Bisik-bisik jahat itu terdengar nyaring sampai pada telinga Rimbun. Tatapan dari sudut-sudut mata mereka demikian tajam, pun seringai tipis di balik tirai jari-jemari mereka tampak begitu jelas.
Kelas ini terlalu sepi bagi penyendiri. Ramai-ramai yang berisik itu hanya menjadi duri di ruang Rimbun yang sempurna hening. Hanya tersisa suara degup jantung yang berulang, dan suara isak tangis yang dipaksa bungkam–ditutup label yang diciptakannya sendiri, "Rimbun kuat. Mereka tidak pantas ditangisi".
Jam sekolah usai, semuanya pulang. Rimbun membawa tas sekolahnya yang berat, melangkah menuju parkiran, lalu menuntun sepeda usang warna jingga dengan tangan. Tidak ada yang mengucapkan "selamat tinggal, sampai jumpa" di hari terakhirnya sekolah. Iya, besok dia tidak akan datang lagi. Tidak ada perpisahan yang mengharukan, Rimbun juga tidak berharap banyak.
Awalnya dia pikir demikian.
"Rimbun, tunggu!" teriakan itu membuat Rimbun yang hendak melangkah ke luar pagar terhenti. Sungguh Rimbun tidak mengerti, kenapa pula anak laki-laki itu bersedia berteriak nyaring menyebut namanya? Bukannya anak itu hanya akan dikucilkan jika terlihat berteman dengan seseorang yang tidak punya kehebatan?
"Rimbun, aku mau masuk universitas X. Kamu juga kan? Nanti kita ketemu lagi ya?" Aslan–nama anak laki-laki itu–berdiri tiga langkah di depan Rimbun yang sempurna kaget.
"Ha? Oh..." Rimbun salah tingkah, bingung hendak menjawab apa. Baginya itu pernyataan yang kekanak-kanakan. Rimbun tahu persis bahwa masa depan tidak pasti akan bagaimana, dia keberatan untuk menjanjikan sesuatu yang tidak tau bisa dilakukan atau tidak. Apalagi dia harus berjanji pada anak yang hanya dia ketahui namanya dan fakta bahwa anak itu satu kelas dengannya.
"Ya?" Aslan bertanya, menunggu jawaban. Berharap.
"Maaf? Ah, iya aku pengen sih ke universitas X. Tapi itu masih lama kan? Kita masih kelas dua SMP. Aku nggak bisa janji kita bakal ketemu di sana, Aslan" Rimbun setengah nyengir–terpaksa.
"Ah... iya sih. Semoga kita bisa ketemu lagi. Aku denger kamu pindah sekolah ya?" Aslan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Rimbun menatap wajah anak itu lima detik, lalu matanya melesat, berpindah menatap langit. Sesekali menatap daun-daun yang bertengger di pohon, atau menatap name tag anak di depannya. Dia deg-degan, tidak terbiasa diajak bicara.
"Oh.. Iya" Rimbun sedang menerka-nerka alasan Aslan menghentikan langkahnya menuju rumah, menebak-nebak dari mana anak itu tahu dirinya akan pindah sekolah, mengira-ngira maksud dari semua ucapannya.
Ah, pastilah dia tahu, wajar saja, kami kan satu kelas?
"Aku nyesel banget ga pernah ngobrol sama kamu, maaf ya! Selama ini aku sakit-sakitan terus sih... hehe, jadi jarang masuk sekolah. Tadi juga aku seharian tiduran di UKS, jadi nggak sempet ngobrol. Ah, padahal aku juga harus persiapan buat olimpiade bulan depan. Kamu pindah ke mana, Rimbun?" Aslan tersenyum tipis.
"Ehm... Aku nggak tau bakal sekolah lagi atau nggak"
"Eh?" Senyuman Aslan berubah datar, alisnya mengernyit.
"Iya. Aku pulang ya" Rimbun buru-buru keluar gerbang, menaiki sepedanya. Dia tidak mau bercerita panjang lebar. Dia juga tidak mau merepotkan Aslan, khawatir anak-anak di kelas akan mengganggunya.
Sepeda Rimbun melesat cepat. Tidak pernah terbayangkan, Aslan justru lari mengejar. Kakinya berlari kuat-kuat, mulutnya berteriak tanpa balas.
"Rimbun, sehat-sehat ya!"
"Semoga kita bisa ketemu lagi lain waktu!"
"Namaku Aslan Wijaya, jangan lupa!"
"Aku selalu berdoa semoga kamu bahagia, Rimbun!"
"Dadaaah, aku udah ga kuat lari nih wkwkwk"
Napas Aslan tersengal-sengal. Dia berhenti berlari, membiarkan Rimbun pergi.
Di atas sepeda jingga, Rimbun berusaha tega untuk tidak memutar balik. Sungguh Rimbun tidak mengerti kenapa Aslan sampai lari-lari segala. Mereka tidak dekat.
Dengan napas yang putus-putus, Aslan tersenyum tipis. Tubuhnya membungkuk, tangannya bertumpu pada lutut. Matanya berkaca-kaca. Hal yang tidak Rimbun tahu hari itu, Aslan berbisik dengan sungguh, dengan suaranya yang pelan namun tegar, dengan penuh harap.
"Aku masih mau hidup."
Kalimat harap itu melesat, menyatu dengan bisik angin yang lembut.
***
Rimbun pulang, buru-buru pergi ke kamar. Dia lagi-lagi mengabaikan kakaknya yang juga baru pulang, meletakkan sepatu di rak. Mungkin ini hari ke tiga ratus lima puluh Rimbun berusaha sedikit memberi jarak pada kakaknya.
"Kamu marah, Rimbun?" Pertanyaan kakak tiga ratus lima puluh hari yang lalu.
Yang ditanya hanya menggeleng. Tersenyum tipis.
"Ok"
Lambat laun sikap Rimbun dinilai keluarganya normal-normal saja di usianya. Dianggap anak puber, emosinya tidak stabil. Keluarga kecil itu sempurna tertipu, Rimbun masih terluka. Tapi dia menyembunyikannya rapat-rapat, tidak ada yang akan mengerti.
Sebulan setelah hari itu, Rimbun minta pindah kamar. Dia tidak mau sekamar dengan kakaknya lagi. Ini juga dianggap biasa, ibunya tidak keberatan. Ada satu kamar kosong di rumah itu. Bisa dirapikan untuk Rimbun.
Sungguh, Rimbun hanya ingin menangis dengan leluasa. Dia kecewa. Kakak yang paling dia banggakan ternyata jahat sekali. Diam-diam mengambil uang dari lemari Tante Nur–adik ibu mereka–lantas menyalahkan Rimbun atas perbuatannya. Dari mana Rimbun tahu? Awalnya dia memang tidak tahu.
Kakaknya bekerja sama dengan sepupu perempuan yang jago bersilat lidah–anak tertua tante Nur.
Dua lawan satu. Rimbun berusaha menjelaskan itu bukan dia, berusaha mengatakan "Tante bahkan nggak akan nemu uangnya di sakuku" lantas dengan ajaib ada yang meletakkan lima ratus ribu itu di dalam buku yang awalnya memang sedang dibaca Rimbun–yang akhirnya dia tahu itu perbuatan kakak dan sepupu perempuannya. Rimbun melihat keduanya bersorak girang, mendengar bisik-bisik syukur "Untung nggak ketahuan" dari celah kecil tirai jendela.
Iya, Rimbun menyerah. Dia memilih diam, mendengarkan omelan-omelan tajam Tante Nur, juga cubitan yang membuat lengannya ruam. Dan dengan wajah tanpa dosa, esok harinya sang kakak bertanya; apakah adiknya marah?
Rimbun hendak mengamuk, tidak, hatinya sudah mengamuk sejak kejadian itu. Namun riak wajahnya tidak berubah, dia memilih menggelengkan kepala, tersenyum tipis, memberi isyarat dia baik-baik saja.
Bohong. Tentu dia kenapa-napa. Siapa yang baik-baik saja jika sisa hidupnya dicap sebagai pencuri padahal bukan?
Omelan-omelan itu tidak berhenti di sana. Saat pulang, Ibu ceramah panjang lebar, ekspresinya marah, kecewa. Wajah bapak yang sejak awal dingin semakin dingin. Untungnya, ceramah dan wajah dingin itu berhenti satu pekan setelah kejadian.
Kakaknya tidak tahu bahwa Rimbun mengetahui rencana jahat itu. Kalau kakaknya tahu, pastilah dia tidak akan berpura-pura perhatian, bertanya apakah adiknya baik-baik saja.
Tidak ada yang tahu cerita sebenarnya, dia menyerah untuk menjelaskan. Tidak akan ada yang percaya.
Rimbun itu pembohong. Dia pandai betul pura-pura tidak peduli, terlihat tidak tertarik dengan hal lain selain dirinya. Dia juga ahli dalam menyembunyikan perasaan-perasaan sedih, kecewa, luka, dan benci yang menyeruak di dadanya.
Tapi sepintar-pintarnya Rimbun berbohong, ada orang-orang yang pandai sekali membaca. Orang yang mampu mengaitkan tanda-tanda, jago menebak-nebak dengan cara yang sulit dijelaskan. Entah kapan kebohongan Rimbun terbongkar, hari itu pasti akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Stop Sign
General FictionAda beberapa titik di perjalanan panjang yang menyeru kita untuk berhenti. Tanda-tanda itu ada, namun barangkali kita terlalu sibuk dengan hal lain, lantas tanda itu lewat begitu saja. Ada waktunya kamu harus berhenti. Siapa lagi yang bisa benar-be...