Apa sih arti sebenarnya dari sebuah rumah? Hanya sebuah bangunan untuk tempat singgah atau tempat datangnya luka.🌻🌻🌻
Hana, seorang remaja 18 tahun yang sebentar lagi akan sibuk dengan persiapan masuk universitas. Tidak memiliki banyak teman, tapi setidaknya ia memiliki satu sahabat bernama Clara, Clara berbanding terbalik dengannya. Dia bagaikan seorang ratu sekolah, cantik, pintar, populer dan berbakat, bahkan disaat mereka berjalan di lorong bersama semua pandangan mengarah padanya.
"Hai temannya Clara! Aku titip ini yaa" kata Alex ketua tim basket sekolah, sambil menyerahkan sebatang coklat.
Bukan hal yang mengejutkan, Hana tau pasti ini untuk sahabatnya, tentu saja siapa yang tidak menyukainya Clara orang yang begitu menyenangkan. Mempunyai sahabat yang populer memang terlihat keren, tapi sebagai gantinya orang lain akan melupakan namamu.
"Aku malas kenapa mama bawel banget, padahal aku sudah remaja harusnya tidak usah terlalu di perhatikan! Telat pulang 5 menit saja sudah panik" ucap Clara sambil terus menggerutu.
Hana hanya bisa terus mendengarkan ocehan Clara tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sejujurnya terkadang terlintas rasa iri dengan kehidupan sahabatnya itu, terutama jika ia membahas tentang keluarganya yang begitu penuh dengan kehangatan.
Tak lama bell pulang pun berbunyi, seperti biasa mereka selalu pulang bersama, tapi hari ini sedikit berbeda karena turun hujan yang begitu deras, satu persatu orang tua menjemput anak mereka kesekolah dengan membawakan payung, sampai akhirnya hanya tersisa mereka berdua saja.
"Bagaimana ini? Apa kita akan menerobos hujan? Soalnya kamu tau sendiri papaku bos di perusahaan besar, jadinya sekarang sedang perjalanan bisnis" ujar Clara dengan bersemangat.
Hana mengangguk tanda setuju, tapi sebelum itu terlihat samar ada seseorang yang menghampiri mereka, Clara sangat terkejut saat melihat ayahnya ternyata sedari tadi sudah menunggunya tepat didepan gerbang sekolah.
"Claraa anakkuu.." Teriak lelaki paruh baya dengan bajunya yang sedikit terlihat lusuh, sambil terus melambaikan tangan.
"Ayah! Kenapa harus jemput di depan sekolah segala sih, kan aku sudah bilang! Jangan pernah kemari, aku malu dengan temanku!" Clara segera menarik lengan ayahnya untuk bergegas pulang.
Semakin jauh sampai sudah tidak terlihat lagi punggung mereka, yang tersisa sekarang hanya dirinya, tidak ada pilihan lain Hana mengangkat tasnya dan berlari menerobos derasnya hujan.
Sesampainya di rumah Hana menghentikan langkahnya, ia tanpak ragu untuk membuka pintu, tapi pada akhirnya ia memberanikan masuk kedalam rumah dengan bajunya yang sudah basah kuyup.
"Lihatlah siapa yang datang, dari mana saja kamu anak sialan! Mama nyesel punya anak kaya kamu" teriak mamanya sambil menatapnya dengan tatapan tajam.
Karena terus menerus di acuhkan kedua orang tuanya, Hana memberanikan diri untuk mengatakan hal yang selama ini ia pendam.
"Bukannya anak tidak bisa memilih seperti apa orang tuanya, tapi orang tua bisa memilih mau memiliki anak atau tidak? Selama ini aku juga tidak minta untuk di lahirkan! Aku seperti orang yang hidup, tapi tak tau arah"
"Berani melawan kamu?! Hidup mama ini hancur karena kamu, kamu terlahir karena kesalahan! Kalau saja kamu tidak ada, mama tidak akan menikah dengan seorang banjingan seperti papamu!"
"Bukan karena masa lalu orang tuanya buruk, maka anaknya juga tidak boleh untuk hidup dengan baik"
"Kamu! Dasar anak tidak tau diri"
Plakk terdengar suara tamparan yang begitu nyaring, tamparan itu mendarat sempurna pada wajah gadis itu.
"Arrgghh.. Sudahlah berisik! Aku lelah baru pulang kerja, jangan membuat keributan" sambung papa Hana sambil melepaskan dasi yang menggantung di lehernya.
Bukan pemandangan yang asing baginya, Hana memutuskan masuk ke kamarnya sebelum benda-benda di rumahnya akan berterbangan dan mengenainya.
"Lihatlah anakmu itu! Kurang ajar seperti dirimu"
"Apa! Jadi kamu menyalahkan anak sialan itu kepadaku? Jelas-jelas dia anakmu!"
Semakin lama teriakan itu semakin menggema mengisi penuh seisi rumah, Hana mendengarkan pertengkaran mereka dari balik pintu kamar, sambil menutup telinga dengan kedua tangannya.
Tidak terasa pagi menyambut, Hana terbangun saat wajahnya terkena hangatnya sang mentari, meksipun begitu perasaannya masih tak tenang dengan adanya kejadian semalam.
"Hahh.. Setidaknya aku masih punya Clara kan?"
Mengingat sahabatnya itu, Hana jadi sedikit bersemangat untuk menjalani hari yang tidak mudah untuknya. Sesampainya di sekolah ia langsung duduk bersama Clara di tempat duduk mereka.
"Hanaa.. Bisakah kamu melupakan kejadian kemarin? Bapak itu tukang kebun di rumah kami! Papaku.. Papaku beneran lagi di luar negeri" ucap Clara dengan nada gemetar.
Hana sejak lama tau, jika orang tua Clara bukanlah bos atau CEO perusahaan terkenal yang sering di perbincangkan banyak siswa. Tapi bagaimanapun itu ia akan selalu menerima sahabatnya, meksipun sahabatnya itu akan hidup dengan kebohongan di sepanjang hidupnya.
"Aku tau itu kok!"
"Ahh.. Baguslah, kamu memang sahabat terbaikku" ucap Clara sambil tersenyum.
Sehabis dari toilet Hana, ingin masuk ke ruang kelas, tapi langkahnya tertahan saat mendengarkan perbincangan Clara dengan teman sekelasnya.
"Kenapa kamu mau bergaul dengan anak berantakan seperti dia, bukannya lebih baik kamu berteman dengan orang seperti kami?"
"Tidak apa-apa kok, meskipun Hana itu suka mem.." ucap Clara seakan sedang keceplosan didepan teman-temannya.
"Suka apa?" tanya teman kelasnya pada Clara.
"Ahh bukan apa-apa Hana cuma bilang kalian cewek sok populer di sekolah"
"Benarkah?! Pantas saja tidak ada yang mau bergaul dengan orang seperti dia"
"Kamu kaya gak tau aja, Clara memang berhati seperti malaikat bukan?" tambah salah satu temannya.
"Kalau dia sampai menyakitimu, bilang saja sama kami!"
Brakk Hana membanting pintu kelas dan menarik tangan Clara pergi.
"Aku jadi mengerti sekarang, kenapa semua teman-teman membenciku tanpa aku melakukan kesalahan apapun! Itu karena kamu dan semua omong kosongmu!"