01

3 0 0
                                    

Yang selalu menjadi pertanyaan di dalam benakku, kenapa semua orang merasa kasihan ketika wanita belum menikah? Mengapa mereka berbicara seakan pernikahan adalah goal terakhir bagi wanita? Kenapa harus ada pembicaraan yang menuju bahwa wanita yang seharusnya sudah menikah tapi malah belum menikah?

 Ya, aku mengalaminya sendiri. Ketika berumur 26 tahun, namun aku masih betah dalam kesendirianku.
Tentu saja, semua wanita ingin menikah, namun aku bahkan tidak tahu dibagian mana dari hidupku aku akan mencapai pernikahan.

Apa aku trauma dalam percintaan? Tidak. Aku hanya belum menemukan seseorang yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama dalam jangka waktu seumur hidup.

Pandangan kasihan selalu mengitariku, padahal aku biasa saja. Aku masih menikmati hari-hariku, masih berkerja seperti biasa, dan menikah bukan keinginan terbesarku.

 "Makanya menikah, umur lo ga muda lagi. Nyari yang gimana lagi sih?" Aku tertawa, memangnya mencari suami semudah itu ya? Aku tidak mempunyai kriteria khusus, aku hanya ingin suami yang bertanggung jawab akan diriku.

"Nanti dulu deh, lagian aku masih muda, belum kepikiran nikah." Aku menyahut santai, sambil masih asik dengan buah melon yang sedang aku makan.

"Dulu gue nikah umur 23 loh, sekarang lo 26 tahun, mau jadi perawan tua?"

 Aku tertawa sekali lagi, sungguh ini adalah pembicaraan yang paling aku ingin hindari. "Tau ga? Sekarang bahkan penduduk Indonesia selama 10 tahun belakang persentase menikah berkurang 10%. Menurut lo ada masalah apa?"

 Diantara kedua kakakku, memang hanya aku diumur sekarang yang belum menikah. Kakakku yang pertama, menikah saat usianya 20tahun, namun pernikahan nya tidak berjalan lama, cerai, dan menjadi janda dengan 1 anak perempuan, lalu menikah lagi dengan laki-laki brengsek yang tidak bertanggung jawab, lalu sekarang menjadi janda lagi.

Kakakku yang kedua, menikah diusia 23 tahun, sudah punya 2 anak laki-laki. Apakah keluarga nya baik-baik saja? Tentu tidak juga, punya mertua yang engga baik, bahkan tidak memperhatikan kakakku dan kakak iparku.

 Dari 2 kasus diatas, bagaimana bisa aku percaya dengan sebuah pernikahan. Pernikahan mereka bahkan tidak semulus itu, kenapa harus menyuruhku buru-buru untuk menikah? Aku merasa geli, apa mereka akan menanggung semua pernikahanku? Tentu saja engga kan, karena hanya diriku yang menjalani sendiri.

"Udah deh, buru-buru makanya nikah."

"Sekalian deh jangan cuma nyuruh aja. Bawain calon suaminya sama tanggung biaya pernikahan juga ya, sanggup gak lo?" Ucapku santai. Namun aku bisa lihat kakak kedua ku langsung terdiam. Mungkin ucapan ku jahat, namun dia lebih jahat bukan?

Ya aku tau, keluarga ku tentu ingin melihat aku berkeluarga diusia yang sudah 26 tahun ini. Kekhawatiran Mamah dan Ayah tentang anak gadisnya yang belum menikah. Tentu saja aku paham, dikejar umur orangtua, dan aku belum menemukan pasangan diumurku yang sekarang. Namun, aku masih merasa tidak apa-apa.

Mamahku, aku sangat tau bahwa ia ingin sekali aku menikah, begitu juga dengan Ayahku. Mereka ingin melihat anak perempuan terakhirnya sudah punya keluarga, dan melepas kekhawatiran tentangku.

Sejujurnya, aku juga ingin, namun menikah bukan keinginan terbesarku. Aku tidak ingin terburu-buru, atau malah menghabiskan waktu dengan orang yang salah. Bagiku, lambat tidak masalah asalkan dengan orang yang tepat.

Aku tidak ingin menjalani pernikahan dengan kondisi yang tidak siap. Pernikahan kedua kakakku sudah menjadi gambaran, dan aku tidak ingin mengalami hal seperti itu. Banyak hal-hal yang masih belum bisa aku mengerti tentang pernikahan, itu terlalu kompleks dan rumit.

***

"Masih pagi kali Mba Acel, mukanya udah ditekuk aja."

"Diem deh lo,Ra." Aku menyahut dan menaruh tas kerjaku di meja. Menarik kursi dan menjatuhkan tubuhku. Mengambil beberapa berkas yang sudah rapih di hadapanku dan memeriksanya kembali.

"Lagian Mba Acel, baru juga sampai kantor. Harusnya tuh muka nya ceria dong, kayak hari ini nih." Aku tersenyum kecut.

Pembicaraan semalam dengan keluargaku sukses menghancurkan mood ku pagi hari ini. Ucapan mereka seakan terus terulang di dalam kepalaku.

"Mau ngopi gak,Mba?" Lanjut Rara.

"Gak Ra, thank you. Gue udah ngopi dirumah tadi." Sahutku. Mataku masih terfokus keberkas yang harus diserahkan ke Mas Adam. Karena jam 9 nanti ada meeting, dan Mas Adam tidak mau ada kesalahan sekecil apapun.

Setelah memastikan tidak ada yang salah pada berkasnya, Aku segera membawa berkas tersebut ke Mas Adam. Tanganku mengetuk pintu ruangan tersebut, dan Mas Adam menyahut untuk masuk.

"Mas, ini udah saya cek semua. Udah oke kok"

"Thanks, Cel. Oh iya, nanti ada pengganti Pak Irwan. Kumpulin anak-anak pas selesai saya meeting ya. Nanti saya kabarin lagi."

Aku menggangguk, "Iya Mas, nanti saya suruh yang lain buat ngumpul di tempat santai team kita aja ya."

"Yaudah di sana aja, yaudah saya keruang meeting dulu ya Cel."

"Iya Mas." Sahutku pendek.

Aku menuju meja ku kembali, melanjutkan menyelesaikan beberapa perkerjaanku yang masih menumpuk. Aku menghembuskan nafas, kenapa hari ini rasanya malas sekali? Mood ku yang hancur sangat mempengaruhi hariku.

MY 26Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang