35| Pulang Kampung

24 4 0
                                    

Satu minggu terlewati dengan perasaan yang sangat gila. Minggu kemarin satu sekolah disibukkan dengan ujian akhir semester. Dan tidak terasa satu semester terlewat begitu saja. Rasanya baru kemarin aku dan Luna bersorak senang usai melihat pengumuman kalau kami diterima di sekolah ini.

Tibalah hari yang paling dinanti. Hari pembagian raport. Aku tidak berharap lebih dengan hari ini. Lagi pula, aku sadar betul tidak terlalu maksimal dengan aktivitas belajar di kelas. Jika tidak ada tugas, aku lebih memilih belajar Astronomi daripada mengulang materi yang dipelajari di kelas. Entahlah aku tidak tahu, apa aku sudah cukup baik menentukan prioritas? Sejauh ini aku lumayan unggul di Astronomi. Bahkan di kelas Astronomi aku lebih baik daripada Luna yang notabene-nya siswa terpintar nomor dua setelah Suai Namun.

Suai Namun. Aku sedikit khawatir dengannya. Ketika minggu ujian saat semua orang sibuk belajar. Dia masih harus bekerja. Pernah satu hari aku tidak membantunya. Hari di mana esok ada ujian Kimia. Aku sangat lemah di pelajaran tersebut sehingga memaksaku untuk lebih lama di meja belajar. Malam itu hanya Miller yang membantu Suai Namun. Miller sangat menguasai Kimia, jadi menurutnya tidak apa melewatkan sedikit jam belajarnya hanya untuk membantu Suai Namun.

Aku dan Miller beruntung karena masih punya banyak waktu di siang dan sore hari. Sedangkan Suai Namun, siang dan sore harinya full membantu sang ibu. Tidak terbayangkan sama sekali jika Suai Namun bekerja sendirian di malam hari. Dia pasti pulang larut malam dan tidak punya waktu untuk belajar. Aku bersyukur bisa membantunya. Berkat bantuanku dan Miller, tepat jam 10 malam Suai Namun sudah bisa kembali ke asrama. Khusus minggu ujian, tidak ada jadwal mengunjungi pondok.

Untunglah minggu yang berat itu bisa kami lewati bersama-sama. Mental dan fisik berhasil kami jaga sampai hari terakhir di sekolah. Terutama Suai Namun. Tidak pernah lelah untuk mengatakan betapa kerennya dia. Di tengah aktivitas harian yang padat. Dia masih sanggup membuat satu sekolah kagum dengan pencapaiannya yang berhasil menyabet juara satu umum.

Selain Suai Namun. Luna juga cukup keren. Meskipun tidak mendapat juara umum. Dia berhasil juara dua di kelas. Sedangkan aku sendiri, harus puas di peringkat kelima. Tidak terlalu buruk. Setidaknya aku harus mempertahankan 10 besar agar peluang siswa eligible masih di tangan. Sangat tidak lucu jika berhasil mendapat mendali emas di olimpiade Astronomi, tapi ternyata tidak bisa mendaftar di jalur undangan karena tidak eligible.

Miller sendiri, dia berhasil masuk 10 besar di kelasnya. Namun, aku tidak tahu pasti di peringkat berapa dia. Peringkat satu pun sebenarnya masih masuk 10 besar. Benar-benar tidak bisa menebaknya. Namun, tunggu sebentar. Aku baru ingat Miller adalah orang paling tengil yang pernah aku kenal setelah Aldebaran. Kalau dia mendapat peringkat yang lebih baik dariku, sudah pasti dia akan sombong. Iya, itulah Miller. Jadi, aku dapat menyimpulkan peringkat Miller berada di antara 6 sampai 10.

Ngomong-ngomong tentang Aldebaran. Aku sangat merindukannya, dan sangat tidak sabar untuk bertemu. Penasaran siapa temannya saat aku tidak ada di rumah? Lalu, sejauh mana kemajuan hubungan Aldebaran dengan ibu guru tercintanya itu alias Kak Lina. Semoga anak itu cepat sadar dan mencari cewek lain. Minimal yang tingginya sama.

Aku berhasil menceklis semua barang yang perlu dibawa. Selain itu, aku juga yang bertanggung jawab untuk mematikan semua peralatan listrik. Miller sudah meninggalkan asrama beberapa jam lalu. Sedangkan Suai Namun, baru lima menit usai pembagian raport, langsung bergegas pulang ke rumahnya. Kali ini dia bisa bertemu ibunya tanpa harus lewat ruang rahasia.

