prolog; we meet

83 9 6
                                    

Ara, seorang gadis dengan rambut yang dikuncir dua itu menatap kosong sekeliling ruangan unit apartemen yang baru dihuni olehnya hari ini. Meskipun sudah pindah dari dua bulan yang lalu, rasanya sangat aneh saat dirinya memutuskan menetap.

Anggap saja Ara belum terbiasa. Mungkin juga efek dua bulan tinggal di rumah, segala hal yang seharusnya biasa menjadi kembali seperti baru pertama kali.

Karena belum terbiasa, Ara hanya butuh beradaptasi saja. Apalagi disini tidak sendiri, ada Vano yang bisa direpotkan selama 24 jam dan juga para tetangga yang mengisi setiap unit di lantai tujuh apartemen—tempat unitnya berada—yang sudah Ara kenal.

Semuanya hanya masalah waktu. Tidak ada permasalahan serius seperti di apartemen sebelumnya yang mengharuskan dirinya pindah kesini.

Ting! Tong!

Lamunan Ara buyar kala sebuah suara masuk ke dalam gendang telinganya. Ia pun bergegas mengecek layar intercom untuk melihat siapa yang datang berkunjung di sore menjelang malam minggu ini.

"Ara! We're coming!"

Ara tersenyum senang melihat siapa yang datang berkunjung. Ia pun membiarkan pintu unitnya terbuka lebar dengan senyuman yang tidak kalah lebar juga tentunya.

"Hai! Ayo masuk!"

Ara membiarkan kelima tamu yang merupakan tetangganya itu ke dalam. Dengan gesit ia menyuguhkan seteko jus jeruk dan beberapa toples penuh yang berisi berbagai macam jenis cemilan di meja.

Televisi pun sengaja dinyalakan untuk sekedar menambah riuh suasana mereka yang sebentar lagi akan meledak penuh kehebohan.

"Tadi lo nyampe jam berapa, ra?" tanya Gadis, cewek yang paling tua diantara mereka semua a.k.a ibu kita bersama itu membuka topik obrolan.

Ara yang baru duduk lesehan di karpet beludru berwarna merah yang memang sengaja dipasang di dekat sofa itu melirik jam arloji di tangannya. "Gak tau pasti jam berapa, tapi tadi Ara udah disini dari siang. Jadi sekarang baru banget selesai beresin baju," jawabnya.

"Dianter sama siapa? Sama kak Aga?" kali ini Raya yang bertanya. Cewek yang agak nyentrik itu sibuk mencicipi semua jenis cemilan yang Ara hidangkan sejak tadi. Tapi tidak luput membuatnya penasaran dengan perihal siapa yang mengantar Ara kemari.

"Enggak. Aku kesini sama Vano." Ara memberi jawaban acuh tak acuh sambil mengecek ponselnya yang berbunyi beberapa kali. "Kak Aga lagi bantuin bunda ngurusin klien," tambahnya.

"Lo deket banget kayaknya sama Vano." Elisa, cewek yang seumuran dengan Ara itu berseru sambil mengupas kuaci yang sejak tadi berada di dalam kuasanya.

Ara mendengarnya tertawa. "Bukan deket lagi, deket banget malahan," sahutnya.

"Betewe, malam ini kalian gak malam mingguan? Jalan-jalan ke pasar malam gitu sama—doi?" sekarang giliran Ara yang bertanya setelah dari tadi puas menjawab pertanyaan.

Zara, cewek jangkung yang paling muda di antara mereka, mendelik tidak karuan. Sedangkan tangannya tidak berhenti menjamah kembang goyang yang sejak tadi hanya dilihat-lihat.

"Boro-boro punya doi, bisa ngerjain tugas matkul tanpa stress aja udah syukur gue." Jawabnya langsung membiarkan satu keping kembang goyang itu masuk ke dalam mulutnya.

"Belum semester akhir gak ada apa-apanya," celetuk Raya yang langsung mendapat bogeman penuh kasih sayang dari Wilo yang duduk di sebelahnya.

Wilo, cewek yang—akhir-akhir ini—baru memotong rambutnya menjadi pendek itu tampak tidak puas dengan bogeman yang ia berikan kepada Raya. Pasalnya sebagai anak seni; stress adalah makanan utama setiap semester.

APARTEMEN MINGGUANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang