003

4 1 0
                                    

Sudah pukul 23.00 WIB, tapi mata masih enggan terpejam, alat pendengar juga terpasang, meneruskan suara dari gawai menuju rungu. Aku sedang mendengarkan kisah pendaki dari saluran YouTube, kisah yang sudah sangat lama. Mendengarkan di lampu yang redup sambil bersandar di atas kasur, sudah yang paling nyaman, pintu kamar juga sudah ditutup. Namun, malam ini rasanya benar-benar sunyi, karena biasanya akan ada suara-suara ganjal yang hanya bisa aku dengar.



Yah, baru saja juga berpikir demikian, runguku yang tidak kusumpal, tiba-tiba mendengar deritan pintu dibuka, pelan namun pasti. Jantungku sudah mulai berpacu, bahkan kisah pendaki tidak bisa kudengarkan dengan baik, posisiku mungkin tidak berubah, tapi keringat dingin mulai muncul. Detik terakhir, pintu terbuka lebar, dari ekor mata tampak sosok siluet anak laki-laki, ia semakin berjalan mendekat dan tak hentinya aku merapalkan istighfar dalam hati.



“Mas.” Disaat aku merasakan tepukan pada bahu kananku, secara otomatis suaraku pun keluar, “Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah....”



“Ini aku, Singgih.”



Melayanglah bantal pada mukanya, “bikin kaget aja!” sumpah, aku kira makhluk halus, ternyata sejenis itu, dedemit, adikku yang paling bontot.



“Mas Rama, ayo anterin aku pipis.”



“Pipis dewe (sendiri), udah besar minta anter.”



“Takuuut. Ayo anterin aku.”



“Mas mau tidur, ngantuk. Minta temenin sama Boki aja. Noh, lagi bobo di meja.” Sudah pasti bibirnya mengerucut, entah jika dihitung dengan rumus prisma akan diketahui berapa volumenya. Ahh, aku bukan mahasiswa FMIPA.



Singgih dengan langkah lambat dan terhuyung-huyung, menghampiri Boki, kucing hitam yang sudah kami pelihara satu tahun ini, kuperhatikan, raut wajah Boki sangat menjengkelkan, mungkin dia sedang mengumpat ke arahku, karena telah mengganggu tidurnya. “Jangan lupa tutup lagi pintunya.”



Akhir dari suara dentuman pintu ditutup, kurebahkan diriku dengan posisi telentang, anak bulu yang kubawa pulang dari kampus, masih pulas, seakan tidak terganggu dengan kejadian tadi. Ia tidur di atas bantalku yang lain.





***





Entah kenapa, rasanya, pagi datang begitu cepat. Empat kotak bekal sudah tertata di atas meja, milikku yang warna hijau, biru untuk papa, merah dengan stiker panda punya Sasti, dan yang terakhir kuning sudah pasti punya Singgih. “Adek mana, Ma?”



“Lagi kasi makan Boki di halaman belakang.”



Pagi gini, selain akhir pekan, kami jarang berkumpul jadi satu di ruang makan, lebih sering mama dan papa, karena anak-anaknya sudah pasti punya kegiatan masing-masing. Aku mengambil sepotong roti tawar dari plastiknya, tidak ada yang perlu kuoles meski ada mentega dan selai cokelat, sebab tujuan utamaku menghampiri Singgih. “Malah main sama tuyul. Ayo berangkat, ntar telat, loh.”



“Nggak usah nakutin gitu, laaaah.”



“Lah, emang bener kok. Itu kucing kecil, Mas kasi nama tuyul.”



“Bukan tuyul, tapi napoleon, panggilannya napol.”



“Ya udah, hayuk berangkat sekarang.” Kadang aku mikir, kenapa tinggi Singgih segitu-gitu aja gak lebih dari tingginya Mama. Padahal dia aktif bergerak.



Satu langkah, aku langsung ingat sesuatu, pandanganku serius menatap Boki yang masih melahap sereal miliknya. “Bok, awas aja kalau sampai kamu macam-macam sama tuyul.” Sedikit mengesalkan ketika Boki hanyalah kucing lokal tapi ekspresinya jutek seperti persia.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARWAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang