One: Ibuk

18 4 3
                                    

Untuk seseorang yang menyukai lagu somebody's pleasure, untuk seseorang yang terobsesi dengan keindahan langit, untuk seseorang yang takut hantu,  untuk seseorang yang kehilangan separuh hidupnya, untuk seorang maniak mie instan,  dan untuk seseorang yang selalu aku kagumi dari jauh.

.

.

.

Hari itu langit sedang bersedih ketika senja datang dan toa masjid mulai bersahut-sahutan antara satu dan yang lain. Langit menampakkan emosi marah mendatangkan guntur, membuat sang awan menangis sama seperti hati gadis yang saat ini sedang terduduk di depan pintu rumah sakit.

Seorang pria dengan jas putih plus name tag di dada kanannya yang tertera nama Habibie Sena Malik itu keluar dari dalam ruangan operasi. Bersiap memberi informasi yang mau tidak mau harus didengar oleh gadis itu.

Jangan tanya bagaimana perasaan sang gadis, tangannya sudah kebas dan terasa sangat dingin serta suhu tubuhnya meningkat sedari dua jam yang lalu. Mukanya penuh harap kepada sosok di depannya.

Sambil tersenggal karena menangis tak henti ia berkata, "bagaimana ibu saya, Dok?"

Habibie menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar. Ia tahu apa yang akan terjadi setelah ini tapi sudah tugasnya memberitahu kepada keluarga pasien tentang kondisi pasien bukan?

"Pasien tidak bisa kami selamatkan, Kak. Mohon maaf sekali. Kami sudah mencoba semaksimal mungkin, namun ketetapan ada pada Yang Kuasa."

Duar!

Suara kilatan petir itu seakan tahu isi hati gadis itu.  Ia meraung-raung tak percaya dengan pendengarannya. Menyesal? Jelas. Andai tadi dirinya tidak terlambat membawa sang ibu ke rumah sakit, andai saja tadi dirinya tidak menuruti ego untuk tetap tinggal bersama teman-temannya, andai tadi ia pulang lebih awal, andai... andai... andai.

Andien hanya bisa meratapi kebodohan dirinya yang sekarang hanya tinggal penyesalan.

Dokter itu tak berani menyentuh Andien, ia bingung harus berbuat apa disaat seperti ini. Walaupun dirinya dokter tapi ia sendiri tidak bisa menghibur ataupun menenangkan seorang yang sedang kalut. Beruntung tak lama setelahnya datang seorang wanita yang berlari ke arah gadis di depannya.

Andien merangkul wanita itu, menyembunyikan diri ke dalam dekapan kakaknya lalu menangis sekencang mungkin.

"Hush..., udah tenang ya." Nisa membelai lembut kepala Andien yang diselimuti hijab.

Tak mau mengganggu momen duka itu, Sang Dokter  memilih untuk pamit dan ia pun harus merawat pasien lain yang juga sedang kritis.

Andien Azzahra atau kerap dipanggil Andien merupakan anak bungsu dari pasangan bernama Hafsah dan Mail. Ia masih mengenyam bangku sekolah menengah atas tepatnya kelas 12 pada saat ini.

Cita-citanya menjadi seorang guru yang sayang kepada murid sebagaimana ibunya menyayanginya. Hafsah sendiri tidak memaksa Andien untuk menjadi apa dan siapa, asalkan anaknya itu masih berada di jalan yang lurus dan tidak melenceng dari kodratnya sebagai perempuan ia sudah sangat bersyukur.

Namun Hafsah harus meninggalkan anak bungsunya itu karena tugasnya di dunia sudah berakhir. Hafsah mengidap penyakit gagal ginjal yang mengharuskannya cuci darah rutin sesuai jadwal, namun ia enggan. Katanya itu hanya membuang-buang uang saja dan dirinya pun yakin kalau belum waktunya meninggal ia akan tetap hidup meskipun dengan penyakit separah itu.

Sedangkan Mail sang ayah sudah mendahului Hafsah saat usia Andien masih tiga bulan di kandungan. Andien hanya bisa mengenal ayahnya itu lewat foto lawasnya dan cerita dari ibu juga kakaknya mengingat jarak usia Nisa dan Andien yang cukup jauh yakni delapan tahun.

Nisa sendiri sudah berkeluarga dan memiliki satu buah hati cantik nan pintar. Nisa memilih tinggal bersama suaminya karena faktor pekerjaan sang suami dan juga tidak mau terlalu merepotkan Andien dan ibunya.

Ya, sejak Nisa berkeluarga Andien hanya tinggal berdua bersama Hafsah. Rasanya sepi terlebih Nisa hanya mengunjunginya satu atau dua minggu sekali.

Di sana, di ruang terbuka yang ditumbuhi banyak pohon kamboja ada banyak orang yang sedang berduka tak terkecuali Andien.

Gadis itu sedari tadi tak henti menangis. Rasanya seperti mimpi. Ia tak percaya dirinya harus kehilangan sosok yang menemaninya sedari dirinya belum dilahirkan.

Gadis itu memegangi nisan Hafsah dan masih terus menangis. Sedang semua orang yang melayat sudah berhambur entah ke mana perginya. Kini hanya dia, Nisa, Ridwan--suami Nisa, dan Gadis--anak Nisa. Serta Ibunya yang sudah terkubur di dalam tanah.

"Dek, ayo pulang ini sudah mau larut," bujuk Nisa.

Gadis itu menggeleng, "Kakak duluan aja, aku masih mau di sini," tegasnya.

Nisa menghembuskan napas berat. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun masih ingin menemani sang ibu, namun keadaan memaksanya untuk pulang karena langit sudah senja dan surau pun sudah mulai bersuara.

Mau tak mau ia meninggalkan Andien yang kalut. Dirinya tak mau adiknya semakin menderita apabila memisahkannya dengan Hafsah.

Nisa menggapai punggung Andien, mengelusnya lembut. "Kakak duluan ya, Dek."

Andien menoleh ke arah sumber suara. Ia mengangguk tanda mengerti.

"Hati-hati ya, Kak," pesannya sambil tersenyum simpul.

Nisa pun melenggang pergi dari pemakaman bersama suami dan anaknya, meninggalkan Andien yang kini kembali meratap kepada ibunya.

"Buk, Andien sendiri lagi. Kenapa Ibuk pergi secepat ini? Andien kan belum tepati janji Andien sama Ibuk." Suaranya bergetar dengan air mata yang terus mengucur.

"Buk, maafin Andien ya. Bahkan saat terakhir Ibuk, Andien enggak ada di sisi Ibuk."

"Buk, Andien masih bisa ketemu sama Ibuk, enggak? Andien enggak tau harus cerita sama siapa lagi kalau enggak sama ibuk."

"Buk, Ibuk sekarang di mana?"

"Buk, kalau Ibuk di surga, apa Andien juga bisa di surga?"

"Buk, di sini dingin, ya?" Gadis itu meremas pakaiannya merasakan dinginnya hawa sore itu.

"Ibuk kedinginan, nggak? Di sana ada jaket, ya?"

"Buk...," sudah. Ia sudah tak sanggup berkata-kata lagi. Bahunya naik-turun merasakan sesak di dada. Isaknya pun tak tertahan.

Andien bangkit dari tempatnya kala mendengar suara adzan magrib. Ia membelai nisan Hafsah sembari berkata, "Buk, Andien pamit ya. Sudah magrib. Ibuk bilang kan nggak baik magrib-magrib di luar, apalagi Andien cewek," monolognya. Ia tersenyum simpul, menghapus air mata yang membanjiri dirinya.

"Assalamualaikum, Buk," pamitnya. Ia mencium nisan Hafsah cukup lama sebelum meninggalkan area pemakaman.

Di sisi lain, jauh dari jarak pandang Andien seseorang terus memandanginya. Entah apa yang ada dalam hatinya. Mungkinkah ia seorang penguntit? Atau musuh?

.

.


.

🌾🌾🌾

Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Aku, kamu, dia, mereka, kita semua akan binasa. Entah kapan dan di mana.

Satu yang pasti, mati tidak harus menunggu tua atau sakit-sakitan. Dan kita akan mati sesuai amal perbuatan yang kita kerjakan.

🌾🌾🌾

Jombang, 19 Februari 2024.

PleasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang