8 tahun kemudian…
Desir angin berembus. Memberi kesan tenang bagi gadis 15 tahun berambut panjang itu. Ayunan teras, tempat kesayangannya meratapi keadaan. Penuh pertanyaan tentang hidupnya, tapi tak satupun terjawab.
“Adek, makan dulu.”
Gadis itu bangkit. Dilihatnya Sari, omanya yang membesarkannya penuh kasih sayang sejak dulu. Di sela-sela kesibukan sang papa, oma selalu sedia mendampinginya. Di meja bulat yang terdapat 4 kursi, ia beserta Sari dan papanya makan. Tak ada yang memulai pembicaraan. Hanya hening menemani. Usai makan, gadis itu bergerak, mencuci piringnya dan keluarga sekaligus.
Usai beraktifitas, dilihatnya sang papa sibuk dengan laptop. Padahal hari ini weekend tapi tiada hari tanpa bekerja bagi papanya. Dwipayana, pria berkepala 4 itu melihat putrinya yang sudah dewasa. Dialihkannya laptop, lalu dipanggilnya putri kecilnya itu, Naraya Cahya Dwipayana.
“Adek, kenapa?” tanyanya yang paham tabiat anaknya itu.
Naya diam. Ingin berkata, tapi takut akan jawaban Dwipa.
“Adek.” panggil Dwipa lagi.
Nara akhirnya nyerah. Ia berlalu ke pelukan sang papa. Dwipa heran, ada apa dengan anak gadisnya itu. Tak biasanya Nara jadi manja. Sejak perceraiannya 7 tahun silam, Nara menjadi lebih tertutup. Tak ada Nara yang ceria, hanya ada Naya yang pendiam dan penuh rahasia.
“Papa.” panggil Naya takut.
“Iya? Kenapa, Dek?”
“Papa ga kangen mama sama abang?”
Harusnya Dwipa paham. Setiap Nara menjadi manja, itu berarti ia merindukan sang mama dan kakak kembarnya. Pria itu melepas pelukan Naya paksa. Kemudian berjalan memunggungi Nara tanpa menjawab apapun.
“Adek tahu, Pa. Adek tahu, Papa sering kangen sama mama dan abang. Buktinya sampai sekarang, Papa masih simpan foto keluarga kita dulu. Pa, ayo balik ke Jakarta. Paling enggak izinin adek ketemu mereka. Adek kangen, Pa.” lirihnya terisak.
“Jangan sebut wanita murahan itu mama kamu.”
“Tapi mama emang mama adek. Sekarang adek tanya, apa kesalahan yang mama bikin sampai Papa sebenci itu sama mama?”
“Adek, papa capek.”
Tak ingin peduli. Dwipa hendak kembali berjalan meninggalkan putrinya. Tapi teriakan dari Nara membuatnya pitam.
“Papa pengecut. Papa selalu bilang mama orang jahat, tapi ga bilang apa alasannya!” bentak Nara.
“Jangan kurang ajar, Nara.”
“Minimal izinkan adek kontakan sama mereka, Pa.”
“Kamu belum ngerti.”
“Adek ngerti, adek udah mau lulus SMP, Pa. Adek udah paham kalau Papa sama mama cerai. Tapi kasih adek alasannya kenapa, seenggaknya kenapa Papa ga izinin adek kontakan sama mereka. Pa, adek…”
“MASUK KE KAMAR NARAYA! JANGAN SEBUT LAGI SOAL WANITA MURAHAN ITU!”
Nara tersentak. Hatinya selalu pilu mengingat keluarganya yang dulu cemara, sekarang justru berubah drastis. Di lihatnya Sari dari kejauhan. Tak membela, tapi tak juga menyalahkannya. Lagi lagi seperti ini. Amara Dwipa selalu tak terbendung tiap membahas Aru dan Naren.
“Papa egois.”
***************************************
SMP Kenari. Salah satu sekolah elit di Bogor. Tes untuk masuk SMP ini juga tidaklah mudah. Ada 3 kesempatan yang diberikan pada siswa-siswa. Pertama, olimpiade akademik maupun non-akademik. Siswa yang memenangkan olimpiade ini akan mendapat hadiah, sertifikat dan kesempatan bersekolah dengan gratis, alias full beasiswa. Kedua, jalus tes pengetahuan umum. Mirip seperti olimpiade, hanya saja berfokus pada kemampuan umum dan yang menang dapat masuk ke sekolah dengan SPP yang lebih sedikit daripada jalur nilai. Terakhir, jalur nilai. Jalur ini banyak yang berkesempatan lulus, tapi SPP-nya juga tak tanggung-tanggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Melodies
Teen Fiction"Gue ga punya adik sama papa. Mereka udah mati sejak 8 tahun lalu." ~ Narendra Cahyo Dwipayana "Gue harus gimana biar abang maafin gue?" ~ Naraya Cahya Dwipayana Jika perempuan lain mengejar cinta dari seorang laki-laki, maka Nara justru m...