Edelweiss: Menyapa Lembaran Lama.

6 1 0
                                    

Berdiri di puncak bukit, tempat yang dulu dipenuhi oleh begitu banyak kenangan indah, merupakan hasil dari pertimbangan yang panjang. Angin sepoi-sepoi membelai wajahku, menciptakan aura nostalgia yang semakin dalam. Di tanganku, kamera yang dulu menjadi barang favoritku dan Seokmin, kini terasa lebih berat karena muatan emosional yang terlalu sulit untuk diingat.

Album foto dan CD video yang dahulu dipenuhi oleh senyuman kami, sekarang menjadi sebuah barang sakral dari perpisahan yang menyakitkan. Aku meraba setiap halaman album itu, menemukan jejak langkah kami yang pernah bersama, tertuang manis dalam setiap gambar.

"Shua, coba lihat sini." Kamera itu menangkap senyumku dengan rangkaian gelang yang baru setengah jadi. "Ih, aku belum siap tau."

"Tetap cantik, sayang. Tuh, lihat." Seakan memegang benang cerita yang terputar setiap kali melihat foto-foto yang dipajang di dalam buku kecil itu, tempelan dan tulisan seolah berbicara kepadaku setiap detail dari potret di dalamnya.

Buku kecil itu bukan sembarang buku. Ia adalah lembaran kisah kami yang diukir dengan senyuman, tawa, dan tangis. Setiap tempelan dan tulisan memuat kenangan yang tak terlupakan, seolah-olah setiap halaman adalah ingatan hidup yang masih melekat dalam benakku.

Halaman itu berpindah ke halaman berikutnya, membawa memori pada hari hujan. Aku ingat hari itu, kami terperangkap di sebuah warung kecil yang menjual sekoteng hangat. Tempat yang seharusnya hanya memberikan perlindungan dari guyuran hujan, malah menjadi saksi bagi lahirnya tempat kencan baru dan tempat rahasia di antara kami berdua.

Mataku kemudian mengikuti jejak telapak tangan yang diwarnai cat biru dan kuning di halaman berikutnya. Warna-warna yang saat itu menjadi tren di kalangan pasangan. Seharusnya cat itu dicap di atas kanvas, tapi atas permintaan ku dan Seokmin menurutinya untuk membubuhkan cat itu dalam album ini. Permohonan tertulis dengan indah, berisi doa akan kelancaran hubungan di masa depan.

Namun, lembaran berikutnya menghentikan detak jantungku. Sebuah jejak tangan dengan warna biru dan kuning adalah yang terakhir. Semua halaman selanjutnya kosong, memberi kesan bahwa ini bukan hanya akhir dari satu bab, tetapi dari seluruh cerita.

Aku memindahkan perhatianku dari album itu, mengarahkannya ke pemandangan di depanku. Semuanya masih sama, Bukit Edelweiss, dengan pohon rindang yang telah menyaksikan kisah kami. Namun, sekarang, hanya tinggal kenangan yang terpampang di halaman-halaman album yang kian usang.

Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar. Aku telah jauh berkelana ke tempat-tempat yang asing, namun seluruh ingatanku dan hatiku tetap berada di tempat ini, di titik di mana waktu dan ruang tidak bisa menyentuhku. Aku tidak tahu bagaimana cara mengambil semuanya kembali. Bahkan kamera ini, kamera milik Seokmin yang ditinggalkannya pada hari kami berpisah, kini ada di genggamanku. Meski agak usang, aku tidak rela untuk membuangnya.

Kami mungkin memiliki kendali atas perasaan kami, namun takdir selalu mengambil perannya. Berakhir dengan terpaksa bukanlah hal yang mudah, dan mungkin ini adalah bentuk lain dari mencintai seseorang, yaitu mengikhlaskan mereka untuk pergi.

Mungkin saja, saat ini Seokmin sudah menemukan kebahagiaan dengan pilihan kedua orangtuanya. Mungkin, di suatu tempat yang jauh, ada kehidupan baru yang dijalani olehnya, dengan orang baru yang mungkin telah menggantikan tempatku di hatinya.

Di suatu tempat yang jauh dan tidak bisa ku jangkau dengan netraku, itulah yang kukatakan namun lagi-lagi kejutan menghantamu tepat di muka. Pandanganku tersentak ketika melihat sosok yang dulu begitu dekat denganku, sekarang berjalan bersama orang lain. Seokmin, dengan senyuman bahagianya, tidak menyadari bahwa aku berdiri di sana, memandanginya dengan hati yang remuk.

Ia mendekat, dan pertemuan kami terasa begitu dingin dan menyakitkan. Kata-kata sapaan tak mampu keluar dari bibirku yang kering. Mataku terpaku pada gambaran keluarga bahagia di hadapanku, dan hatiku terasa hancur melihat kehidupan sempurna yang tak pernah aku miliki.

"Apa kabar?" Ucapan itu membuat seluruh perjalanan dan usahaku terasa seperti sia-sia. Aku berusaha menyusun kata-kata di dalam benakku, tapi lidahku masih terasa kelu. Rasanya ingin melepaskan semua beban ini, menceritakan betapa sulitnya untuk melepaskanmu dan betapa sakitnya melihatmu bahagia dengan yang lain. Tapi, bisikan hatiku menahan langkah-langkah itu.

"Ayah ini siapa?" Mataku pun beralih menatap sosok gadis kecil itu. Parasnya cantik, hidungnya mewarisi ciri Seokmin.

"Ayo kenalan, ini teman ayah. Shua, ini Edelweiss, putriku yang pertama," ucap Seokmin dengan senyuman hangat.

Detik itu, saat aku mendengar nama Edelweiss, seperti petir menyambar memori di kepalaku. Edelweiss adalah satu kata yang kita pilih, satu momen yang kita bagi, dulu di atas bukit ini. Momen ketika kita mencari-cari nama untuk merayakan apa yang terjadi diantara aku dan Seokmin. Itu adalah kenangan yang aku harapkan hanya milik kita berdua.

Namun, sekarang kata itu melekat pada sosok kecil di hadapanku. Sosok yang mengingatkanku pada perjalanan kita yang berakhir di titik terakhir yang tak terbayangkan. Tiba-tiba, rindu itu beralih menjadi kekecewaan dan kehilangan. Edelweiss yang seharusnya menjadi bunga abadi kenangan kita, kini tumbuh di taman orang lain.

Lidahku yang kelu akhirnya menemukan suaranya, tapi hanya dalam bisikan lirih, "Mengapa Edelweiss?"

Seokmin tersentak sejenak, seperti tersadar akan beban kata-kata itu. Ia menatapku dengan mata penuh penyesalan, namun tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Sementara itu, Edelweiss, si kecil yang tak tahu apa-apa tentang sejarah antara kami, tersenyum polos.

"Salam kenal, teman nya ayah" ucapnya dengan nada ceria.

Hati ini hancur, bukan hanya oleh pertemuan dingin ini, tapi oleh perasaan kehilangan yang semakin nyata. Bukit Edelweiss yang dulu menyaksikan kisah kita, kini menjadi saksi bisu dari patah hati ini. Sementara aku berdiri di sana, mencoba menangkap realitas bahwa kenangan kita bersama tak lagi menjadi milikku.

Seokmin mencoba mengungkapkan sesuatu, tapi aku hanya bisa merasakan getaran kata-katanya tanpa benar-benar mendengarnya. Pikiranku melayang, terjebak dalam rasa kehilangan yang begitu mendalam. Seakan-akan waktu berputar mundur, dan aku kembali ke titik awal di puncak bukit ini, namun tanpa Seokmin di sampingku.

Aku mencoba tersenyum, menyembunyikan kepedihan di balik senyum palsu. Edelweiss, dengan polosnya, meraih tanganku. "Teman Ayah, apa kabar?" tanyanya lagi, namun pertanyaan itu hanya menjadi sorotan pada patah hati yang semakin melebar di dalamku.

Sebuah kisah yang dulu begitu indah, kini terpampang rapi di dalam album kenangan yang tak lagi bersifat pribadi. Album yang menceritakan sebuah kisah yang perlahan-lahan menghilang, dan aku, berdiri di atas bukit ini, merasa seperti aku telah kehilangan sebagian besar diriku sendiri.

"Kabarku masih ku cari, Seok. Di mana letak bahagianya setelah hari itu?" Gumamku pada angin sepoi-sepoi yang menyapu bukit. Tampaknya, jawaban tak pernah datang, dan aku terus mencari sepotong diriku yang pernah bersama Seokmin.

"Salam kenal, Edelweiss. Tumbuhlah menjadi anak yang bahagia, ya, sayang." Ucapan itu keluar dari bibirku, meski terdengar kaku dan penuh dengan kepedihan yang terpendam. Edelweiss, dengan polosnya, hanya tersenyum dan mengangguk, tanpa menyadari bahwa di balik senyumku tersembunyi luka yang tak kunjung sembuh.

Aku melangkah pergi, menyisakan mereka berdua yang semakin mengaburkan kenangan. Di belakangku, aku merasakan pandangan perempuan yang mengamati. Dia adalah bagian dari masa depan Seokmin, nama yang kini mendiami hatinya. Aku pun berpamitan padanya, dan dia juga dengan ramah membalas. Pertemuan ini diakhiri oleh Seokmin, yang berusaha melindungi hati istrinya, dan olehku, yang mengakhiri ini untuk melindungi hatiku yang telah berdarah-darah. Langkahku semakin menjauh, dan bukit Edelweiss menjadi saksi bisu dari kisah yang kini hanya tinggal sebagai kenangan yang pahit.

Dalam redupnya senja, aku melangkah menjauh dari Bukit Edelweiss. Di atas bukit itu, di mana dulu kita berbagi tawa dan cinta, kini menjadi saksi bisu perpisahan yang tak terelakkan. Album kenangan telah menjadi bukti yang terpampang, mengingatkan bahwa setiap cerita memiliki akhirnya.

Kehilangan adalah bagian dari hidup, begitu kata mereka. Namun, seiring langkahku yang semakin menjauh, aku merasa bahwa kehilangan juga membawa kekuatan untuk memulai lagi. Meski hatiku terluka dan kenangan menyakitkan, aku yakin bahwa di depan sana, masih banyak kisah yang menunggu untuk ditulis.

Bukit Edelweiss, dengan segala kenangannya, aku persembahkan perpisahan. Semoga suatu saat, angin sepoi-sepoi di puncakmu akan membawa kabar bahwa kita telah menemukan kebahagiaan di jalur masing-masing. Sampai jumpa, tempat di mana kita dulu berbagi sejuta cerita.

🎉 Kamu telah selesai membaca Edelweiss: Menyapa Lembaran Lama | Seoksoo 🎉
Edelweiss: Menyapa Lembaran Lama | SeoksooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang