Biarkan sentimen ini tersirat, meski hadir tak hanya sesaat.
Derik tirai tak pernah berhasil kebaskan pendengaran Hao meski selalu sapa tiap lima menit sekali. Alih-alih, runtutan geraman dan benda yang dipukulkan pada tembok buat pikirannya terikat tali. Apalagi tiap detiknya selalu disusul suara tembak, dan amis darah dibiarkan pegang kendali.
Hao telah lupa apa itu dunia, pun bagaimana cara waktu berjalan. Yang ia tahu, dunia adalah ruangan serba putih berlapis kaca tinggi dan jeruji besi pada satu sisinya. Yang ia tahu, waktu adalah rantai yang ikat salah satu kakinya agar dirinya tak berontak dari tempatnya dikurung.
Kala mentari mengerling beri sapaan dari balik tirai, suar mengudara beri suaka bising yang enyahkan perasaan tenang milik petang sebelumnya.
Ketukan pantofel beradu dengan lantai buat sosok berambut kemerahan yang meringkuk di ujung ruang angkat kepala. Masih dalam posisi kuncup, ia temui netra manusia lain yang berisi titik bela.
Rambut perempuan itu berwarna merah muda dan sepanjang punggung. Tubuh moleknya dibalut jubah putih khas laboratorium dan sebuah berkas map diapit oleh lengan kirinya.
"Halo!"
Pria dibalik jeruji melambai kecil, "Halo juga!"
Senyum terukir, otak seakan disihir, keduanya mengikuti alur dengan mahir.
"Nama kamu Hao. Kenalin, aku Xiaoting!" satu kalimat mengudara.
Hao, Hao, Hao. Satu kata diulang tiga kali dalam hati. Pria surai merah yang duduk di balik dinding kaca berjeruji seolah diberi ilmu sakti.
"Salam kenal, Xiaoting!"
Antusias dirasa, jernih hinggapi asa, tutupi luka layaknya kasa. Hao berikan tulus yang semerbak meski balasannya berupa debu pada asbak.
"Ada yang mau kenalan sama kamu, nih!"
Xiaoting berujar, penasaran menguar, napas silih berganti keluar. Kaki jenjang beralih tapak muara. Berdiri menyeret rantai yang seolah merupakan gelang bara.
Telapak pucat Hao bawa untuk pegang besi dingin yang pisahkan ruang. Selapis kaca tebal masih berada di sisi terdepan sarang. Seolah tegaskan bahwa Hao tak lagi orang.
Jeda beri waktu untuk antrean napas yang ingin sapa paru-paru. Legam hazel milik Hao beri kabut tipis kala seorang laki-laki seumurannya berdiri dihadapan tanpa ragu. Ia tetap layangkan senyum walau bentang kaca beri kesan tak seru.
"Pagi, Kak Hao! Kenalin, aku Hanbin."
Rekah sabit di bawah hidung beri sambutan layaknya pesta pora. Telapak Hao melambai tanpa suara. Inginnya Hao ukir dalam obsidian Hanbin kala bermuara.
"Salam kenal, Hanbin!"
Bibir Hanbin kelu. Inginnya ia menangis pilu. Beradu dengan semesta karena buat kisahnya sepedih lagu.
Biarkan sentimen ini tersirat, meski hadir tak hanya sesaat.
Penyair banyak berkata bahwa hati akan mati apabila telah melupa. Karena telah berikan nikmat senyaman dupa.
Hao tak pernah lagi mengerti dengan dunia.
Ia bukan piawai yang hobi berdusta. Alih-alih hanya cacian yang ingin lepaskan simpul semesta. Karena satu-satunya yang bisa digambar ingatannya hanyalah kata.
Awalnya, Hao hanya tanyakan noda darah yang telah mengering pada jaket biru Hanbin.
Awalnya, Hao hanya tanyakan darimana Hanbin yang bersikap seolah telah lama mengenalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Rush for the Living Corpses
General FictionIni adalah dongeng tentang persahabatan, kehidupan, dan kematian. ft. sung hanbin, zhang hao terlebih dulu dipublikasikan di notion pada 23 desember 2023. --- rate: 15+ cw // blood, war, zombies, virus, corpses, living corpses, massacre, purge, drug...