Seorang pemuda berjaket levis biru, tampak berjalan mengendap-endap keluar dari kamarnya. Iris mata segelap malam itu mengedar, memastikan tidak ada yang melihatnya.
Helaan napas lega terdengar, saat Ia tak menemukan siapapun selain dirinya.
'Aman' batinnya berkata.
Ia pun langsung mempercepat langkah kakinya, menuju tangga yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
Kaki jenjang yang dilapisi celana jeans itu bergerak dengan cepat menuruni anak tangga, satu demi satu.
Ia menyugar rambut hitam legamnya yang menjuntai menutupi dahi menggunakan kelima jari kanannya. Karena lupa memakai gel rambut.
Namun naas, saat akan memijak anak tangga terakhir, sebelah kakinya tak sengaja menginjak tali sepatu yang dikenakan. Karena Ia lupa mengikatnya. Alhasil mengakibatkan tubuhnya tersungkur dan beradu dengan kerasnya lantai hingga menimbulkan bunyi bedebum yang lumayan kencang.
“Sial!” umpatnya. Ia berusaha bangun lantas mendudukan dirinya diundakan tangga terakhir. Dengan cepat Ia mengikat tali sepatunya.
Pemuda itu bangkit dari posisi duduknya, kemudian berjalan cepat menuju pintu garasi yang berhadapan langsung dengan tangga.
“Abaaang!”
Pergerakannya terhenti saat suara melengking khas anak-anak terdengar menyapa gendang telinga, membuat pemuda itu tersentak serta mengurungkan niatnya membuka handle pintu.
Perlahan pemuda itu membalikan badan dan mendapati seorang anak laki-laki berusia lima tahun tengah berjalan menuruni tangga dengan sebelah tangannya membawa sebuah mobil-mobilan berukuran sedang.
“Abang mau kemana?” tanyanya setelah sampai dihadapan seorang pemuda yang dipanggilnya abang. Dengan kepala yang mendongak menatap sang lawan bicara.
Pemuda itu menatap adiknya jengah. “Bocil nggak usah kepo.”
“Ih, Abang!” bibirnya mengerucut. “Kan tadi pagi kata Mama, Abang nggak boleh kemana-mana. Nanti kalo Mama tau Abang keluar rumah, pasti Mama marah.”
“Mama nggak bakalan tau kalo kamu nggak kasih tau.” ucapnya jengah.
“Yaudah kalo gitu adek kasih tau Mama, biar Abang dimarahin.”
“Oke.” Pemuda itu menyilangkan didada serta mengangguk-anggukan kepala. Ia juga berusaha bersikap tenang menyikapi adik bontotnya. “Biar impas, gimana kalo Abang kasih tau ke Mama? Tadi siang ada anak kecil makan ice cream satu kotak. Padahal anak kecil itu dilarang makan ice cream dulu, selama seminggu."
Mengerti anak kecil yang di maksud sang Abang adalah dirinya, membuat ekspresi bocah itu berubah ketakutan. “Jangaaan!” teriaknya, “Nanti Adek dimarahin Mama, terus Mama bawa adek ke dokter. Terus-terus nanti adek di suntik sama Pak dokter.” anak kecil itu bergidik ngeri membayangkan dirinya akan di suntik. “Abang, jangan ya?” pintanya dengan nada memelas.
Pemuda itu hanya mengangkat bahunya acuh.
“Bang Farrel,” panggilnya sembari menarik-narik kaos putih polos yang dikenakan abangnya. “Jangan bilangin Mama, ya?”
Farrel tetap diam tak menanggapi perkataan adiknya.
“Abaaang,” rengeknya dengan suara parau. Mata bulatnya mulai berkaca-kaca. Dengan sekali kedip air mata itu turun
Farrel jadi tak tega melihatnya. Ia berjongkok mensejajarkan tinggi sang adek. “Anak cowok nggak boleh cengeng.” Farrel mengusap air mata dipipi adiknya.
“Abang sih, mau kasih tau ke Mama kalo adek makan ice cream,” ucapnya meberenggut.
“Kan Faiz duluan yang mau laporin abang ke Mama.” Farrel mencubit pelan hidung mancung adiknya. “Makanya jangan laporin abang, kalo nggak mau dilaporin balik.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Parents
General FictionFarrel mencintai Aletta dan juga menyayangi sahabat kecilnya, Dira. Farrel dan Dira bersahabat sejak kecil. Namun persahabatan mereka ternodai oleh kejadian satu malam yang tak disangka-sangka. Akankah Farel mempertanggung jawabkan perbuatannya? K...