Menyesal?

10 0 0
                                    

Sudah tiga tahun dan aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk perpisahan kita. Rasanya itu tak apa, kau pergi dan akhirnya membangun keluarga kecilmu, sedang aku di sini menata masa depanku sendiri. Aku tidak menyesali apapun atas perpisahan kita tiga tahun lalu. 

FM, aku selalu memanggilmu seperti itu, hanya inisial dan hanya aku yang melakukannya. Hal yang tidak pernah kuinginkan sejak tiga tahun terakhir adalah bertemu denganmu dalam ketidak sengajaan apapun di duni ini. Rasanya tidak ingin saja, tidak tau kenapa. Sayanganya garis takdir tetap mempertemukan kita kembali di ketidak sengajaan ini di sore yang mendung ini.

"Benar kata Fazal, kamu memang rutin berolahraga." Begitulah sapaan pertama yang kuterima dari istrimu.

Kau datang mendekat, menggendong gadis kecil yang sepertinya belum lancar berjalan. Aku yakin itu anakmu. Aku sedikit bingung, istrimu menyapaku? Oh apakah aku abadi menjadi luka yang kau ceritakan pada keluargamu? Aku merasa sedikit buruk untuk itu.

"Apa kabar Lea? Aku Hana." 

Kau tau, aku sangat yakin jika perempuan yang mengulurkan tangan padaku ini adalah istrimu. Tapi kenapa? Apakah kehadiranku mengganggu kalian?

Kujabat uluran tangan yang diarahkan kepadaku, Hana memelukku sebentar, lalu mengajak ku duduk bersamanya. Kau membawa anakmu untuk bermain sedikit menjauh dari kami. Kulihat Hana melihat kalian dengan tatapan bangga.

"Kau mengenalku?" Tanyaku untuk pertama kalinya.

Hana tersenyum padaku, "Satu bulan yang lalu kami ke sini untuk pertama kalinya setelah pindah ke kota ini, aku pernah melihatmu di salah satu foto Fazal saat masih kuliah. Dia tidak menyapamu, tapi bercerita siapa kamu di dalam hidupnya."

"Aku baik atau menjadi tokoh antagonis dalam cerita suamimu?" Tanya ku sambil tersenyum pada Hana.

Hana berpikir sejenak, lalu kembali tersenyum padaku, "hubungan kalian baik-baik saja, tapi kenapa kau meninggalkannya?"

"Tidak, itu keputusan kami berdua. Kami berakhir secara baik-baik saja." Bantahku, tentu saja aku tidak meninggalkannya, itu keputusan kami berdua pada saat itu.

"Hubungan yang berjalan tiga tahun, berakhir di hari wisudah setelah merencanakan masa depan dengan matang. Ku dengar kau sangat memksakan perpisahan itu lalu kalian berakhir dengan baik. Tetap saja kan, kau memaksa itu berarti kau meninggalkannya?"

"Kau cemburu?" Tanyaku, Hana terdiam untuk beberapa saat. matanya beralih pada anak dan suaminya. Fazal yang sedang melepas anaknya untuk bejalan sendiri di rerumputan, dengan sigap setelah beberapa langkah menangkap anaknya dan menggendongnya setelah berhasil dengan beberapa langkahnya.

Hana kembali menatapku, "rasanya perasaan itu tidak perlu." Hana diam kembali.

"Tapi keputusanmu hari itu, telah membentuk suamiku menjadi seperti sekarang. Aku sudah cukup lama mengenalnya sebagai teman sekolahku. Tapi setelah denganmu, dia menjadi seorang yang penuh pertimbangan. Jika ingin mengambil keputusan, selalu bertanya secara berulang kepadaku."

Aku tidak pernah membayangkan itu akan terjadi. Untuk pertama kalinya aku menyesali keputusanku tiga tahun yang lalu. Benar kata Hana, aku memaksakan perpisahan kami.

Aku tidak tau bagaimana menanggapi Hana sekarang. Beruntungnya wanita itu tidak menuntut responku. Hana berdiri, meninggalkanku dan berjalan ke arahmu. Kalian menikmati waktu bersama. Tapi saat kuputuskan untuk berdiri dari tempat dudukku, kau datang menghampiriku.

"Apa kabar?"

"Baik seperti yang kamu lihat."

"Kamu pasti bugar, kebiasaan olahragamu ternyata masih sama seperti dulu."

Lalu kami diselimuti diam. Kau menatap ke arah istri dan anakmu. Aku tentu saja juga memandangi mereka.

"Aku sudah terima undangan dari Akram, semoga kalian selalu bahagia. Kau tau, akhirnya cinta sahabatku disambut juga olehmu. Aku tidak jadi menertawakan hari patah hatinya di hari pernikahanmu." Kau menertawai calon suamiku.

"Kau tidak akan datang ke pernikahan kami?"

Kau kembali menatap dua perempuan paling berhargamu, menunduk lalu sedikit tersenyum, "akan kulihat nanti, jika keadaannya memungkinkan aku akan datang."

"Kau menemui orang tuaku dua hari sebelum hari wisudah ku tanpa sepengetahuanku kan?"

Kau hanya menatapku.

"Kau tau perbedaan latar belakang keluarga kita cukup jauh, kau datang menemui keluargaku tanpa sepengetahuanku."

Kau diam, iya, masalahnya memang ada di latar belakang keluarga kita.

"Keluargamu terpandang dan disegani, sedang aku orang tak berpunya. Harusnya aku tidak melakukan itu, harusnya aku sadar diri sejak awal."

"Lalu apa yang kau dapat? Kakek ku menolak mu bukan? Bahkan karena tindakan cerobohmu itu, kau hampir kehilangan mata pencaharian mu satu-satunya sebagai buruh di tempat ayahku. Kau tidak pernah memikirkan resiko dari langkahmu."

Beberapa detik kami diselimuti diselimuti diam. Aku melanjutkannya, "jika kita memaksakan diri kakekku tidak akan menghargaimu, keluarga besarku hanya akan memandang rendah dirimu seumur hidupmu. Kita harus sama-sama bahagia, tapi bersama itu tidak lagi menjadi pilihan. Tetap perpisahan yang harus kita menangkan."

"Zal, bukan salahmu atas hubungan yang kita bangun sejak awal. Hanya saja duniaku akan menyiksamu, mungkin lingkunganku sendiri yang akan menjadi bencana bagimu."

"Hmm kau benar, keluargamu sangat keras. Ayahmu bahkan sangat keras padaku, sampai hari ini."

Hal ini yang tidak aku ketahui, ku kira semuanya sudah berakhir. Ku kira kau sudah bebas dari keluargaku.

"Ayahmu terus memaksaku bekerja, katanya aku harus memberinya kepercayaan penuh. Dia menuntutku siang dan malam. Sayangnya kepercayaan beliau kepadaku malah berbanding terbalik denganmu. Sampai sekarang ayahmu sangat keras kepadaku. Memaksaku menjalankan bisnisnya karena tak ingin aku mengecewakan. Cabang barunya yang membawaku ke kota ini. Beliau menanggung keluarga kecilku untuk membayar kepercayaan yang beliau berikan sejak awal kepadaku. Rasanya berat, tapi aku sangat berterimakasih."

Kau berdiri meninggalkanku menuju keluarga kecilmu itu. Menunggu langkah demi langkah anakmu yang semakin panjang. Berjaga ketika dia akan jatuh. Aku bersyukur, karena sampai kau meninggalkan taman kota ini lebih dulu dariku, kalian tidak sekalipun menoleh ke belakang untuk melihatku. Sekali lagi aku tidak menyesali keputusan perpisahan yang telah kita pilih tempo hari.

~ ~ ~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang