18 April, Kamis
Pemilik netra sapphire tak peduli. Meski tangannya belum pulih maksimal, ia tetap akan melakukan apa yang ia sukai.
Kanvas itu ambruk terbaring di lantai, dengan wadah-wadah cat serta kuas, pallet dan semangkuk berisi air di sekitarnya.
Rasa dalam jiwanya tumpah dalam kanvas itu susah payah. Menoreh air mata pada tiap gores warnanya. Menarik luka dalam kalbu tuk pergi menjauh. Menghapus sesak dalam dada agar terlupakan.
Sulit. Ia menyatukan kedua tangannya, mencoba mengendalikan kuas. Asa, berharap bisa. Namun, belum, tak jaya. Kuas itu terus jatuh, enggan diam diapit dua tangan yang hilang separuh.
Berganti tugas, gigi-gigi putihnya merapat, membatasi pergerakan kuas, menggigit ujung yang tak ternoda warna. Lagi. Belum, tak mampu. Belum mau tertahan diantara gigi yang putih.
Air mata terus terjatuh seiring detik jam berlalu. Tak kenal lelah, peluh pun mengikuti apa yang dilakukan air mata. Tubuh itu mulai getir kian waktu. Tenaga yang terkuras tak teracuhkan. Wajah rupawan yang menyimpan jutaan luka, pun mulai memucat seperti bubur.
Dingin. Insan itu dikelilingi dingin, diselimuti kedinginan tak berujung. Merasa sendiri dan hampa. Ruang sesak ini tiada artinya jika sepi terus memeluknya. Napasnya tersendat, ia telah bertahan begitu lama. Perih.
Kepalanya berputar. Dunia mulai berembun buram. Berisiknya dengung menggema dalam dirinya. Dalam sekedip, tiada yang sadar, tiada yang tau.
Ia jatuh terhuyung. Darah segar mengalir deras dari hidung mancungnya, menodai wajah pucatnya, membasahi pakaiannya, juga memberi percikan pada kanvasnya.
Tak henti. Darah terus mengalir tanpa ada yang mengerti, tanpa ada yang tau. Kian pucat tampangnya. Tiap hembusan napas terasa seperti kian jam. Dan seperti dipeluk peri es, menggigil dia diantara sepi.
Hanya dua aksara yang terlintas. Dua nama jiwa yang berharga baginya. Yang melahirkan, dan yang memberi pembelaan.
Bunda ... Iza ....
--
Sayup-sayup terdengar keributan kecil, menganggu seseorang yang tengah terlelap dalam mimpinya. Kelopak mata itu terangkat perlahan, menampilkan manik biru yang indah.
Amato bungkam saat menyadari, begitu pun Mbak Tian. Perdebatan keduanya berakhir saat itu juga. Amato mendekat, ia mengelus surai anaknya.
"Kenapa kamu tetap melukis, bahkan sampai matahari terbenam?" tanyanya, wajah berwibawa miliknya mengerut tak suka.
Taufan diam. Kepalanya masih pusing, ia bahkan belum ingat apa yang sebelumnya terjadi. Dia melirik ke sekitar, mendapati Mbak Tian berdiri di belakang Amato.
"Kenapa cuman diem, Fan? Ayah lagi nanya, kamu pura-pura budeg apa gimana, hah?"
Taufan reflek menepis tangan sang ayah. "Apasih, Pak!? Saya baru bangun!" Napasnya memburu, emosinya berkecamuk. Kilat matanya memancarkan permusuhan.
Amato menggeram, tangannya mengepal. "Ap-"
"Amato!" Mbak Tian buka suara, jengkel dengan kelakuan tuannya. "Nduk Taufan baru bangun, kasian. Terus, katanya kamu itu mau berubah? Lah ini apanya yang berubah? Cuman nambah uban doang itu loh!"
Amato berdecih. Hampir saja ia membantah, jikalau Taufan tak duluan menyerukan suaranya, yang berhasil membuat Amato pergi dari sana saat itu juga.
"Kalian kalo mau debat di luar, jangan di sini." Ia membuang muka, bibirnya ditekuk, sama sekali tidak menyukai kehadiran sang ayah.
Brak! Pintu ditutup kasar, pelampiasan emosi. Suaranya memekkakan telinga, membuat Taufan menghembuskan napas gusar.
Ia benar-benar ingin memijat pangkal hidungnya sekarang, pusing tak henti melanda kepalanya.
"Nduk, maaf, ya, bapak kamu memang begitu, maaf juga Mbak Tian ganggu kamu." Ekspresi bersalah menempel di raut Mbak Tian, amarahnya beberapa saat lalu ikut luruh.
Taufan menggeleng. "Nggak apa-apa, Mbak." Ia tersenyum tipis, matanya masih sayu.
Taufan melirik pojok kamarnya. Kanvasnya tadi tersender di sana, sepertinya dipindahkan Mbak Tian. Sebuah siluet seorang wanita yang memeluk anaknya. Sangat berantakan. Kemungkinan besar karna Taufan masih belum bisa beradaptasi, karna kuasnya selalu menjatuhkan diri, menolak ia gunakan.
Warna tone-nya pun berantakan, abstrak. Pada mata Taufan, dalam kanvas itu ada warna abu-abu yang berbeda-beda, tapi dalam mata Mbak Tian; ia melihat emosi yang kuat, perasaan yang campur aduk, dan kerinduan yang membludak.
Warna-warna abu yang berbeda menyatu menjadi satu, tanpa sadar menggambarkan berbagai emosi si pelukis. Beberapa bagiannya luntur karna air mata, entah bahagia, rindu, maupun air mata amarah, tapi tak mengubah fakta bahwa itu ialah siluet seorang ibu yang mendekap anaknya, seperti jika ia melepas pelukan itu, mereka tak akan bertemu lagi. Lalu, percikan merah darah di sudutnya, yang disebabkan oleh darah yang mengalir dari hidung Taufan tadi.
Mbak Tian memang tidak mengerti apapun tentang seni. Namun, kala melihat lukisan itu, jiwanya ingin menangis, menggigil di cengkraman emosi sang pelukis.
"Kamu kangen sama Mbak Putri dan Nak Izar, Nduk?" Pertanyaan mendadak dari Mbak Tian membuat Taufan menunduk, tersenyum kecut.
"Iya, Adek masih koma, dan Bunda dirawat di luar kota. Lalu, saya malah terjebak di dekat orang yang paling saya benci."
"Sabar, ya, Nduk. Mbak Tian cuman bisa bantu do'a." Ia mendekat dan duduk di tepi kasur Taufan, "wes, sekarang kamu istirahat, biar Mbak yang beresin kamarmu."
Taufan menggeleng. "Gausah, Mbak. Nanti aku beresin sendiri, saya lagi pengen sendiri soalnya."
Mbak Tian mengiakan. Kemudian, ia keluar dari kamar Taufan, meninggalkan si pelukis berdiam diri di kamar. Merenungi dunia, merindu keluarga.
Gigi-giginya bergemelatuk, matanya memerah, panas. Kepalanya menunduk, sangat dalam, menatap selimut yang kini basah perlahan-lahan.
Sial.
--
.
.
.
--
Halooow???
Anu! Anu! Aku pengen kalian nulis kesan pesan kalian sampai chapter 5 inieww, bolee??
Janlupa voment, ya✨
(Btw, sebelumnya ini bab prolog di ver lama, jadi jangan bingung klw votenya lbh banyak dri bab kemarin)
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Mimpi [OG]
Fanfiction"Apa gue nggak layak merjuangin mimpi gue?" ------ Orang-orang selalu bilang, mimpi Taufan itu sampah, tapi Taufan percaya, dia bisa, selama mereka ada. Walaupun melihat, selalu membuatnya jengah. Meski tiap membuka kelopak mata, kelabu yang menyamb...