Aku pulang sendirian. Luna tidak berencana pulang bersamaku. Katanya, dia mau menemani teman sekamarnya yang memutuskan untuk tidak pulang kampung. Teman sekamarnya lagi ada masalah dengan keluarga. Luna memiliki hati yang baik. Aku tidak yakin bisa melakukan hal yang dilakukan Luna, karena aku sudah sangat merindukan suasana rumah.

"Hati-hati di jalan," pesan Ayah dari sambungan telepon.

"Iya, Ayah," kataku sambil memilih playlist yang mau kuputar di sepanjang perjalanan nanti. "Ayah,  Ibu di mana?" tanyaku. Aku sangat bingung. Setiap kali Ayah menelpon pasti Ibu sering tidak ada di rumah.

"Semenjak kamu tidak di rumah. Ibumu jadi sering di luar. Sekarang saja dia lagi kumpul sama teman-temannya di warung bibi pinggir jalan itu. Masih ingat, kan?"

"Oh, begitu. Ya sudah aku matiin. Mau berangkat."

"Oh, oke. Hati-hati di jalan."

"Siap." Aku mematikan teleponnya dan menarik koper keluar. Tinggal satu langkah terakhir. Memastikan kalau pintu kamar terkunci dengan baik.

***

Leherku sangat sakit. Dua belas jam lebih di perjalanan. Aku sudah tidak sabar untuk cepat keluar dari mobil ini. Doaku terkabul begitu saja. Mobil yang kutumpangi langsung menurunkanku padahal belum sampai di depan rumah. Terpaksa aku harus berjalan dua ratus meter lagi. Sopir itu beralasan kalau dia sangat terburu-buru. Apakah dia lupa kalau aku sudah membayarnya dengan uang pas?

Mau tidak mau harus tetap jalan. Jalanku sangat pelan karena menarik satu koper dan menggendong satu tas besar. Di sepanjang jalan. Aku tak hentinya memperhatikan sekitar. Apa saja yang berubah? Namun, sepertinya tidak banyak. Hanya jalan yang kelewati ini tampak lebih mulus dari yang terakhir kulihat.

Mataku tertuju pada warung yang Ayah maksud di telepon. Warung itu tidak berubah sama sekali. Satu hal yang membuatku sangat bersemangat adalah, ada Aldebaran di sana. Dia sedang asik menyeruput es sambil menunggu bibi punya warung menggorengkan sosis untuknya.

"Aldebaran!" panggilku.

Aldebaran menoleh, dan segera berlari menemuiku. "Kak Eggy," katanya bersemangat.

Aku memperhatikan detail pada tubuh Aldebaran. Apakah dia bertambah tinggi setelah 6 bulan berlalu? Sepertinya bertambah sekitar dua sampai lima sentimenter.

"Lagi jajan?" tanyaku basa-basi.

"Iya. Sini aku yang tarik kopernya." Aldebaran merenggut paksa koper yang sedang kupegang. Dia berjalan mendahuluiku sambil membawa koper rampasannya

"Itu sosisnya tidak mau ditunggu dulu?"

"Nanti saja," jawab Aldebaran santai.

Aku mengejar anak keras kepala itu dan berjalan tepat di sampingnya. "Ibuku suka mampir di warung itu, ya?"

"Tidak tahu. Bukannya ibu Kakak sudah tidak di sini lagi."

Aku mengernyitkan dahi. "Tidak di sini?" tanyaku memastikan.

"Kakak tidak diberitahu, ya? Kata mamaku, ibu Kak Eggy sudah bercerai. Mangkanya dia tidak di sini lagi."

"Bercerai?"

"Iya," jawab Aldebaran. Tak lama kemudian dia terjatuh karena tidak sengaja tersandung batu. Aldebaran jatuh tengkurap dengan setengah kakinya tertimpa koper.

Aku berdiri mematung. Shock melihat Aldebaran yang jatuh tiba-tiba. Aku ingin menangis ketika melihat kondisinya. Sangat ingin menangis.

"Aku tidak apa-apa." Aldebaran sudah kembali berdiri. Tidak ada luka berarti pada tubuhnya. Sehingga dia memutuskan untuk kembali menarik koper dan melanjutkan jalannya.

Aku tidak merasa lega begitu saja setelah Aldebaran mengatakan kalau dia baik-baik saja. Aku masih tidak yakin. Bahkan setelah Aldebaran sudah jauh meninggalkanku. Aku masih diam mematung di tempat yang sama. Masih ingin menangis. Kenapa denganku? Apa yang membuatku seperti ini? Tentu karena Aldebaran. Aku sedang sangat khawatir padanya. Anak itu, pasti menyembunyikan luka di kaki dan telapak tangannya. Aku sangat ingin menangis.

Ibu, kau jahat sekali. Aku benci denganmu.

***

Vote and comment pleaseee!

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang