1. CAFE

5 1 0
                                    


📍 CAFE TAN

Denting lonceng berbunyi tandanya ada pelanggan baru yang memasuki cafe. Sosok perempuan bertubuh ramping memasuki cafe dengan setelan santainya dengan menjinjing tas laptop.

Melangkah ke depan kasir untuk memesan minumannya.

“Mbak Yani latte artnya satu.” ucap perempuan itu yang bernama Lavanya Anasera yang kerap dipanggil Sera. Seorang penulis yang sedang menyari inspirasi dengan datang ke cafe tersebut.

“Siap, ada lagi?” tanya Mbak Yani sembari sibuk meracik minumannya.

“Itu saja mba.”

Bola mataku menelusuri setiap jengkal cafe, gayanya yang klasik membuatku betah berada di ruangan ini.

Cafe TAN itu namanya entah kenapa namanya begitu, unik. Cafe ini bukan untuk kalangan kaum berkulit Tan ya, semua kalangan bebas kesini. Cafe ini terdiri 2 lantai, kata karyawan sini lantai 2 adalah kantor pemilik cafe. Namun aku belum berjumpa pemiliknya langsung sejak 2 tahun lalu aku nongkrong kesini.

Cafe TAN menyediakan indoor dan outdoor  yang bergaya klasik. Dan aku lebih suka berada di indoor duduk dipojok ruangan samping jendela itu adalah tempat favoritku menulis cerita.

“Mbak, Mbak, MBAK SERA.” teriak Mbak Yani sembari melambai lambaikan tangan di depan wajahku. Lamunanku buyar saat panggilan Mbak Yani berkali kali.
“Kebiasaan kalo udah nelisik suasana cafe ini selalu lupa daratan.” Cerocos Mbak Yani sambil meracik minuman pelanggan baru.

“Ya gimana ya mba, orang suasana cafe ini adem gini ngga ada bosan bosannya aku kesini padahal gayanya juga gak berubah. Tapi, aku rasa rasanya ngga bakalan berhenti kagum sama instruktur cafe ini. Konsepnya tuh ngga ke makan tahun tau Mba.” Ucap Sera panjang lebar sambil menyesap lattenya.

“Siapa dulu bossnya, orang boss nya tak lain tak bukan desainer interior.” bangga Mbak Yani

“Udah sana sana ke pojok, kamu ngalangin jalan tau,” lanjut Mbak Yani

“Padahal aku disamping sini ngalangin jalan bagaimana, bilang aja Mbak Yani mau melipir ke dapur ngapelin Mas Satria.” ujar Sera sembari melangkahkan kaki ke pojok ruangan, tempat favoritku.

“Biarinlah orang itu suami suami aku wlee.” teriak Mbak Yani, aku menengok sekeliling, sepi. Pantas saja Mbak Yani berani berteriak.

Jam baru menunjukkan pukul 10 pagi, yang artinya di jam jam segini masih jarang ada pelanggan. Sore sampai malamlah waktu sibuk sibuknya cafe.
Jalanan kian ramai banyak orang berlalu lalang, mulai dari ibu ibu yang sedang ke pasar sampai anak anak yang baru pulang sekolah.

Oh iya cafe ini berdiri dekat dengan sekolah dan kampus, tak jarang banyak anak sekolah yang berlalu lalang.
Kududukkan tubuhku ke bangku sambil menaruh tas laptop di bangku samping. Sekarang saatnya aku bekerja.

Ku nyalakan laptop dan mulai mengetik karena ide sudah mengalir.
Berjam-jam sudah ku lalui, tapi aku baru dapat sepuluh chapter.

Huh rasanya suntuk. Aku Menoleh ke arah jendela, ternyata cuaca sudah berubah awan mendung telah datang padahal tadi cuaca sangat cerah. Aku mengambil sebuah buku yang terdapat di samping jendela, cafe ini memang menyediakan fasilitas berupa buku yang berada di setiap pojok ruangan. Aku bergegas membaca ditemani semilir angin kencang yang menyejukkan.

☕☕☕

Sebuah ruangan lebih tepatnya kamar terdapat sosok perempuan yang sedang bergelung manja di kasur single-nya.
Matahari sudah tenggelam di gantikan oleh sang bulan yang memancarkan cahaya terangnya. Namun, sosok perempuan yang tak lain Sera masih bergelut di alam mimpinya sebelum teriakan di luar rumah membangunkannya.

“SERA HUJAN, BAJUMU INI MAU KAMU HUJAN HUJANKAN.” teriakan membahana milik tetangga samping membangunkannya dari mimpi indahnya.

Sera terjengkit kaget saat suara keras milik tetangganya.

“ashadu jemuranku,” Sera tergesa-gesa berjalan keluar guna mengangkat jemurannya dan disambut ibu tetangga samping rumah yang meneriakinya tadi sedang membantu mengangkat jemurannya.

“Kamu ini Sera kebiasaan kalo nggak dipanggil dua kali nggak bakalan keluar.” cerocos ibu tetangga yang bernama Ibu Sri.

“Ya maaf, Bu. Tadi Sera kebablasan tidur hehe.” Sera cengengesan sambil mengangkat jemuran yang masih tersisa.

“Bukan kebablasan tapi memang kebiasaan aishh. Ini Ibu taruh di kursi teras ya, Ibu mau nganterin anak Ibu ngaji ke buru hujannya gede.” Ujar Ibu Sri lalu melangkahkan kakinya menuju rumah.

“Iya Bu. Terima kasih.” jawab Sera sembari melangkahkan kaki ke dalam rumah setelah mengambil semua baju yang berada di kursi teras karena hujan kian deras.

“Hufft tanganku rasanya sakit semua perkara tadi buru buru bangun dan langsung melakukan aktivitas, ototnya pasti belum bekerja tapi harus dipaksa bekerja.” Prihatin Sera melihat telapak tangannya yang mmemerah.

Sera melangkahkan kaki nya kedapur untuk melihat apakah masih ada stok makanan simpanannya. Sera tipe orang yang sekali masak langsung banyak dan disimpan untuk beberapa hari kedepan. Apalagi Sera tinggal sendiri makin menjadi-jadi sifat malasnya, apalagi hanya untuk sekedar masak. Walau begitu Sera rajin untuk membereskan rumah, setiap jengkal rumahnya terdapat aksesoris tambahan yang tersusun rapi.

“Sisa sambal, bisa mulas aku makan sambal di malam hari.” Sera membuka kulkas terdapat beberapa sayuran dan telur. Sera mengambil kubis dan telur untuk dijadikan orak arik telur kubis. Siap berperang dengan peralatan dapur.
Masakan sudah jadi Sera pun langsung menyantapnya.

“Enak, tapi masih enak masakan Ibun.” mengguman pelan sembari menguyah.

“Kapan ayah dan ibun kesini, aku udah kangen berat sama kalian. Biasanya juga 2 bulan sekali kesini tapi udah 4 bulan belum jenguk aku.” Suasana kian melankolis sesaat setelah Sera berucap seperti itu.

Makanan pun tandas Sera langsung membersihkan alat masak yang digunakan nya tadi.

Mandi. Itulah yang dipikirkannya.
Sera pun melangkahkan kakinya menuju pintu samping dapur yang tak lain tak bukan toilet.

***

Disinilah Sera berada di dekat jendela dalam kamarnya yang terdapat meja kerjanya dengan laptop yang menyala.
Suara keyboard yang diketik kian cepat menjadi alunan musik sendiri di malam hari.

Sesaat sebelum Sera tidur dia teringat ada naskah yang belum di garapnya sampai selesai yang mana deadline-nya itu besok jam 3 sore.

Mumet, satu kata untuk Sera sekarang. Keadaan Sera saat ini memprihatinkan, rambut yang kusut padahal beberapa menit yang lalu baru keramas dan meja kerja yang berantakan kertas kertas yang berisi ouline berhamburan.

Kenapa dia harus lupa sih, malah tadi pagi dia bikin cerita baru.

Aku kira naskah yang ini udah selesai eh ternyata setengah nya aja belum. batin Sera nelangsa lalu menelungkupkan wajahnya diatas meja setelah laptop dan alat yang lain sudah dibereskan.

Detik demi detik kian berjalan cahaya bulan sudah tergantikan oleh cahaya mentari. Namun, Sera masih tetap tertidur pulas di atas meja kerjanya.
Cahaya mentari kian masuk melalui celah-celah jendela yang semalam tertutup gorden.

Mata Sera pun akhirnya terbuka setelah cahaya matahari menyilaukan retina mata Sera. Karena posisi tidur Sera menghadap ke jendela.

Matanya langsung melotot kaget sembari bibirnya berteriak,

“NASKAHKU.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mas Barista Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang