berada di saku dan dagunya tak lagi terangkat layaknya lelaki angkuh Nakahara.

Meskipun begitu, pandangannya tidak pernah tunduk, netranya menatap lurus ke tempat yang dia tuju. Tangannya menggenggam erat buket bunga lily putih bahkan hingga kakinya berhenti untuk melangkah tepat di depan lima batu nisan yang tampak terawat.

Nakahara Chuuya mendapatkan cuti pertamanya sejak berakhirnya tragedi dengan Paul Verlaine dan kemampuan penghancurnya -𝘎𝘶𝘪𝘷𝘳𝘦. Dan sejujurnya, tidak ada yang bisa dia lakukan di hari liburnya saat ini. Tidak ketika orang-orang yang biasanya menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka dan senyum sumringah kini telah mencapai ending umum dari sebuah kehidupan dalam kegelapan.

Kematian.

Lelaki itu melipat kaki, duduk di depan batu nisan dengan nama-nama asing yang dia kenal. Orang-orang ini tidak begitu penting keberadaannya di mafia, Mori tidak akan repot-repot memberikan tempat peristirahatan layak untuk mereka. Nisan dan pemakaman mereka sama seperti pemakaman biasa, atau justru hanya dikuburkan begitu saja. Chuuya lah yang di kemudian hari akan mengunjunginya dan membersihkannya, mengingat bahwa mereka bahkan tidak memiliki siapapun yang dapat disebut keluarga untuk sekedar berziarah.

Chuuya adalah satu-satunya yang tertinggal.

"Selamat pagi." Chuuya mengucapkan salam, mengabaikan perasaan tajam pada tenggorokannya, "sudah sebulan berlalu sejak aku mengalahkan Verlaine. Kalian tahu, pria bajingan yang membunuh kalian ketika aku tidak ada di sana."

Lelaki bersurai senja itu kali ini menundukkan pandangan, mengingat bagaimana dia kembali hanya untuk menemukan tubuh tidak bernyawa teman-temannya. Badan sekarat Albatross yang dia peluk untuk pertama dan terakhir kalinya, jasad dingin Ice Man dan Piano Man, Nafas terakhir Doc, bahkan tubuh Lippmann yang jatuh, kenangan buruk itu terus berputar seolah menolak membiarkannya tenang.

Chuuya menghela napas, melepas topinya dan meletakkannya di pangkuan.

"Sebelumnya, aku bahkan tidak berani untuk mengunjungi makam kalian. Tidak ketika aku belum berhenti menyalahkan diriku atas kematian kalian. Maaf untuk itu."

Tangannya meletakkan masing-masing tangkai bunga lily putih pada lima nisan di hadapannya.

"Aku tidak pernah mengunjungi makam siapapun sebelumnya. Jadi aku tidak tau harus membawa bunga apa untuk kalian."

Mafioso itu dengan tenang membersihkan daun-daun kering yang jatuh di sekitar tempat peristirahatan sahabat-sahabatnya.

"Dazai bilang padaku bahwa bunga ini dinamakan sebagai lily putih. Bunga ini sering dikaitkan dengan hal-hal berbau keharmonisan dan kekeluargaan. Sesuatu yang sangat jauh dari definisi pekerjaan kita, katanya."

Dia membuka sebotol air minum yang dia selipkan di antara bunga yang dia bawa, lantas membukanya untuk kemudian menyiram satu per satu ujung batu nisan yang sudah pudar warnanya.

Chuuya menatap kelima makam yang sudah bersih, tersenyum simpul seraya lanjut berujar, "tapi tidak ada salahnya memberikan kalian setangkai bunga yang sangat menggambarkan kepribadian kalian, kan?"

Lelaki itu kembali duduk di tempatnya, menatap langit Yokohama yang mendung. Di atas sana, adakah dunia di mana mereka berenam baik-baik saja? Atau bersama Adam pun tidak masalah. Dunia di mana dia tidak selalu ditinggalkan, di mana dia pernah diprioritaskan.

"Oh ya, kalian tahu Adam? Laki-laki aneh yang menarikku dulu. Setelah kalian... dibunuh, Adam yang kemudian membantuku mencari tahu soal identitasku. Dia juga membantuku selama masa aku terpuruk akan kematian kalian. Yah, sampai sekarang pun aku belum dan tidak akan pernah benar-benar bisa lepas darinya."

Because we're friendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang