38| Toilet Umum

72 5 0
                                        

Kelas Astronomi telah lama berakhir, tetapi aku dan Luna tetap setia di dalam ruangan. Sedang sibuk membahas beberapa soal. Di sini akulah yang berinisiatif mengajak Luna, karena sepanjang kelas tadi aku tidak cukup fokus ketika Pak Munzir menjelaskan. Pikiranku selalu mengawang ke mana-mana.

Di ruangan ini hanya ada kami berdua. Rival selamanya tidak akan pernah sudi menghabiskan waktu lebih lama bersama kami. Usai Pak Munzir keluar dari ruangan, dia pun bergegas pergi. Meskipun dia tidak menunjukkan minat belajar bersama kami. Sejauh ini Rival sudah banyak berkembang. Di kelas tadi hanya dia yang mampu menjawab pertanyaan langsung dari Pak Munzir. Sepertinya dia belajar keras tanpa mau dilihat oleh orang lain.

Tidak ada di antara kami yang tidak menginginkan satu kursi itu---mewakili sekolah ke tingkat kabupaten. Wajar semuanya tampak berjuang keras akhir-akhir ini. Itu karena dua hari lagi kami akan menghadapi evaluasi terakhir. Evaluasi yang sangat menentukan.

Luna dan Rival sudah sangat berkembang. Sedangkan aku masih saja stagnan. Di evaluasi sebelumnya saja Luna sudah hampir menyusulku. Aku benar-benar takut di evaluasi terakhir nanti. Ditambah, saat sedang belajar aku sering kehilangan fokus. Banyak sesuatu yang menggangguku. Rasa sedih karena perceraian kedua orangtuaku sama sekali belum berkurang. Sekarang bertambah beban pikiran baru, ejekan Rival kemarin.

"Kamu sudah sangat hebat, Eggy," kata Luna. Sama sepertiku, dia tengah merapikan alat tulisnya.

Aku menutup buku coretanku. Padahal belum menghabiskan waktu satu jam pun, tetapi kegiatan belajar yang kami lakukan sudah berada di penghujung. "Hebat kenapa?" Aku memasukkan buku ke dalam tas.

Luna yang tadi berdiri sambil menenteng tasnya kini duduk kembali. "Karena sudah memutuskan untuk bertahan sampai sekarang."

Hatiku menghangat mendengar apa yang diucapkan Luna. Walaupun meninggalkan beberapa tanda tanya. Apakah wajahku tampak seperti orang depresi? Jangan-jangan dia tahu kalau aku pernah sengaja menjatuhkan diri ke sungai. Ah, itu mustahil. Paling tidak Luna hanya mengetahui secuil masalah keluargaku. Tapi Luna, kan tidak pulang kampung kemarin? Yang benar saja barangkali dia tahu dari Kak Lina. Entahlah apa alasan Kak Lina menceritakan masalahku itu pada Luna.

"Terima kasih," kataku.

Aku dan Luna meninggalkan ruangan. Berjalan bersama turun hingga ke lantai dasar. Di sepanjang jalan, masih banyak siswa yang lalu-lalang. Terutama di lantai satu. Anak-anak kelas olahraga memang lebih aktif di sore hari. Langkahku dan Luna terpaksa berpisah ketika dihadapkan pada dua lorong dengan arah berbeda. Aku akan pergi ke lorong sebelah kiri menuju asrama putra.

"Sampai ketemu dua hari lagi di kelas Astronomi. Semangat!" Sambil tersenyum. Luna mengangkat salah satu tangannya yang dikepal erat.

"Kamu juga."

Aku dan Luna berpisah arah. Kemudian melanjutkan perjalanan. Saat di jalan, aku merasa ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Sehingga berpikir untuk mampir sebentar ke toilet umum.

Toilet umum hanya ramai jika ada kunjungan orangtua. Jarang ada anak asrama yang memakainya. Anak asrama hanya akan memakai toilet umum jika toilet di kamar mereka ada masalah dengan air, atau bisa juga karena sedang malas mengantre dengan teman sekamar.

Setiap kali aku mampir ke toilet umum. Biasanya memang tidak ada orang. Namun, ada sedikit perubahan hari ini. Di depan pintu toilet. Ada Rival, bersama salah satu temannya yang berbadan pendek itu. Sedangkan Miller sendiri, tidak kulihat batang hidungnya. Mereka berdua melipat tangga di depan dada sambil bersandar pada dinding di dekat pintu toilet. Berlagak seolah penjaga toilet yang perlu dibayar 2.000 rupiah.

Aku terus melangkah dengan mantap. Pandangan lurus tak tergoyahkan. Meneriakkan dalam hati kalau dua orang di depanku itu bukanlah halangan berarti. Sungguh di luar dugaan. Saat melintas di depan mereka. Semuanya berlangsung sangat cepat. Rival menendang kakiku. Aku terperosok ke depan hingga tidak sengaja menimpa ember berisi air pel. Air pel yang baunya sangat menjijikkan itu mengalir membasahi sebagian tubuhku.

Mencoba berdiri, tetapi sulit karena kaki yang terasa sakit. Aku hanya mampu membalikkan badan. Sekarang aku terlentang menghadap langit-langit. Tidak bisakah langit-langit itu langsung runtuh begitu saja. Bunuh aku dan dua orang menjijikan yang sedari tadi tidak berhenti tertawa itu.

Salah satu pintu toilet yang tak terlalu jauh dariku berderit terbuka. Ada Miller yang baru keluar dari sana. Aku tidak bisa mendeskripsikan ekpresi wajahnya ketika sedang menatap kondisiku yang menyedihkan ini.

Miller tidak berusaha membantuku. Dia mengalihkan pandangan. Lebih memilih berjalan mendekati dua temannya itu. Melihat dia yang tidak peduli sama sekali. Kini memaksaku untuk berdiri dengan usahaku sendiri. Ternyata tenagaku masih belum cukup, tapi setidaknya aku sudah berhasil duduk.

Masih dalam kondisi terduduk. Aku mengamati punggung mereka bertiga yang sedang berjalan meninggalkan toilet. Namun, belum juga terlalu jauh. Miller secara tiba-tiba langsung memukul wajah Rival. Badan tegap Rival membentur dinding. Rival langsung berdiri dan membalas dengan satu pukulan telak yang langsung mengenai hidung Miller. Miller terjatuh ke lantai.

Melihat Miller yang tak bergerak lagi. Rival melompat dan menindih tubuh lawannya itu. Dan dengan membabi-buta langsung memukuli wajah Miller. Meskipun mereka sama-sama tinggi, tetapi terdapat perbedaan berat badan di sini. Miller tampak kesulitan. Beruntung satu pukulan Miller berhasil meninju dagu Rival. Rival seolah kehilangan setengah kekuatannya dan tak sengaja membiarkan Miller terlepas dari dominasinya.

Kini Miller sudah kembali berdiri. Selanjutnya, mereka kembali bergulat di lantai. Hanya saja tidak ada yang kelihatan menang di sini. Mereka bertarung hebat. Menggelinding ke sana ke mari.

Tak lama kemudian. Datang dua guru laki-laki yang berupaya memisahkan mereka. Dari belakang, muncul pria pendek jamet yang tadi menertawaiku. Pantas aku tidak melihatnya dari tadi. Ternyata dia habis melaporkan perkelahian ke ruang guru. Kerja bagus.

Usaha para guru untuk memisahkan mereka tidaklah mudah. Pertarungan masih berlanjut sekitar tiga menit, sebelum akhirnya baru berhasil dipisahkan. Rival dan Miller dibawa ke ruang guru sambil dibopoh. Mereka berdua tampak mengenaskan. Kaki pincang, wajah lebam, pakaian putih yang kusut dan juga sangat kotor.

Salah satu guru perempuan yang baru saja tiba menyadari keberadaanku. Dia sedikit panik dan langsung berlari ke arahku. "Kamu tidak apa-apa?"

Aku berusaha berdiri, tetapi percuma. Akhirnya dibantu oleh guru tersebut. "Kakiku sedikit sakit," jawabku.

"Kita ke UKS, ya. Ini ada hubungannya sama mereka?" tunjuk guru tersebut.

"Iya. Salah satu dari mereka ada yang sengaja menendang kakiku."

Guru muda yang seumuran Kak Lina itu mengangguk prihatin. Dia membopohku keluar dari toilet. Aku jadi tidak enak. Baju guru tersebut jadi kotor karena bersentuhan denganku.

Aku tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Kenapa Miller tiba-tiba memukul Rival? Sebenarnya aku punya sedikit gambaran, tetapi masih belum terlalu yakin. Apa benar tindakan Miller itu ada hubungannya denganku? Aku rasa juga begitu. Sebenarnya Miller orang yang sangat baik. Namun, karena beberapa alasan yang sama sekali tidak kuketahui. Dia terpaksa harus tunduk di hadapan Rival. Sekarang, sepertinya Miller sudah lantang memberontak. Entah apa ganjaran besar yang akan diterimanya.

***

NEBULA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang