1.) Aku, Dia dan Luka

4.8K 281 26
                                    

1. Aku, Dia dan Luka

Disebuah acara pernikahan sahabatku. Kami, teman yang pernah seperjuangan akhirnya bisa berkumpul setelah sekian lama.

Disana aku sangat senang. Aku banyak melontarkan kata dan tertawa, seakan itu adalah hari yang sangat bahagia. Namun, mereka yang ada di sana justru terdiam saat melihatku tertawa dan berbicara tanpa henti.

Aku lantas bertanya dengan tatapan bingung dan canggung karena sikap mereka, "kenapa kalian diam?"

Beberapa dari mereka hanya menggelengkan kepala. Ada juga yang meminta untuk melanjutkan ucapanku yang sempat terpotong.

Tanpa berpikir panjang, aku kembali berbicara dan tertawa. Karena saking senangnya, aku sampai membuat lelucon yang berhasil membuat mereka ikut tertawa.

Akhirnya mereka semua tertawa. Ah, tidak. Ada satu laki-laki yang menatap datar diriku. Dia adalah yang paling dewasa diantara kami. Sejak itu aku baru tahu kalau dia menatapku dengan eskpresi seperti itu.

Aku yang tidak berhasil membuat mereka tertawa akhirnya bertanya, "kenapa kamu menatapku seperti itu?"

Pertanyaan yang ku lontarkan untuk laki-laki itu membuat mereka semua terdiam. Mereka menatapku sekilas kemudian menatap laki-laki itu.

"Kamu berubah lebih aktif. Padahal dulu kamu pendiam," kata laki-laki itu.

Aku langsung menjawab dengan senyuman lebar yang terpatri di bibirku, "bukankah itu bagus?"

Awalnya aku tersenyum lebar dan terlihat seperti manusia yang dipenuhi kebahagiaan. Namun, jawabannya sukses membuat senyuman itu luntur.

"Jangan sering dipendam. Sesekali luapkan agar hatimu tenang."

Di detik berikutnya, mereka semua menatapku. Aku yang tidak mau merusak suasana bahagia saat reuni di acara pernikahan sahabatku akhirnya kembali tersenyum lebar.

Namun sebelum aku berbicara, tiba-tiba dia menyela," aku senang melihatmu tertawa. Tapi ..."

"Jawab dulu pertanyaanku!"

"Lukamu semakin dalam ya?"

Pertanyaan itu berhasil membuatku panik. Namun sebisa mungkin aku mengendalikan diri supaya terlihat baik-baik saja.

"Luka apa sih? Bagus kan kalau aku udah nggak pendiam lagi? Aku udah sering ketawa sekarang."

"Bohong," sahutnya cepat sehingga seluruh atensi mata mengarah kepadanya.

Aku yang bingung lantas bertanya, "apa maksudmu?"

"Senyumanmu selebar Andromeda, namun tatapanmu sedalam palung Mariana."

"Senyumanmu mungkin bisa membohongi manusia, tapi tatapanmu selalu berkata jujur."

"Jujur bahwa senyuman lebar itu hanya pembalasan dan pelampiasan rasa sakit yang kamu pendam selama ini."

"Sekarang apa ... Lukamu semakin dalam?"

Tatapan iba mereka yang ada di sana seolah mengatakan hal yang sama. Hatiku tiba-tiba bergemuruh, sakit rasanya. Laki-laki itu lantas mendekat lalu menatap dalam wajahku.

"Mau cerita? Aku akan dengarkan semua ceritamu."

***

Aku selalu teringat dengan perkataannya yang mau mendengarkan semua ceritaku. Aku ingin, namun aku tidak bisa. Aku tidak terbiasa menceritakan semua masalahku kepada orang lain. Aku sudah terbiasa memendam dan menahan rasa sakitnya sendiri.

Malam itu, aku sedang rebahan di kamar pengantin, kamar sahabatku yang sering menjadi tempat kami bercerita dan tertawa bersama. Setelah dia sibuk dengan calon suaminya dan acara pernikahan, aku tidak lagi menghubunginya untuk mengeluhkan hidupku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Direct MeetingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang